Sumber gambar: www.viva.co.id

Oleh: Silmi Adawiya*

Memaafkan bukanlah suatu kekalahan. Memaafkan juga bukan berarti melupakan, melainkan memberikan kesempatan untuk menghapus rasa kesal dan dendam  pada diri sendiri. Karena itu pengendali emosi yang sebenarnya adalah diri kita sendiri, bukan orang lain.

Manusia adalah tempat bersemayamnya kesalahan. Siapapun diri kita pasti pernah melakukan kesalahan dan kekhilafan. Terkadang orang lain berbuat kesalahan kepada kita, begitu juga sebaliknya. Terkait bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbuat kesalahan, Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi pribadi yang pemaaf, bukan pendendam. Bahkan Allah memerintahkan kepada kita untuk membalas setiap keburukan dan kesalahan orang lain dengan kebaikan. Sebagaimana QS Fussilat: 34-35:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.”

Orang yang paling kuat bukanlah mereka yang mampu mengangkat besi dengan berat 100kg, atau bukan juga mereka yang mampu lari cepat sejauh 1000km. Melainkan orang yang paling kuat adalah mereka yang mampu menahan dirinya dikala marah. Rasulullah bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah.” (HR. Al-Bukhari)

Riset dari Worthington Jr, pakar psikolog dari Virginia University menyatakan bahwa  sikap memaafkan mendatangkan manfaat kesehatan, baik yang memaafkan maupun yang dimaafkan. Dengan menggunakan tekhnologi canggih, terungkap perbedaan pola gambar otak orang pemaaf dan yang tidak memaafkan. Orang yang tidak memaafkan terkait erat dengan sikap marah. Pada orang seperti ini, berdampak pada penurunan fungsi kekebalan tubuh.

Mereka yang tak suka memberi maaf, aktivitas otaknya sama dengan orang yang sedang stres, marah, dan agresif. Ada ketidaksamaan aktivitas hormon dalam darah si pemaaf dibandingkan darah si pendendam (si pemarah). Pola hormon dan komposisi zat kimia dalam darah orang yang tidak memaafkan bersesuaian dengan pola hormon emosi negatif yang terkait dengan keadaan stres. Sikap tidak memaafkan cenderung membuat kekentalan darah lebih tinggi. Itu yang membuat dampak buruk pada kesehatan. Misalnya, pada raut wajah, dan detak jantung.

Sikap tidak memaafkan juga menyebabkan otot alis mata tegang dan daya hantar kulit lebih tinggi, demikian juga tekanan darah. Sebaliknya, sikap memaafkan meningkatkan pemulihan penyakit jantung dan pembuluh darah. Sementara itu, rasa dendam justru mempengaruhi sistem kardiovaskular dan saraf. Dalam sebuah penelitian, orang yang fokus pada dendam pribadi, memiliki tekanan darah dan detak jantung, dan peningkatan ketegangan otot. Hal ini ditambah dengan perasaan menjadi kurang terkendali. Namun ketika seseorang berhasil memaafkan orang yang telah menyakiti mereka, banyak dari mereka justru mengatakan merasa lebih positif dan terlihat lebih tenang dan santai.

Harvard Women’s Health Watch menyebutkan dampak positif dari memaafkan adalah mengurangi stres, kesehatan jantung lebih baik, hubungan yang lebih kuat, mengurangi rasa sakit, dan lebih sehat. Begitu banyak manfaat yang bisa kita petik dari sikap memaafkan. Baik untuk diri pribadi maupun untuk hubungan dengan sekitar kita. Lantas masihkah kita menjadi pribadi yang selalu dendam dengan orang lain?


*Penulis adalah alumnus Unhasy dan Pondok Pesantren Putri Walisongo, saat ini menempuh pendidikan Pascasarjana UIN Jakarta.