KH. Ahmad Siddiq saat bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
KH. Achmad Siddiq saat bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

KH. Acmad Siddiq adalah satu dari sekian ulama yang terkenal di zamannya. Beliau adalah ulama kelahiran Jawa Timur, tepatnya di daerah Talangsari Jember. Lahir pada tanggal 24 Januari 1926.

Mengenai pendidikan, Sekolah Rakyat adalah jenjang yang pernah beliau rasakan. Setelah beberapa lama, Pesantren Tebuireng asuhan KH Hasyim Asyari menjadi salah satu rujukan beliau dalam menimba ilmu agama.

Jelang beberapa tahun, beliau menikah dengan seorang wanita bernama Solihah. Namun, tidak terlalu lama, istri beliau meninggal dunia. Setelah itu, beliau memutuskan untuk menikah kedua kalinya, dan berhasil memiliki anak berjumlah tiga belas.

Pada Muktamar yang diadakan di Situbondo, beliau mendapat jabatan sebagai Rais Amm PBNU. Bersamaan dengan penunjukkan itu, Gus Dur, sebagai cucu asli pendiri NU, berhasil menjabat sebagai ketua umum PBNU.

Dalam mengarungi samudra keilmuwan Islam, beliau memiliki beberapa karya yang mungkin hingga hari ini bisa kita nikmati. Karya-karya tersebut sebagaimana berikut,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online
  1. Pedoman berpikir Nahdlatul Ulama (FOSSNU Jatim, 1969)
  2. Khittah Nahdliyyah (terbit pertama di Jember, April 1979)
  3. Islam Pancasila dan Ukhuwah Islamiyah (wawancara dengan Fahmi D. Saifuddin, LTNNU, 1985)
  4. Pemikiran KH Achmad Siddiq (Aula, 1992)
  5. Al-Hajj Ahmad Shiddiq al-Maulud fi Jimbar (tanpa tahun)
  6. Dzikru al-Ghafilin liman Ahabba an Yasraha maa al-Auluya wa ash-Shalihin Majmuah (tanpa tahun)
  7. Achmad Shiddiq al-Aurad fi al-Ma’had al-Islami ash-Shiddiqi Majmu’ah (1412 H)

Tidak hanya itu, beliau juga memiliki beberapa pemikiran filosofi yang sangat kental dengan dunia pesantren. Salah satunya adalah apa yang biasa kita kenal dengan sebutan Panca Jiwa. Isi dari filosofi tersebut sebagaimana berikut,

Pertama, Jiwa Keikhlasan. Jiwa ini tergambar dalam ungkapan “Sepi ing pamrih,” yaitu perasaan bahwa segala aktivitas semata-mata untuk beribadah yang sama sekali tidak dimotivasi oleh keingina memperoleh keuntungan-keuntungan yang bersifat materi.

Jiwa ini tampak pada orang-orang yang tinggal di pesantren, mulai dari kiai, jajaran ustad, hingga para santri. Dari sinilah kemudian tercipta suasana harmonis antara kiai yang disegani dan santri yang menaati (suasana yang didorong oleh jiwa yang penuh cinta dan rasa hormat).

Kedua, Jiwa kesederhanaan. Kehidupan di pesantren diliputi suasana kesederhanaan. Sederhana bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan miskin melainkan mengandung unsur kekuatan hati, ketabahan dan pengendalian diri di dalam menghadapi berbagai macam rintangan hidup sehingga diharapkan akan lahir jiwa besar, berani, bergerak maju, dan pantang mundur dalam segala keadaan.

Dengan kata lain, di sinilah awal tumbuhnya kekuatan mental dan karakter yang menjadi syarat bagi suksesnya suatu perjuangan di segala bidang.

Ketiga, Jiwa Kemandirian. Berdikari, yang biasanya dijadikan akronim dari, “Berdiri di atas kaki sendiri,” bukan hanya berarti bahwa seorang santri harus belajar mengurus keperluannya sendiri, melainkan telah menjadi semacam prinsip bahwa sedari awal pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tidak pernah menyandarkan kelangsungan hidup dan perkembangannya pada bantuan dan belas kasihan pihak lain.

Selain itu, dilihat dari sejarah pertumbuhannya, pesantren kebanyakan dirintis oleh kiai dengan hanya mengandalkan dukungan dari santri dan masyarakat sekitar sehingga jiwa kemandirian tak ubahnya sebagai pondasi utama bagi perintisan pesantren.

Keempat, Jiwa Ukhuwah Islamiyah. Suasana kehidupan di pesantren selalu diliputi semangat persaudaraan yang sangat akrab sehingga susah dan senang tampak dirasakan bersama (tentunya banyak nilai-nilai keagamaan yang melegitimasinya.

Tidak ada lagi pembatas yang memisahkan mereka, sekalipun mereka sejatinya berbeda-beda dalam aliran politik, sosial, ekonomi dan lain-lain baik selama berada di pesantren maupun setelah pulang ke rumah masing-masing.

Kelima, Jiwa Kebebasan. Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya selama hal itu masih dianggap sejalan dengan nilai-nilai pendidikan yang mereka dapatkan di pesantren.

Ditinjau dari sudut pandang pesantren itu sendiri, ia juga telah terbiasa bebas dari campur tangan asing dan pengaruh luar. Itulah mengapa pesantren biasanya merupakan lembaga swasta dalam arti penuh.

Tak ayal ketika pesantren sampai hari ini masih bisa berdiri kokoh, melestarikan semua nilai-nilai yang sudah dibangun sejak lama sekali. Ini tidak lain karena hasil pemikiran para ulama dan kiai yang memiliki perhatian penuh dengan kelestarian nilai ajaran agama Islam.

Semoga dari filosofi di atas, serta biografi singkat yang penulis tawarkan, kita bisa senantiasa mengambil pelajaran dan mengaplikasikannya di dalam kehidupan sehari-hari. Semoga!

Sekian, terima kasih.

Baca Juga: Sosok Alim dan Pepak, Mengais Keteladanan Kiai Syansuri Badawi (Bagian-1)*


*Sumber: Gubernur Khofifah dan Kebijakan Pengembangan Pesantren


Ditulis oleh Moch. Vicky Shahrul Hermawan