fahmina or id

Oleh: Dimas Setyawan*

Perempuan merupakan makhluk (manusia) yang diciptakan oleh Allah SWT, sama halnya dengan laki-laki. Tetapi pada tatanan kehidupan sosial, perempuan acap kali dinilai sosok nomor dua setelah laki-laki. Kesetaraan yang diperoleh oleh kaum perempuan juga melewati masa-masa suram dan menyedihkan.

Perempuan dianggap sebagai makhluk nomor dua, kesewenang-wenangan terhadap perempuan lantas menjadi tradisi yang mengakar di beberapa tempat, dan inilah data penindasan terhadap perempuan, dan juga perjuangan perempuan meraih hak-haknya sebagai seorang manusia.

Perempuan Pra Islam

Pada tahun 288 SM, umat Kristen mengadakan sebuah konferensi yang diselenggarakan di Perancis, guna membahas kedudukan seorang perempuan di lingkungan sosial. Konferensi tersebut menghasilkan tiga poin pertanyaan;

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pertama, apakah perempuan adalah manusia yang memiliki ruh atau tidak? Kedua, jika saja perempuan memiliki ruh, lalu apakah ruhnya tersebut tergolong sebagai ruh manusia atau hewan? Ketiga, kemudian, apakah ruh perempuan setara dengan ruh seorang laki-laki?

Dari hasil konferensi tersebut menghasilkan suatu kesimpulan yakni bahwa perempuan memiliki ruh, tetapi tidak setara dengan ruh yang dimiliki oleh laki-laki dikarenakan perempuan diciptakan semata-mata hanya untuk melayani keinginan dan nafsu birahi laki-laki tersebut.

Perempuan Pada Periode Arab Pra Islam

Pada periode ini, perempuan dianggap budak yang masuk pada sistem sosial saat itu. Selain itu juga, perempuan juga diperdagangkan layaknya bahan dagangan. Menjadi simbol kehinaan bagi keluarga. Objek dan alat pemuas seks laki-laki, pemukulan, hingga pembunuhan yang menimpa perempuan adalah suatu bentuk hal yang biasa bahkan dijadikan jaminan hutang. Bahkan perempuan kerap kali menjadi tawanan rumah dengan dipaksa melakukan pekerjaan berat dan dianggap tiada, juga tidak dihitung sebagai anggota keluarga.

Perempuan Periode Islam

Islam yang dibawa Nabi Muhammad lalu menyentuh dataran Arab ini dan merevisi status perempuan yang dianggap sebagai aib menjadi makhluk yang sama dengan laki-laki di hadapan Tuhan. Dalam surat Al-Hujurat, 49/13 disebutkan bahwasanya Allah melihat nilai manusia dari segi ketakwaannya, tidak pada jenis kelaminnya.

“Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat Ayat 13)

Perempuan dalam naungan agama Islam, dibebaskan oleh belenggu diskriminatif yang tidak sesuai pada Hak Asasi Manusia (HAM). Perempuan sudah dianggap sebagai makhluk Tuhan yang sejajar derajatnya seperti laki-laki. Dan memiliki peran penting dalam membangun tatanan kehidupan bermasyarakat.

Contohnya ialah ketika pasca kewafatan Nabi Muhammad, Sayyidatina Aisyah menjadi rujukan keilmuan Islam pada saat itu. Para sahabat dan tabiin berbondong-bondong belajar kepada Sayyidatina Aisyah menggali hadits-hadits peninggalan nabi. Sehingga lahirlah para perawi hadits yang masyhur seperti yang kita kenal saat ini, antara lain Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan masih banyak yang lainnya.

Pentas Ulama Perempuan

Bicara tentang ulama perempuan maka kita berbicara mengenai kuantitas, bukan kualitas. Artinya, ulama perempuan memang ada tetapi tidak sebanyak ulama lelaki. Itulah sebabnya keberadaan mereka terkadang diabaikan. Sayyidah Khadijah dan Siti Aisyah, adalah contoh utama dari dua ulama perempuan pertama dalam Islam. Mereka menonjol di antara ratusan ribu kaum laki-laki.

Dalam ilmu hadis, dunia Islam mengenal sejumlah ulama perempuan, seperti Fathimah binti Abdirrahman Harani (312 H) dan Aisyah binti Hasan bin Ibrahim (W. 446 H) serta Ummu Habibah Dhwnah binti Abdul Aziz (W. 506). Ketiganya merupakan ulama hadis terkenal abad ke 4, 5, dan 6 Hijriyah.

Dalam dunia ilmu akhlak dan tasawuf, dunia Islam mengenal sejumlah ulama perempuan. Yang paling terkenal adalah Sayyidah Rabiah Adawiyah, Sayyidah Nafisah binti Hasan (salah seorang guru Imam Syafi’i), Mu’adzah Adawiyah, Majidah Qurasiah, Fatimah Naisaburiyah dan lain-lain. Data beberapa ulama di atas belum termasuk para ulama perempuan di Nusantara, seperti Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Tengku Meurah Inta, Dewi Sartika, Rohana Kudus, dan Nyai Hj. Khoiriyah Hasyim Tebuireng.

Namun sekali lagi, karena jumlah ulama perempuan hanya ratusan (versi Ibnu Hajar al – Asqalani antara 300-400an), maka keberadaannya mereka seakan-akan “tenggelam” di bawah hegomoni ulama laki-laki yang jumlah jutaan. Pertayaanya, kenapa bisa begitu? Apakah mayoritas kaum perempuan enggan menjadi ulama? Atau memang terdapat faktor lain?

Struktur Otak Perempuan dan Laki-laki

Menrut ahli neurologi (ilmu tentang otak), perberdaan karakter dan cara berpikir antar laki-laki dan perempuan sangat dipengaruhi oleh struktur otak. Coba perhatikan fakta-fakta berikut: Kebanyakan pelaku kriminal adalah kaum laki-laki. Kebanyakan perangkai bunga adalah kaum perempuan. Lalu dalam pemilihan peran perempuan lebih suka pada ranah domestik, sedangkan laki-laki menyukai peranan publik. Kemudian dalam urusan perasaan, kaum perempuan lebih “pemalu”, sedangkan lelaki lebih agresif.

Tapi perlu dicatat bahwa perbedaan struktur otak tersebut tidak mempengaruhi tingkat kecerdasaan (baca: IQ). Bahkan beberapa komponen otak perempuan justru lebih besar daripada lelaki, seperti corpus calosum yang merupakan pusat pengaturan bahasa. Artinya dalam kecerdasaan linguistik-verbal, perempuan lebih unggul. Namun dalam kecerdasaam visuo-spasial (memetakan ruang), lelaki yang lebih unggul.

Itulah sebabnya, hanya dengan membayangkan saja, lelaki dapat melukiskan posisi dan gerakan benda tiga dimensi (misalkan membayangkan jalan menuju rumah seorang kawan). Sedangkan wanita cenderung mengadalkan pancaindra sehingga harus langsung berangkat menuju lokasi.

Dalam kasus kejiwaan, perempuan lebih sering menderita sindrom depresi. Perempuan sering depresi karena memedam perasaannya sendiri. Ketika sedih, sistem limbic pada otak perempuan bekerja delapan kali lebih keras daripada otak laki-laki. Akibatnya perempuan sangat terganggu dengan kesedihannya. Keadaan itu memberikan pengaruh sangat besar pada hidupnya.

Sebuah Hipotesa

Semua uraian di atas, tidak ada hubungannya dengan hukum agama (baca: fikih). Secara hukum, perempuan sah saja menjadi ulama. Tapi, semuanya dikembalikan kepada kesiapan perempuan itu sendiri. Apakah mereka siap “mengelola” perasaannya sendiri? Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan lebih “perasa” dibandingkan laki-laki. Padahal dalam dunia keagamaan yang merupakan domain ulama, ialah perasaan dan logika harus berjalan beriringan.

Ilmu logika hukum (mantiq dan ushul fiqh) dan logika teologi (tauhid), harus dikuasai bersamaan dengan penguasaan logika sufistik yang mengadalkan dzauq (rasa). Maka, mengendalikan emosi dan perasaan agar tidak menumpulkan logika adalah pekerjaan rumah (PR) utama bagi perempuan yang hendak ingin menjadi ulama.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari