Ilustrasi: M. Najib

Oleh: Yayan Musthofa*

Tidak semua perkara yang dilabeli sebagai urusan ukhrawi itu bernilai ketuhanan, dan begitu juga sebaliknya. Tidak semua yang dinisbatkan pada urusan dunia itu bersifat keduniaan.

Shalat misalnya. Secara aklamasi dalam benak kita memberikan nilai ukhrawi, karena statusnya adalah ubudiyah, bukan aktivitas muamalah yang berstatus kesalehan sosial. Akan tetapi yang kurang digaungkan adalah, tidak setiap ritual-ritual ubudiyah itu berniali ukhrawi, dan tidak setiap aktivitas muamalah itu berstatus keduniaan. Imam Al-Ghazali sering membicarakan hal tersebut dalam banyak karyanya.

Shalat, zikir, atau ritual ubudiyah lainnya menjadi duniawi ketika diorientasikan menggait massa, politik, mencari perhatian para jamaah, dan seterusnya. Bukan lagi ukhrawi. Penilaian-penilaian suatu perkara dalam Islam tidak seperti mengklasifikasikan alat tulis itu adalah pensil, bolpoin, dan spidol. Bahwa jeruk, apel, daging itu pasti halal hukumnya.

Secara dzatiyah, keberadaan buah-buahan dan makanan itu halal hukumnya. Tapi dari sisi lain bisa menjadi haram ketika barang-barang tersebut diambil dengan cara menciderai, menyakiti, atau menzalimi orang lain. Makanan tersebut adalah hasil dari mencuri, menindas saudara, menipu teman, dan perbuatan keji lainnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ihya’ ‘Ulumuddin dalam Adabul Kasbi menceritakan, pada suatu hari selepas shalat Subuh Kanjeng Nabi Muhammad SAW mengadakan kultum. Pengajian untuk penambahan wawasan keagamaan dan peneguhan iman para sahabat. Di tengah-tengah sedang asik mendengarkan kultum dan sharing keilmuan, mereka melihat seseorang bergegas kerja. Lantas para sahabat berkomentar nyinyir terhadap orang itu. Pagi-pagi sudah mencari penghidupan, kedunyan.

Akan tetapi di luar dugaan, ternyata Kanjeng Nabi Muhammad SAW tidak membenarkan tanggapan para sahabat, justru malah memproteksi penilaian buruk mereka, dengan bersabda, “Janganlah terburu-buru menilai seseorang, karena sesungguhnya orang yang bergegas kerja untuk mencukupi dirinya sendiri agar tidak mengemis dan menyelesaikan permasalahannya, maka dia berjalan di atas panduan Allah SWT. Apabila dia bergegas kerja untuk mencukupi kedua orangtuanya yang sudah lemah atau untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, maka dia berjalan di jalan Allah SWT. Akan tetapi apabila dia bergegas kerja untuk menumpuk harta dan berbangga-bangga, maka dia berjalan di jalan setan”.

Ini menunjukkan bahwa aktivitas lahiriah yang dilakukan manusia, tidak mesti bernilai seperti klasifikasi dalam pemahaman yang sekilas. Tidak selalu shalat yang notabenenya bernilai ukhrawi, pasti berorientasi ketuhanan, dan tidak setiap aktivitas muamalah selalu berorientasi keduniaan. Allahu A’lam!


Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng