Sumber : PVMBG

Oleh: Al Fahrizal*

Desember 2021 lalu, puncak tertinggi pulau Jawa meletus, menghancurkan ratusan tempat bernaung, menelan puluhan korban atau tepatnya 51 nyawa[1] melayang, merampas penghidupan, serta kemalangan-kemalangan lain yang tak sampai hati untuk dituliskan. Mengamati peristiwa tersebut, Gunung Semeru seakan-akan menyeru kepada kita semua untuk saling bahu-membahu, mengulurkan tangan, berbagi kebahagian, berbagi apa yang kita miliki kepada penderita kemalangan.

Syukur, seruan keras Semeru tersebut yang menggores luka mendalam kepada saudara-saudara kita tahun lalu, dijawab secara langsung. Ribuan relawan dari seluruh penjuru negeri terjun membantu, urunan sedikit-sedikit mengeluarkan apa yang dimiliki, berbagi pada mereka korban yang membutuhkan. Luar biasa, seruan tersebut meringankan tangan kita semua, sampai-sampai menyentuh angka Rp. 29 M[2] untuk disalurkan kepada korban erupsi Gunung Semeru tahun lalu.

Ironisnya, Desember tahun ini, Semeru kembali lagi erupsi. Semeru seakan-akan menyeru kita untuk melakukan sesuatu kembali. Melakukan sesuatu yang lebih berarti lagi. Dahulu Semeru menuntut agar kita peduli sesama, agar tidak acuh satu sama lain, tidak elu-elu, gue-gue. Tuntutan lantang tersebut, terpenuhi, terkabuli secara nyata. Para korban yang selamat dapat melanjutkan hidup seperti biasanya. Namun, baru saja mengambil napas lega, Semeru kembali menyeru.

Lantas, garis besar sebenarnya adalah, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Semeru erupsi lagi, seolah-olah menyeru kepada kita semua?

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebelum itu, terlebih dahulu mari memperhatikan Firman Tuhan yang nyata berikut:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allâh, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (Q.S. An-Nisa: 79)

Ath-Thobari menuliskan dalam kitab tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan hasanah (kebaikan) adalah kebaikan, kenikmatan, ketenangan, kemakmuran, keselamatan, yang semuanya berasal dari karunia Tuhan kepada hambanya. Adapun sayyi’ah (bencana) yang berupa kesusahan, sakit, derita dan sebagainya itu disebabkan karena diri kita sendiri yang berlaku kemungkaran dan melampaui batas.

Manusia dengan segala kelebihannya dapat menundukkan makhluk lain di dunia ini. Manusia dapat memilih untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Untuk itu manusia ditunjuk oleh Sang Pencipta untuk menjadi khalifah, wakil Tuhan di muka bumi.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 30)

Namun, patut disadari bahwa manusia sering kali melampaui batas, tidak terkontrol. Sehingga sering kali manusia melupakan mandat Tuhan yang diberikan kepadanya untuk menjadi pengampu bumi. Manusia sifat hewaninya kerap berlaku semena-mena dan bertindak miring, artinya bertindak bukan atas misi sebagai khalifah, tetapi berlaku demi hasrat dan kepentingan pribadi atau golongannya sendiri.

Barangkali itulah sebabnya kenapa Semeru yang agung memuntahkan sebagian kecil laharnya. Hal ini bukan dalam artian cocokologi atau interpretasi buta. Namun, garis besar yang perlu ditangkap adalah Semeru kali ini menyeru kita agar membenahi kembali misi setiap dari kita. Siapapun dan sebagai apapun.

Sebagai penguasa, pemerintah, pemangku kebijakan, maka jalankan tugas dan kewajiban demi kesejahteraan umat, bukan oligarki. Sebagai jutawan, borjuis, orang kaya, maka benahi harta dan kekayaan bukan hanya untuk memperkaya diri sendiri, namun juga memperkaya orang lain. Sebagai cendikiawan, kiai, kaum intelektual, emban misi memanusiakan manusia, bukan memanfaatkan manusia. Maka, setiap dari kita perlu sadar dan berbenah, dari mulai tingkat terkecil yakni diri sendiri hingga kita sebagai apa ditengah masyarakat.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr ayat: 18)

Intropeksi atau muhasabah diri itulah pesan yang disampaikan dalam ayat ini. Dalam banyak intrepretasi para ulama, salah satunya Ibn Katsir, dalam kitab tafsirnya yang populer menuliskan ungkapan:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا

Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab (di hari akhir)

Tahun lalu, Semeru berseru agar manusia peduli sesama dan rela menyisihkan kekayaan kepada mereka yang memerlukan. Seruan itu terjawab, namun tidak cukup sampai disitu. Semeru kembali menyeru agar manusia perlu sadar akan tugas dan tanggung jawabnya di muka bumi. Wallahu’alam.  


[1] bnpb.go.id

[2] kominfo.jatimprov.go.id