Oleh: Nur Indah*
Sahabat Shuhaib Ar-Rumi adalah keturunan Arab asli, ayahnya berasal dari Bani Numair dan ibunya berasal dari Bani Tamim. Lantas mengapa sahabat Shuhaib dinisbatka kepada bangsa Romawi? Berikut adalah latar belakangnya. Sekitar 2 dekade sebelum masa kenabian, ada seorang gubernur daerah Al-Ubullah bernama Sinan bin Malik An-Numairi yang menjadi rezim Kisra Raja Persia. Sinan memiliki seorang anak yang sangat dicintainya belum genap berusia 5 tahun dan nama panggilanya adalah “Shuhaib”.
Suatu ketika, Ibu Shuhaib membawa Shuhaib kecil dan rombongan yang terdiri dari para kerabat dan pembantunya ke sebuah kampung bernama ats-Tsani di Negeri Iraq untuk beristirahat dan jalan-jalan, tiba- tiba sebuah pasukan tentara Romawi menyerang kampung tersebut. Membunuh para penjaga, mencuri harta dan menawan penduduknya, dan salah satu dari tawanan tersebut adalah seorang Shuhaib Kecil.
Shuhaib dijual di pasar perbudakan Romawi. Ia mengalami pergantian tuan, dan selalu berpindah dari tuan yang satu kepada tuan yang lain. Dalam kondisi demikian, ia seperti ribuan budak baru lainnya yang bertugas di istana-istana Negeri Romawi. Oleh karena itu, orang-orang Mekkah lebih mengenalnya dengan Shuhaib ar-Rumi. Semenjak menjadi budak orang-orang Romawi, Shuhaib tumbuh dewasa di negeri Romawi dan besar di antara penduduknya. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan dan budaya mereka, bahkan saking lamanya di Romawi dia hampir lupa bagaimana keadaan tanah kelahirannya. Tapi bagaimanapun di dalam hatinya tidak pernah sirna bahwa ia adalah seorang kebangsaan Arab.
Setelah dinyatakan merdeka, Shuhaib langsung menuju tanah asalnya, teringat dengan salah seorang pendeta Nasrani yang pernah berkata kepada salah satu tuannya “Sudah dekat datangnya sebuah zaman di mana akan muncul di Jazirah Arab seorang Nabi yang membenarkan ajaran Isa putra Maryam, dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya”. Shuhaib kemudian langsung menuju Mekkah dan bergabung dengan salah seorang pembesar di Mekkah yang bernama Abdullah bin Jud’an. Kemudian ia bekerja sebagai seorang pedagang dan sedikit demi sedikit datang kebaikan dan harta kepadanya. Hingga sekembalinya Shuhaib dari perjalananya, terbesit didalam hatinya “kapankah perkataan pendeta tersebut akan benar-benar terjadi?”. Dan akhirnya Shuhaib menemukan seorang utusan yang telah dinanti-nantikan sesuai dengan kata pendeta tersebut.
Saat dakwah Nabi Muhammad SAW tidak lagi sembunyi-sembunyi, jumlah kaum muslim di Makkah kian membesar. Adapun Shuhaib bin Sinan sudah mengenal sosok Muhammad sejak awal. Ia termasuk yang mengagumi sifat al-Amin, baik sebelum maupun sesudah kenabian. Tidak membutuhkan waktu lama, Shuhaib pun menyatakan dirinya masuk Islam di hadapan Rasulullah. Akan tetapi Shuhaib harus menanggung siksaan yang termat perih. Mujahid bin Jabr meriwayatkan, sekelompok musyrikin Quraisy memakaikan baju besi kepada sejumlah Muslim, termasuk Shuhaib bin Sinan.
Mereka memanggang Shuaib dan rekan-rekan muslimnya di bawah sengat terik matahari gurun pasir. Namun, Shuhaib dan para pemeluk Islam itu tetap bersabar. Allah SWT menganugerahi mereka dengan kekuatan dan ketabahan, sehingga berhasil melewati penyiksaan itu. Kemudian Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar berhijrah dari Makkah. Sejumlah kaum muslim telah lebih dahulu pergi ke Yatsrib (Madinah) atas arahan Rasulullah. Shuhaib bin Sinan turut menyertai Nabi Muhammad SAW. Shuhaib bertekad ikut hijrah ke Madinah bagaimanapun caranya. Namun, orang-orang Quraisy tidak membiarkan Shuhaib lolos.
Beberapa pemuda Quraisy dengan menenteng senjata tajam berusaha menghalangi Shuhaib bin Sinan. Shuhaib terpaksa menunggu hingga malam tiba. Saat pengawasan mulai melonggar, dia berusaha meloloskan diri dengan berjalan cepat tetapi penuh kewaspadaan. Namun, mendekati perbatasan Makkah, para pemuda Quraisy mulai dapat mengejar dan menangkap Shuhaib. Akan tetapi Shuhaib melakukan negoisasi kepada para pemuda Quraisy berupa menyerahkan semua harta bendanya. Tawaran yang sangat menggiurkan ini, yang akhirnya melepaskan Shuhaib dari tawanan pemuda Quraisy.
Maka pergilah Shuhaib bin Sinan mengikuti Rasulullah dan umat Islam lainnya hijrah ke Madinah. Alih-alih berat, Shuhaib justru bergembira meskipun telah kehilangan semua harta yang diperolehnya dari hasil niaga di Makkah. Baginya, perjuangan di sisi Rasulullah dan hidup dalam jalan-Nya lebih utama.
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari