sumber foto: alif.id

Oleh: Ustadz Yuniar Indra*

Assalamualaikum ustadz.

Saya ingin bertanya, dalam taubat kita harus memenuhi 3 syarat, dan salah satunya adalah bertekad untuk tidak mengulangi maksiat. Yang ingin saya tanyakan, jika kita ketika taubat sudah berniat sungguh-sungguh tidak ingin mengulangi maksiat, tapi kemudian hari kita sengaja mendekati hal yang bisa menggiring kepada maksiat tersebut tapi tidak sampai mengulangi maksiat, apakah taubat kita yang lalu sudah batal?

Misal, seperti seseorang yang jika memegang pisau maka ia kemungkinan besar akan membunuh. Lalu ketika hari Senin dia membunuh lalu kemudian dia bertaubat dengan 3 syarat tersebut. Apakah taubatnya akan batal jika suatu saat kelak dia memegang pisau walaupun dia ternyata/tidak sampai tidak membunuh?

Ahmad, Bandar lampung.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Waalaikumussalam, Mas Ahmad.

Terima kasih banyak kami ucapkan atas pertanyaannya.  Sudah menjadi fitrah manusia bahwa kita selalu diimpit oleh kemaksiatan-kemaksiatan. Baik itu berasal dari diri sendiri, godaan setan, atau ajakan manusia lainnya. 

Allah berfirman dalam surah, Al-Syams ayat 7-9: 

وَنَفۡسࣲ وَمَا سَوَّىٰهَا ۝  فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ۝  قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ۝  وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا

“Demi manusia (nafsu) dan kesuciannya. Kemudian saya (Allah) memberitahu jalan keburukan dan kebaikan. Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya. Dan rugilah orang yang mengotorinya.”

Ayat di atas memberi petunjuk kepada kita atas kesucian diri kita kullu mauludin yuladu ala al-fitrah (tiap manusia itu terlahir dalam keadaan suci). Lalu Allah telah memberikan ilham melalui perantara didikan orang tua serta para ulama saleh agar meniti jalan kebenaran selama hidup kita.

Lantas ketika kita tinggal memilih jalan mana yang kita tempuh.  Atau kesalahan kita timbul karena muslihat setan.  Sebab setan sangat lihai menipu manusia, sebagaimana ia menipu Adam dan Hawa.

  فَأَزَلَّهُمَا ٱلشَّیۡطَـٰنُ عَنۡهَا فَأَخۡرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِیهِۖ وَقُلۡنَا ٱهۡبِطُوا۟ بَعۡضُكُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوࣱّۖ وَلَكُمۡ فِی ٱلۡأَرۡضِ مُسۡتَقَرࣱّ وَمَتَـٰعٌ إِلَىٰ حِینࣲ

Lalu setan memperdayakan keduanya dari surga sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga). Dan Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Baqarah: 10). 

Bukan itu saja, manusia sekitar kita juga berpotensi sebagai pembawa kepada kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Nās:

  قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ ٱلنَّاسِ ۝  مَلِكِ ٱلنَّاسِ ۝  إِلَـٰهِ ٱلنَّاسِ ۝  مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ ۝  ٱلَّذِی یُوَسۡوِسُ فِی صُدُورِ ٱلنَّاسِ ۝  مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ

Katakanlah (Muhammad)! Aku berlindung kepada tuhan manusia, Raja manusia, sembahan manusia, dari keburukan waswas terselubung yang mengendus dada manusia. Dari golongan jin dan manusia. 

Dengan segelondong jalan kemaksiatan Allah yang maha pengampun tidak akan menutup pintu taubat-Nya sebelum nyawa kita sampai di kerongkongan atau matahari terbit dari arah terbenamnya.

Lalu bagaimana cara bertaubat? Beberapa Aluiya’ telah menuliskan metode taubat di beberapa karya tulis mereka, di antaranya Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau menerangkan dalam Minhāj Al-‘Ābidīn. 

احدَاها تَرْكُ اخْتِيَارِ الذَنْبِ

Yang pertama, kita harus memutus usaha-usaha yang menyebabkan bermaksiat.

  أنْ يَتُوْبَ منْ ذَنبٍ قَد سَبَقَ عنه مثْلَهُ

Kedua, bertaubat dari dosa-dosa yang lalu dilakukan.

  يترك اخْتِيَارِه فِي المَنْزِلَة والدرجة لا في الصورةٍ

Ketiga, meninggalkan dosa-dosa yang lalu dalam segi esensinya, bukan dari segi bentuknya saja.

Misal, kita pernah menggunjing orang lain. Itu merupakan salah satu bentuk dari maksiat lisan. Maka, bentuk-bentuk maksiat lisan yang lain, seperti bohong, berkata kasar juga harus ditinggalkan. Sebab masih satu lingkup dengan maksiat lisan.

ان يَكوْنَ تَركُ اخْتِيَارِه لذلك تعظيما لله وحذرا من سخطه وأليم عقابه

Keempat, meninggalkan semua usaha kemaksiatan dengan dasar mengagungkan Allah dan takut atas siksa-Nya. Melalui cara ini insyaAllah taubat kita akan terus ter-update dan tidak kadaluwarsa. 

Lalu, ketika kita terjerumus pada dosa lagi, masihkah Allah mengampuni dosa kita? Perlu diingat bahwa Allah adalah zat yang maha pengampun. 

(أَلَمۡ یَعۡلَمُوۤا۟ أَنَّ ٱللَّهَ هُوَ یَقۡبَلُ ٱلتَّوۡبَةَ عَنۡ عِبَادِهِۦ وَیَأۡخُذُ ٱلصَّدَقَـٰتِ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِیمُ)

Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat hamba-hambaNya dan menerima zakatnya, dan bahwa Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang? (Al-Taubah: 104)

Kemudian nabi menerangkan dalam hadis yang terhimpun di Sahīh al-Bukhāri berikut ini:

   إِنَّ عَبْدًا أَصَابَ ذَنْبًا فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى قَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَغَفَرَ لَهُ ثُمَّ مَكَثَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ أَصَابَ ذَنْبًا آخَرَ وَرُبَّمَا قَالَ أَذْنَبَ ذَنْبًا آخَرَ فَقَالَ يَا رَبِّ إِنِّى أَذْنَبْتُ ذَنْبًا آخَرَ فَاغْفِرْ لِى فَقَالَ رَبُّهُ عَلِمَ عَبْدِى أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِهِ فَقَالَ رَبُّهُ غَفَرْتُ لِعَبْدِى فَلْيَعْمَلْ مَا شَاءَ

“Ada seorang hamba yang berbuat dosa lalu ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Dan berjalanlah waktu, lalu ia berbuat dosa lagi. Ketika berbuat dosa lagi ia berkata: ‘Ya Rabbi, aku telah berbuat dosa lagi, ampunilah aku’. Lalu Allah berfirman: ‘Hambaku mengetahui bahwa ia memiliki Rabb yang mengampuni dosa’. Lalu dosanya diampuni. Lalu Allah berfirman: ‘Aku telah ampuni dosa hamba-Ku, maka hendaklah ia berbuat sesukanya’” (HR. Bukhari) 

وقال النووي في الحديث: إن الذنوب ولو تكررت مائة مرة بل ألفا وأكثر وتاب في كل مرة قبلت توبته، أو تاب عن الجميع توبة واحدة صحت توبته

ImamNawawi mengatakan dalam sebuah hadis diterangkan: sebuah dosa, walaupun diulang-ulang sebanyak 100, 1000, bahkan lebih. Kemudian ia bertobat sekali saja, maka sah tobatnya. 

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.