Literatur keilmuan pesantren didominasi oleh karya ulama Hijaz yang hidup setelah abad XV Masehi. Pada masa ini, peradaban Islam dihadapkan pada kemunduran perkembangan sains di kalangan umat Islam dan kebangkitan sains di Eropa Barat. Tradisi keilmuan keislaman di masa ini diliputi oleh adab yang tinggi kepada pada ulama terdahulu, sehingga karya-karya yang lahir hanya berupa ringkasan (mukhtashar), penjelasan (syarah), dan catatan (hasyiyah).
Topik keagamaan yang dikaji tidak lepas dari studi teks. Dalam hal ini, konteks sosial diupayakan agar mengikuti teks (ayat, matan hadis, atau pendapat ulama terdahulu). Tidak ada daya kritis untuk memunculkan pendapat sendiri. Kebanyakan para ulama menulis suatu karya dengan menggunakan metode kompilasi, yakni berbagai pendapat ulama dikutip untuk memperjelas dan memperkuat keterangan yang dikemukakan oleh penulis. Metode dan bentuk penulisan karya tersebut diikuti oleh para santri Nusantara yang belajar di tanah Hijaz. Kelak, para santri ini mendirikan pesantren dengan mengikuti adab dan model pembelajaran dari guru-guru mereka.
Masyarakat Nusantara tidak sama dengan masyarakat Hijaz. Masyarakat Nusantara telah tertanam budaya Hindu-Budha, sehingga para santri Hijaz terdorong untuk membuat formula pendidikan yang bisa diterima. Formula ini adalah pesantren. Keberadaan pesantren telah lebih dahulu sebelum kedatangan para santri Hijaz. Namun, santri Hijaz menetapkan kurikulum baku untuk pesantren, agar mudah dipelajari oleh para santri Nusantara yang belum mengenal bahasa Arab dasar.
Para santri Hijaz menetapkan pelajaran keagamaan secara berjenjang dengan kitab-kitab yang dipilihkan. Di tingkat dasar (ula), pelajaran fikih menggunakan kitab al Taqrib, tafsir menggunakan kitab Tafsir al Jalalain, hadis menggunakan Bulugh al Maram, dan seterusnya. Demikian pula, tingkat menengah (wustho) maupun tingkat atas (‘ulya) menggunakan referensi kitab yang disesuaikan.
Kurikulum pesantren di atas berbasis kitab, bukan berbasis disiplin ilmu. Artinya, santri Hijaz mengajarkan satu kitab hingga tuntas. Setelah itu, tingkat berikutnya menggunakan kitab yang lebih besar. Sementara itu, kurikulum berbasis disiplin ilmu menghendaki banyak kitab dalam suatu disiplin yang dikompilasi hingga terumuskan konsep ilmu. Kurikulum yang berbasis kitab diterapkan di perguruan tinggi yang mengikuti tradisi Madrasah Mesir, sedangkan kurikulum yang berbasis kitab diterapkan di pesantren yang mengikuti Madrasah Hijaz. Para santri Hijaz memilih kitab-kitab yang pernah diajarkan oleh guru-guru mereka selama belajar di Hijaz. Tidak ada keberanian dari santri Hijaz untuk mengajarkan kitab yang belum pernah diajarkan kepadanya. Santri Hijaz memiliki kemampuan untuk mempelajarinya secara mandiri. Namun, transmisi keilmuan lebih diperhatikan sebagai bentuk tanggung jawab pengamalan ilmu.
Selain penerapan kurikulum dan standar kitab, para santri Hijaz juga menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti Madrasah Hijaz. Penekanannya terletak pada hafalan. Kerena itu, setiap santri memiliki hafalan kitab. Hafalan ini merupakan kebanggaan tersendiri, karena hafalan mencerminkan ilmu yang melekat di dada, bukan di catatan kertas (al ‘ilm fi al shudur la fi al suthur). Selain itu, hafalan menuntut adab yang tinggi, antara lain: penghormatan kepada penulis kitab (mushonnif), pendiri pesantren, guru penerima setoran hafalan. Penghormatan ini diwujudkan dengan pemberian hadiah doa surat Al Fatihah kepada mereka. Jika santri mengulangi hafalan dua kali dalam sehari, maka hadiah doa surat Al Fatihah juga terkirim dua kali sehari. Hal ini menarik keberkahan yang besar untuk santri.
Di Pesantren Tebuireng, di antara kiai yang konsisten dengan metode hafalan adalah KH Idris Kamali, menantu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dari Cirebon. Kiai Idris pernah mengenyam pendidikan di Madrasah Hijaz dalam waktu yang lama. Kiai Idris menetapkan, bahwa santri yang ingin belajar kepadanya harus memiliki hafalan kitabnya. Santri yang telah hafal Alfiyah Ibnu Malik bisa diperkenankan oleh mengikuti pengajian kitab Ibnu ‘Aqil. Santri yang ingin mengikuti pengajian kitab Fath al Qorib harus memiliki hafalan kitab al Taqrib. Kiai Idris sendiri menyimak dan memeriksa hafalan para santri setiap setelah jamaah Shalat Shubuh hingga tiba waktu Dhuha. Strategi pembelajaran model Kiai Idris ini masih diterapkan di pesantren salaf, yakni pesantren yang masih berpegang pada kurikulum Madrasah Hijaz.
Selain refetensi kitab, santri Hijaz juga menerapkan adab dalam menuntut ilmu. Adab lebih diutamakan dibandingkan ilmu. Santri diperkenalkan adab terlebih dahulu sebelum mengikuti pengajian. Penghormatan kepada guru dan kiai merupakan adab yang diutamakan dalam tradisi pesantren. Ketakutan terbesar bagi kaum santri adalah ketiadaan manfaat dan keberkahan dari ilmu yang diperolehnya. Tidak adanya penghormatan kepada guru atau kiai merupakan sebab terbesar dari ketiadaan manfaat dan keberkahan ilmu. Di sisi yang lain, adab bisa menumpulkan daya kritis santri kepada kiai. Dalam pengajian bandongan, tidak ditemukan pertanyaan atau dialog yang diajukan santri kepada kiainya. Selain itu, banyak kiai pesantren enggan menuliskan pemikirannya dalam karya, selama karya ulama terdahulu masih diajarkan. Para kiai hanya membuat kompilasi pendapat dalam suatu tema tertentu.
Seiring dengan perkembangan zaman, adab pendidikan yang dirumuskan dalam kitab Ta’lim al Muta’allim dan diinternalisasikan dalam lembaga pesantren mulai mengalami degradasi. Pola pendidikan model barat yang diterapkan setelah kemerdekaan Republik Indonesia mempengaruhi tradisi pesantren yang berasal dari Madrasah Hijaz. Pendidikan Barat tersebut diakomodasi oleh pemerintah untuk mengadakan pendidikan formal. Sementara itu, pendidikan pesantren dikategorikan sebagai pendidikan nonformal. Kategori ini memaksa pesantren untuk mengadakan pendidikan formal, selain menyelenggarakan pendidikan nonformal. Paduan dua model pendidikan ini menjadi model tersendiri. Karena itu, santri saat ini tidak saja dituntut untuk mampu mendalami kitab kuning, tetapi juga mampu menguasai sains. Tuntutan ini bisa dianggap berat bagi santri Nusantara.
Ada beberapa alasan keberatan atas paduan dua model di atas. Pertama, pendidikan formal dibatasi oleh tahun ajaran, sedangkan pendidikan pesantren dibatasi dengan materi kitab kuning. Dampaknya adalah ketidakmampuan dalam meraih keduanya. Santri kurang mendalami isi kitab kuning sekaligus kurang menguasai sains. Kedua, metode hafalan dihilangkan, karena ia dianggap tidak efesien. Akibatnya, hubungan santri dan kiai menjadi kurang akrab. Kiai hanya menghadapi santri secara massal di kelas maupun masjid, sedangkan hafalan menghubungkan kiai dan santri secara personal.
Ketiga, kualitas input pesantren mengalami pernurunan. Ketika pendidikan pesantren masih didominasi pola Madrasah Hijaz, banyak santri baru telah mendapatkan pendidikan agama dasar. Pesantren menjadi lembaga pendidikan agama tingkat lanjut. Santri yang belum mendapatkan pendidikan dasar wajib mengikuti pendidikan persiapan, sehingga ada kesamaan kemampuan dalam pengajaran agama di pesantren. Ketika pendidikan dasar mengikuti pola pendidikan formal, maka masyarakat menuntut pesantren untuk mempermudah atau menghapus persayaratan masuk jenjang lanjut yang dianggap sulit. Akhirnya, pesantren menurunkan kualitas persyaratannya, sehingga pesantren memperoleh calon santri yang belum mendapatkan pendidikan agama dasar.
Keempat, pendidikan pesantren terjebak pada orientasi dunia kerja, sebagaimana orientasi pendidikan nonformal. Akhirnya, sedikit santri yang memiliki orientasi perjuangan agama Allah. Dampaknya adalah kesulitan takmir masjid dan musholla dalam mencari khatib ataupun imam. Masyarakat juga merasa sulit untuk mencari tokoh agama sebagai pembimbing ritual mereka.
Untuk mengurangi dampak negatif dari paduan pola pendidikan di atas, alternatif yang ditawarkan adalah pengadaan pendidikan yang variatif. Satu sisi memperkuat tradisi Madrasah Hijaz, sisi yang lain mengembangkan pendidikan formal. Demikian pula, perguruan tinggi yang dipersiapkan juga memiliki dua bentuk: universitas dan Ma’had ‘Ali. Kelak, keberhasilan pola pendidikan ditentukan oleh output lulusannya. Sebagai catatan, saat ini terjadi pergeseran orientasi pendidikan forma, dari profesi ke wirausaha. Hampir setiap program studi di universitas tidak bisa menjamin lulusannya untuk menjadi profesi tertentu. Karena itu, jargon wirausaha selalu didengungkan oleh setiap perguruan tinggi, bahkan pemerintahan.
Kata santri telah mengalami bias makna serta lebih dikenal di kalangan manapun. Santri tidak lagi dipersepsi sebagai alumni pesantren yang menguasai kitab kuning, melainkan siapapun yang mengenakan atribut keagamaan. Demikian ini merupakan dampak dari kecilnya peranan pendidikan yang berpola Madrasah Hijaz. Jadi, santri Nusantara telah mengalami pergeseran makna: dari seorang yang mendalami agama hingga seorang yang mengenakan atribut agama. Pergeseran ini adalah perubahan yang dimainkan oleh santri Hijaz dan dikembangkan oleh santri Nusantara.
*Alumnus Pesantren Tebuireng (1987-1997), Dosen di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang dan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.