Sumber gambar: www.google.com

Judul : Hati Suhita

Penulis : Khilma Anis

Penerbit : Telaga Aksara

Cetakan : I/ Maret 2019

Tebal : 405 halaman

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Peresensi : Umdatul Fadhilah*

“Kadang aku ingin mengadu pada orangtuaku, tapi kakek mengajarkanku untuk mikul dhuwur mendhem jero. Aku tidak boleh seenaknya mengadukan ini. Sebab aku adalah wanita. Kakek mengajarkan kepadaku bahwa wanita, adalah wani tapa, berani bertapa.” (halaman 16) 

Alina Suhita perempuan dari pesantren sedari kecil sudah ditembung yai Hanan untuk menjadi menantunya. Alina yang punya watak manut, lembut, dan sabar menuruti dengan sukarela, mengubur dalam, segala mimpi dan hanya mempersiapkan diri untuk menjadi permaisuri di kerajaan barunya.

Saat hari pernikahan tiba, Alina dan Gus Birru di doakan oleh ribuan kiyai, menebar haru di sana sini. Namun Gus Birru suaminya menumpahkan segala kesal dan amarah padanya hingga untuk beberapa purnama, perang dingin menyelimuti keduanya.

Dalam novel Hati Suhita, Khilma Anis begitu apik menampilkan dialog dan analogi yang mengibaratkannya dengan perempuan-perempuan hebat di masa kerajaan Jawa dahulu.

“Tapi aku tidak boleh larut dalam tangis. Namaku Alina Suhita. Suhita adalah nama pemberian kakek dari ibuku. Ia ingin aku seperti Dewi Suhita. Perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan sebesar Majapahit. Perempuan hebat yang tegar walau dimasa kepemimpinannya ada perang paregreg yang memilukan itu.” (halaman 4)

Cuplikan diatas mengajarkan kita untuk melihat masa lampau, yaitu sejarah. Dimana ada banyak tokoh yang kisah hidupnya penuh dengan makna. Khilma Anis juga memberitahu bagaimana seorang perempuan dalam menyikapi suatu masalah. Hal ini juga disampaikan lewat watak Suhita yang mikul dhuwur mendem jero.

Gejolak hasrat seorang istri yang disambut penolakan terang-terangan sang suami membuat hati Suhita hancur lebur. Terlebih ketika mendapati sang suami mendamba nama perempuan di masa lalunya. Suhita sebagai wanita biasa, tak kuasa menahan tangis di dalam batin. Ia sampai bisa membuat Aruna, sahabatnya menangis tersedu. Membuat kang Dharma, sosok penyejuk yang damai bagi Suhita menjadi iba, apalagi seorang Aruna yang dikenal ceria dan antusias mampu tersedu oleh cerita Suhita.

Aruna sahabat yang mendukung bahwa Alina mampu menghadapi ini, ia meyakinkan sahabatnya itu bahwa suatu hari Alina bisa menggenggam Mustika Ampalnya itu, Gus Birru. Sebagai wanita pada umumnya Suhita memiliki pikiran untuk enyah dari kerajaan barunya. Pesantren Al-Anwar, namun kasih sayang ummik dan abah yang tumpah ruah, membuatnya sebisa mungkin bertahan.

Meski dia sudah jatuh cinta pada putra tunggalnya itu. Gus Birru. Di lain sisi, Gus Birru tidak membiarkan begitu saja Rengganis terluka. Dunia dan hobi yang sama. Kerap menyatukan mereka di beberapa kegiatan, hingga dua hati ini bertemu. Tapi setegas apapun Gus Birru ia tak sampai hati menolak perjodohan ini. Sebagai pihak yang ditinggalkan, Rengganis mengajarkan kita arti dari kehilangan yang tak perlu dicaci maki. Ia dengan rela dan dewasa mengerti mengapa lelakinya itu tak bisa meronta atas permintaan abah dan ummiknya.

Rengganis menggulung lukanya tanpa ingin segorespun mengganggu rumah tangga Gus Birru. Khilma Anis menggambarkan Rengganis sebagai perempuan yang aktif dibidang jurnalistik. Terlebih Khilma Anis semasa kuliahnya menekuni bidang jurnalistik. Tulisan-tulisan Rengganis yang erat dengan perempuan-perempuan Jawa dengan kisah hebatnya mampu menyihir seorang Gus Birru menjadi pembaca setia. Rengganis bukan perempuan sembarangan.

“Saat hatinya hancur lebur ia mampu menaklukannya. Seperti pada contoh Ya, kangen. Tapi sebatas kangen momen yang dulu-dulu. Kangen masa berdebar-debar. Kangen masa diperhatikan, dicemburui, memperjuangkan, berbagi, dan lain-lain. Tapi, lama-lama aku berpikir logis. Aku mulai bisa membedakan, yang ku kangeni ini orangnya atau momennya? Kupikir kalau orangnya bukan, kami sudah saling mengikhlaskan. Berarti yang kukangeni adalah momen-momen itu. Kalau yang ku kangeni momen seperti itu sih, kelak bisa digantikan dan diisi oleh orang lain.” (halaman 219).

Keangkuhan Gus Birru sebenarnya bukan hanya soal kecewanya atas perjodohan ini semata. Ia pun dalam diamnya berusaha. Ini digambarkan oleh Khilma Anis lewat sudut pandang Gus Birru.

“Aku tahu, abah dan ummik menanti keturunan dariku. Berkali-kali ia menanyakannya. Tapi aku juga tahu, generasi yang cemerlang. Tidak di dapatkan dari hubungan badan yang penuh keterpaksaan. Arjuna menggauli Subadra dengan penuh gairah. Ken Arok menggauli Ken Dedes dengan penuh cinta. Baron Sukmul bercinta dengan Dewi Mundingsari dengan penuh hasrat. Aku tidak mungkin gegabah melakukannya kepada Alina. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku belum menginginkannya. Tapi aku terus berusaha.” (halaman 149-150).

Khilma Anis mengemas kisah ini penuh dengan hikmah. Banyak pelajaran yang dapat diambil untuk para pembaca dalam mengarungi samudera kehidupan. Di bab terakhir gejolak segala amarah, sedih, lara, bahagia tumpah ruah menjadi bentuk emosional yang muncul pada Alina namun tetap dalam taat sang suami. Kalimat yang menjelaskan kisah ini berakhir bahagia terletak pada bab terakhir Aku sangat bahagia.

“Mushaf di tanganku. Mas Birru di Pangkuanku. Al-Anwar dipikiranku. Abah dan ummik di hatiku. Dan benih mas Birru, baru saja, di rahimku.” (halaman 388).

Kelebihan dari novel ini lewat ketabahan Suhita yang mikul dhuwur mendem jero menjadi gambaran bagaimana seharusnya perempuan bersikap. Kekurangannya, hampir beberapa bagian menggunakan bahasa Jawa. Mengharuskan seorang pembaca yang tidak mengerti bahasa Jawa harus berfikir maknanya dulu. Meski begitu, Khilma Anis telah menuliskan makna sebagian itu di glosarium untuk memudahkan si pembaca dalam memahami tulisannya.

*Peresensi adalah Santri di Pondok Pesantren Putri Walisongo Cukir Jombang.