sumber: tribunnews.com

Oleh : Fitrianti Mariam Hakim*

Marhaban ya Ramadhan… Selamat datang wahai bulan nan agung. Begitulah yang didengungkan oleh manusia sebagai kata sambutan terhadap kedatangan Ramadhan. Sebuah bulan yang mereka anggap suci, bulan bertabur rahmat serta ampunan dari Allah Swt. Meski demikian, tidak semua orang punya “gairah” dan penilaian yang sama terhadap bulan ini.

Dalam realita kehidupan di masyarakat, banyak kita jumpai orang yang sangat antusias menyongsong Ramadhan. Mereka saling berlomba meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah. Berkompetisi mengisi bulan suci dengan berbagai amalan-amalan sunnah yang konon pahalanya begitu berlipat. Banyak cara mereka tempuh dengan satu tujuan yang sama yaitu ridho dari sang Khaliq.

Akan tetapi, terkadang antusiasme mereka harus terhalang oleh beberapa kendala yang bersifat manusiawi. Sehingga dengan kendala (uzur) tersebut mereka tidak memenuhi kewajiban berpuasa yang telah lama dinanti, baik uzur tersebut sifatnya pribadi seperti sakit maupun uzur sebagai konsekuensi sebuah profesi seperti sopir yang mengantar penumpangnya setiap hari.

Ada juga fenomena yang ironis. Sebagian orang tidak melaksanakan puasa bukan karena tertimpa uzur, akan tetapi hal ini mereka lakukan dengan sengaja. Maa sya’a Allah, apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, maka akan menimbulkan efek yang tidak baik bagi yang bersangkutan maupun umat Islam secara umum.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Lalu bagaimana sebenarnya hukum dan konsekuensi bagi orang yang memutus puasa dengan sengaja tanpa uzur? Bagaimana pula jika berhenti puasa dikarenakan adanya uzur? Lantas, uzur apa saja yang membolehkan berhenti puasa?

Menanggapi masalah pertama, para ulama’ sepakat bahwa memutus puasa dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat, maka hukumnya adalah haram. Dan bagi siapa yang melihat orang tersebut wajib menegur dan mengingatkannya sesuai batas kemampuan.

Selanjutnya, yang menjadi perdebatan antara ulama’ adalah konsekuensi dari memutus puasa tersebut. Sedangkan mereka hanya mewajibkan qadha’ (ganti) saja. Adapun pendapat ini dikeluarkan oleh ulama syafi’iyyah dan Ahmad bin Hambal serta Ahlu al-Dhahiri.

Sementara kelompok lain memiliki pendapat yang berbeda. Menurut kelompok madzab ini, bagi seorang muslim yang sengaja memutus puasa tanpa alasan yang dilegalkan atau dibenarkan oleh syara’, maka tidaklah cukup mengganti (qadha’) saja. Akan tetapi dia juga wajib memberi kaffarat (sanksi) sebagaimana sanksinya orang yang berjima’ di siang hari saat bulan Ramadan.

Kaffarat yang wajib mereka tebus adalah puasa dua bulan berturut-turut. Jika mereka tidak mampu, maka wajib memerdekakan budak. Jika tetap tidak mampu, mereka berkewajiban memberi makanan 60 orang fakit miskin, dengan ketentuan setiap fakir miskin mendapat santunan satu mud atau 6 ons makanan pokok.

Dengan demikian, mereka wajib membayar sanksi sebesar 36 kg setiap satu hari yang ditinggalkan (60 fakir miskin x 6 ons = 360 ons/36 kg). Adapun pendapat ini diusung oleh Imam Abu Hanifah, al-Zuhri, al-Auza’iy, al-Tasury, dan madzab Imam Malik. Keterangan ini diambil dari kitab Bidayatul Mujtahid halaman 278, jilid 1 dan kitab fiqh al-siyam halaman 98.

Apabila keseganjaan memutus puasa disertai pembangkangan, maka menurut Sa’id bin Musayyab, mereka wajib menggantinya sebanyak tiga puluh kali. Sedangkan menutut Imam al-Nakh’i, Ibnu Mundzir, dan Ashabina, bahwa orang-orang tersebut harus mengganti sebanyak 3000 kali (8,2 tahun). Bahkan, menurut pendapat sayyidina Ali r.a. dan Ibnu Mas’ud r.a., sekalipun orang tersebut menggantinya dengan puasa seumur hidup tetapi tidak cukup membayar pembangkangannya yang ia lakukan. Ini sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, halaman 340.

Untuk masalah kedua, para ulama’ sepakat memperbolehkan tidak berpuasa bagi seseorang yang uzur (berhalangan). Adapun uzur tersebut antara lain adalah:

(1) Perjalanan (as-safar), dengan catatan rute yang memperbolehkan qasar (kira-kira 89 km), perjalanan tersebut dilakukan sebelum fajar. Akan tetapi menurut Hanabilah tetap boleh berbuka, meskipun berangkatnya setelah tergelincirnya matahari. Selain itu, perjalanan tersebut adalah perjalanan yang mubah, serta si musafir tidak berniat muqim selama empat hari selama perjalanannya.

(2) Sakit parah yang seandainya berpuasa malah akan membahayakan dan memperparah penyakit yang diderita.

(3) Hamil, yang apabila si wanita hamil khawatir dengan keselamatan dan jiwanya

(4) Menyusui, sebagaimana wanita yang hamil.

(5) Tua renta yang tidak memungkinkan lagi untuk berpuasa. Adapun ketentuan diatas, sama halnya dengan pendapat Yususf al-Qardhawi, ketentuan ini sama halnya dengan sakit yang sudah tidak diharapkan kesembuhannya. Sebagaimana dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, nomor 3427.

إن الله سبحانه لم يضع داع إلا وضع معه شفاء إلا الهرم

Sungguh Allah yang Maha Suci tidak pernah menurunkan penyakit melainkan beserta obatnya sekalian, kecuali penyakit tua renta.”

(6) Rasa lapar yang sangat dan haus yang dikhawatirkan bisa membinasakan jika tetap berpuasa

(7) Adanya paksaan dan ancaman. Artinya orang tersebut dipaksa agar tidak berpuasa dan jikalau tetap berpuasa maka akan dibunuh.

Puasa adalah salah satu sebab terbesar menuju ketakwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum, atau berjima’ (hubungan suami-istri) tanpa diketahui orang. Namun, ia meniggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya.

Maka dari itu, tidaklah benar bilamana kita sebagai umat Islam meninggalkan hal-hal yang sudah disyariatkan (puasa) kepada kita. Karena pada hakikatnya, ibadah dapat memperkaya jiwa ketaatan kita kepada Allah, dan menjadi ciri tabiat orang yang bertakwa.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari