Sumber foto: https://muslim.or.id/10096-pelajaran-dasar-agama-islam.html

Oleh: M. Masnun*

Beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan seseorang bapak di Bandara Soekarno Hatta. Wajah beliau sudah mulai keriput dan mengaku dari daerah Jember. Kemudian bercerita tentang keadaan Islam dan Indonesia. Menceritakan aksi 212 dengan begitu semangat. Mengkritik pemerintah dengan sangat mudah, sekaligus menceritakan bahwa khilafah adalah jalan terbaik untuk mengatasi persoalan yang terjadi di masa kini.

Setelah itu saya bertanya, “Apakah bapak pernah baca buku Cak Nun, Cak Nur Kholis Majid, atau Gus Dur?” Dia pun menjawab, “Tidak, saya hanya belajar Islam dari guru saya.”

Aku bertanya lagi, “Mungkin bapak mengidolakan tokoh siapa begitu?” Dia menjawab, “Saya kan sudah bilang kalau dari dulu pendidikannya di umum, tidak seperti mas. Jadi belajarnya dari ustadz saya.”

Berakhir sudah pembicaraan itu karena tidak ada lagi bahasan yang bisa didiskusikan. Ujung-ujungnya kembali ke ustadznya dan tidak memahami semua hal secara mendalam. Saya yang masih kecil tidak mampu untuk memberikan masukan kepada orang yang jauh lebih sepuh. Semua hanya menjadi obrolan angin lalu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Imam Syafii pun enggan melakukan diskusi dengan orang yang bacaan atau wawasannya kurang. Seperti yang diungkapkan Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah:

قال الإمام الشافعي: مَا جَادَلْتُ عَالِمًا إِلَّا غَلَبْتُهُ وَلَا جَادَلْتُ جَاهِلًا إِلَّا غَلَبَنِي

Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.”

Penulis sepenuhnya menyadari ilmunya tidak akan menyamai Imam Syafi’i. Orang yang hanya tau satu hal maka akan selalu mengunggulkan pendapatnya sendiri. Sulit untuk menerima pendapat orang yang lain. Baguslah ketika pendapat yang ada merupakan kebenaran. Namun jadi tidak baik bila pendapatnya menyimpang.

Bahasan tentang khilafah sudah ada sejak lama. Pengasuh Pesantren Tebuireng, Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid beberapa kali menjadi sasaran hoaks tentang khilafah. Padahal beliau menolak berdirinya khilafah. Beliau memang pernah menjadi pembicara di kegiatan HTI di Pesantren Tebuireng. Itu dilakukan sebagai penghormatan orang yang ingin silaturrahmi ke Pesantren Tebuireng. Dalam hal pemikiran, beliau tidak setuju dengan konsep khilafah.

Gerakan menggiring pemikiran untuk diarahkan kepada konsep khilafah sudah sering ditemui di media sosial. Walaupun HTI sudah dibubarkan, ideologi yang dimilikinya akan tetap ada. Dan umumnya tempat berkembangnya pemikiran seperti ini berada di sekitar pusat perkotaan. Di daerah pedesaan yang mayoritas NU sangat kecil muncul pemahaman seperti ini.

Keluarga saya yang dari kecil tinggal di desa dan lingkungan pesantren menyayangkan keputusan Menteri Agama tentang sertifikat mubaligh. Mereka menganggap itu keputusan yang tidak tepat, karena terpikirkan bahwa banyak yang ahli agama namun tidak memiliki sertifikat. Di pesantren salaf umumnya memang tidak memberikan sertifikat keagamaan.

Di sisi lain, masyarakat desa saya tidak mengetahui terjadinya provokasi melalui ibadah di perkotaan. Khutbah Jum’at diisi dengan propaganda politik dan khilafah. Padahal pemberlakuan sertifikasi itu untuk melindungi masyarakat dari paham yang salah dan perpecahan. Lagi-lagi karena pengetahuan.

Dr. Fathurin Zen, dalam bukunya Radikalisme Retoris, mengungkapkan bahwa ideologi radikal dapat diilhami oleh pemahaman dan fanatisme ajaran agama atau kepercayaan yang keliru. Hal ini diperkuat dengan ketidakpuasan dengan kondisi yang ada. Ketidakpuasan ini dimanifestasikan melaui gerakan radikal dan tindakan anarkisme di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya.

Diperlukan pemahaman Islam yang benar sejak dini. Walaupun belajar di sekolah umum, harusnya tetap diimbangi dengan tambahan materi keagamaan. Seseorang yang telah lama belajar Islam saja bisa salah apalagi yang tidak pernah.

Seseorang tidak akan mudah menyalahkan orang lain bila sudah mempunyai wawasan yang luas, banyak mengetahui perbedaan pemikiran. Perbedaan pendapat disikapi sebagai suatu rahmat. Tidak perlu dijadikan sebagai bahan permusuhan, kebencian, atau penceraiberaian.

Prof. M. Quraish Shihab dalam buku Islam yang Saya Anut mengungkapkan bahwa perbedaan pemikiran sudah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, seperti perbedaan pendapat antara Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, dan Sayyidah Aisyah. Dalam setiap perbedaan mengandung potensi benar dan atau salah. Imam Ahmad, ketika ada orang yang mengomentari pendapatnya, “Inilah pendapat yang haq dan tidak mengandung kebatilan,” berkata, “Siapa tahu itulah pendapat yang salah yang tidak mengandung kebenaran.”

Tapi bagaimana mungkin bisa mengetahui Islam adalah rahmat bila tidak membaca atau mengenalnya. Sayangnya banyak masyarakat yang lebih memilih les materi sekolah daripada mengaji keagamaan. Mampu membayar les berjuta-juta namun urusan keagamaan lima ribu saja tidak bisa. Sayangnya.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, Tim redaksi Tebuireng Online