Oleh: Rafiqatul Anisah*
Ketupat merupakan salah satu makanan yang sudah menjadi tradisi untuk dihidangkan ketika lebaran. Dalam filosofi Jawa, ketupat lebaran bukanlah sekadar hidangan khas di hari raya. Ketupat memiliki makna khusus.
Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa, merupakan kependekan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (empat tindakan). Sedangkan di Madura perayaan makan ketupat dilaksanakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
Menurut beberapa sumber, perayaan lebaran ketupat ini dimaksudkan sebagai lebarannya umat muslim yang melaksanakan puasa sunnah Syawal. Serentak masyarakat memasak ketupat dan membagi-bagikannya kepada tetangga sekitar serta diantar ke rumah tokoh desa (kiai desa) sebagai bentuk silaturahmi.
Setiap kabupaten yang ada di pulau Madura hampir memiliki ciri khas yang sama dalam menyambut lebaran Ketupat, baik di Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Ketika Lebaran Ketupat kebanyakan menu yang disajikan adalah soto, rujak, kaldu, bahkan bakso.
Untuk di daerah Bangkalan khususnya di pedesaan, pada malam harinya masyarakat berkumpul di pelataran rumah/ teras untuk melihat dan menyalakan kembang api. Selain itu ada juga yang hanya bercanda ria untuk sekadar mengikuti adat yang ada. Sementara di pagi harinya, membagi-bagikan ketupat ke tetangga sekitar.
Berbeda dengan masyarakat perkotaan Bangkalan dimana pada malam hari raya ketupat tidak ada acara berkumpul sebagaimana masyarakat pedesaan. Yang ada hanya adat mengantar ketupat saja, karena masyarakat perkotaan sibuk ke kantor masing-masing sehingga pada malam harinya mereka langsung istirahat.
Hal ini juga terjadi pada masyarakat Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Lebaran Ketupat ini tidak kalah Meriah dengan lebaran lainnya. Pada hari lebaran ketupat para keluarga juga masih sibuk silaturahmi kesana-kemari untuk sama-sama merayakannya. Saling berbagi ketupat antar tetangga hingga pada Kiai desa.
*Alumni Pondok Pesantren Nurul Islam Bluto Sumenep Madura.