
Oleh: Rara Zarary*
Hari ini tidak turun hujan, Eyang
namun kota-kota basah dengan kabar duka
ada langkah yang berhenti tiba-tiba
dan betapa logika tak mampu percaya
segalanya kuyup dengan air mata
ia nyata dengan kepergian yang selamanya
pamit yang memorakporandakan kata-kata
sungguh tiada yang lebih sakit dari pada ditinggalkan yang diam-diam kucinta
kita adalah serumpun kata yang tak pernah bertemu
aku adalah bocah dari puisi-puisimu
aku adalah hujan dari setiap kabarmu
aku adalah pecinta yang bahkan detik ini masih ingin bertemu
namun Tuhan rasanya lebih cinta
begitu Tuhan lebih rindu dan ingin jumpa
kali ini, semesta tak perlu banyak kuajak bicara
biarlah puisi-puisi memberi warna sedarah apa luka
kubiarkan kalimat-kalimatku memecah sesak dada
seberat apa ditinggal selamanya
Eyang, terima kasih telah menjadi puisi paling sempurna
dalam cerita pertamaku yang tumbuh sederhana
lalu buku-bukumu akan tetap mengisi rak-rak favoritku
menjadi jendela setiap kali aku ingin melihat dunia
Tuhan,
seperti sejak awal aku jatuh cinta padanya
aku selalu percaya tidak pernah ada kematian bagi pujangga
puisi-puisinya akan selalu hidup di dalam dada
abadi tak akan pernah hanyut seperti usia
Selamat jalan, Eyang Sapardi Djoko Damono
puisi-puisimu menempati singgasana Surga
Al Fatihah…
*Alumni Pondok Pesantren An Nuqayah Sumenep Madura.