sumber ilustrasi: tribunnews.com

Yogyakarta, kota yang identik dengan kota pelajar. Dengan nuansa religinya yang juga cukup kental, banyak situs bersejarah yang mengisahkan perkembangan Islam. Salah satunya adalah Masjid Ghede, Kauman.

Masjid yang merupakan masjid raya Kesultanan Yogyakarta, yang terletak di sebelah barat kompleks alun-alun utara KratonYogyakarta. Masjid yang khas akan kebudayaan Jawa tersebut sangat ramai dikunjungi para wisatawan dan para peziarah.

Di sekitar masjid Gedhe, tak jarang ditemui para penjual makanan, bunga, dan pernak-pernik sebagai buah tangan wisatawan. Di antara mereka ada seorang perempuan tua yang berjualan bunga, yang biasa akrab dipanggil oleh pembeli dengan sebutan Nek ijah.

Di usianya yang sudah memasuki 80 tahunan, sosok rentanya terkadang membuat orang iba. Ia masih harus bekerja, berjualan bunga setaman, kadang harus menunggui dagangannya hingga larut malam. Kadang beberapa mahasiswa yang lewat sering membeli dagangannya sekadar agar dagangannya laku.

Teman saya sempat bertanya kepada Nek Ijah di mana anak cucunya. Ia hanya menjawab “Teng Jakarta Mas”. Kini Ia tinggal sebatang kara di Yogyakarta, sementara suaminya sudah lama meninggal dunia. Anak-anaknya sudah lama tidak mudik, katanya anaknya terakhir menemuinya dua tahun yang lalu. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sosok nenek tua itu membuat kagum siapapun orang yang pernah mengenalnya. Saat adzan berkumandang, Nek Ijah langsung bergegas ke masjid. Ia tinggalkan dan menutupinya dengan kain Jarik. Kemudian, ia berwudhu ke masjid masjid, dan ikut bergabung melakukan shalat berjamaah.

Meskipun tubuhnya sudah bungkuk dan tertatih, Nek Ijah sangat rajin membersihkan halaman masjid Ghede. Sambil membungkuk-bungkuk di halaman masjid, ia mengumpulkan dedaunan dan sampah-sampah plastik yang dibuang sembarangan oleh para wisatawan.

Serakan sampah dikumpulkannya, selembar demi selembar dedaunan yang bertebaran, tidak satu lembar daunpun ia lewatkan. Tentu saja hal itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Apalagi fisiknya yang sudah tak segesit anak muda, keringatpun membasahi seluruh tubuhnya.

Secara tak langsung banyak pengunjung masjid dan wisatawan yang merasa malu telah merepotkan Nek Ijah dengan membuang sampah sembarangan. Melihat Nek Ijah kesusahan memungut sampah dan membersihkan halaman masjid teman saya itupun langsung membantunya.

Namun anehnya, melihat akan ada yang membantu, Nek Ijah semakin semangat dan bergegas menyelesaikan kegiatannya tersebut.  Suatu hari, karena penasaran saya bertanya kepada takmir masjid Ghede, Kauman, “Mengapa Nek Ijah dibiarkan memunguti sampah? Mengapa bukan takmir yang membersihkannya?”.

Sambil menghela nafas takmir masjid tersebut menjawab dengan jawaban yang sangat mengejutkan. Ia menuturkan bahwa suatu hari takmir masjid tersebut pernah memutuskan untuk membersihkan halaman masjid sebelum Nek Ijah membersihkannya.

Hari itu usai shalat ketika Nek Ijah ingin melakukan pekerjaan rutinnya, tetapi ia terkejut karena tidak ada satupun daun yang berserakan di halaman masjid. Ia kembali masuk ke dalam masjid dan menangis dengan keras, bertanya mengapa daun-daun itu sudah disapu sebelum ia membersihkannya.

Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. Lalu, Nek Ijah berkata dalam isaknya, “jika kalian kasihan kepadaku, berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya”. Orang-orangpun tercengang mendengarnya. 

Sejak saat itu, orang-orang membiarkan Nek Ijah mengumpulkan daun-daun dan sampah yang berserakan seperti biasanya.

Suatu hari karena penasaran, seorang Kiai Masjid Gedhe datang menemui Nek Ijah dan menanyakan kepadanya, mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu, padahal pekerjaan itu cukup melelahkan bagi Nek Ijah. Nek Ijahpun mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat, pertama hanya Kiai itu yang mendengarkan rahasianya.

Kedua, cerita itu tidak boleh disebarakn ketika ia masih hidup. Sekarang, beliau telah meninggal dunia, dan anda dapat mendengar rahasianya. “Saya ini orang bodoh pak Kiai, saya tau amal-amal saya yang kecil itu mungkin saja tidak benar saya jalankan,” tutur Nek Ijah.

“Saya tidak mungkin selamat di akhirat nanti tanpa syafaat dari Kanjeng Nabi Muhammad saw. Setiap kali mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah saw., Saya berharap ketika nanti saya mati, kanjeng Nabi akan menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan shalawat kepada beliau,” tambah Nek Ijah.

Sejak ditinggal suaminya yang gugur di medan perang saat Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Nek Ijah bertekad untuk mengabdikan dirinya pada agama dan bangsa. Walaupun ia hidup sebatang kara, ia tak ingin merepotkan orang lain.

Nek Ijah menunjukkan kerendahan hati, keikhlasan diri, dan keterbatasan amal perbuatan di hadapan Allah swt. Walaupun ia adalah istri seorang pejuang militer dan purnawirawan, ia tak pernah sombong dan membangga-banggakan keluarganya kepada orang lain.

Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur. Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung kepada rahmat Allah SWT. Dan rahmat itu ialah Rasulullah saw. Hanya beliaulah yang dapat memberikan syafa’at kepada umatnya. Waallahu a’lam…

*Disarikan dari buku Sholihah itu Cantik: wanita dalam pandangan Imam Al-Ghazali.