sumber ilustrasi: google.com

Oleh: Rara Zarary*


Sore itu, ibu menarik lenganku yang masih asik memainkan lato-lato. Aku tersentak, dengan air mata yang rimba ibu terbata-bata mengajakku pergi dari pinggir jalan tempat bus lintas provinsi mengangkut dan menurunkan penumpang. Aku yang masih kecil tak paham apa-apa kecuali hanya melihat bahwa ibuku sedang menangis dan pasti sedang sedih. Yang aku tahu waktu itu, seseorang yang menangis adalah karena kekecewaan, penyesalan, atau dia kehilangan.

Kemungkinan ketiga adalah kemungkinan paling benar. Ibu kehilangan sosok lelaki yang kusebut ayah. Sore itu hujan dan bus Wista telah membawa ayah jauh dari kami. Sebuah perjalanan yang sangat jauh, dan lama.

Sejak sore itu juga, aku tak lagi melihat ibuku tertawa. Setiap hari ibu hanya lebih akrab dengan kesendirian, kesepian, dan lebih suka termenung. Sop ayam dan lauk telor yang biasanya menjadi makanan favoritku kini menjadi asin, dan ibu tak mau tahu soal itu, yang penting sudah masak dan aku bisa makan. Ini tak sebentar, sudah 4 tahun kami begini, ibu begitu seterusnya.

Sampai kami lupa seperti apa bentuk hujan waktu itu yang menghapus kebersamaan kami, kondisi seperti apa yang telah membawa ayahku pergi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“kalau nanti kamu sudah dewasa, jangan pernah meninggal siapa pun.” suara ibu menghentikan gerak tanganku yang hendak mengambil segelas air putih di atas meja.

“bapakmu boleh pergi, boleh tak kembali. Tapi jangan sampai kamu melakukan hal yang sama dengannya.” Air matanya deras. Tangannya menggenggam ujung sendok dengan gemetar bibirnya membuat aku semakin paham, ibu terluka. Dan seseorang yang telah melukainya adalah orang yang paling dia cintai.

“aku akan tetap bersama ibu. Aku tidak akan meninggalkan ibu, sampai kapan pun.” aku menghapus air matanya. Dia tersenyum. Dan aku menangis melihatnya kembali tersenyum. Bayangkan selama 4 tahun senyum itu tidak pernah lagi aku lihat di wajah cantiknya.

“bapak pasti kembali, bu.” Aku mencoba memberi hiburan dengan kalimat itu.

“jangan pernah berharap sesuatu yang tidak pasti, Agam. Kau tak tahu bagaimana terlukanya jika apa yang kamu yakini tak akan pernah terjadi.” Aku memilih diam. Aku tak tahu bagaimana ibu menanggung luka, beban, dan kekecewaan selama bertahun-tahun.

Laki-laki itu memang tak memberi kabar sama sekali sejak ia menaikkan kakinya di tangga bus Wista berwarna hijau tua itu. aku masih ingat persis bagaimana langkahnya beranjak dari hadapan kami. Aku masih ingat betul bagaimana dia mengatakan, “bapak pergi sebentar. Tunggu yang sabar.”

Atau mungkin durasi sebentar bagi ayah dan ibu berbeda? Aku tidak tahu itu.


***


10 Agustus 2012
Sembilan tahun tepat ayah pamit pergi dari kami. Sebuah pamit yang tak menjanjikan kembali. Sebuah perpisahan yang membuat ibu tak percaya lagi soal kebahagiaan. Dan saat ini, aku tidak bisa tinggal diam. Aku tidak ingin ibuku menikmati masa tuanya dengan renungan silam, dengan kutukan kesepian, dan dengan derita yang obatnya hanya kedatangan ayah ke rumah ini lagi.

Sore ini, persis seperti sore waktu ayah memilih pergi, aku pun memilih pergi, aku beranjak bersama bus yang sama persis dengan yang pernah ayah tumpangi. Aku pergi untuk membawanya kembali ke hadapan ibu. Entah bagaimana pun caranya, aku akan dan pasti menemukannya.

Dear Ibuku tercinta,
Agam pamit, untuk kembali. Nasihat ibu akan selalu Agam pegang; tidak akan menjadi seseorang yang meninggalkan siapapun, termasuk ibu. Sore ini, Agam akan menemui ayah. Membawanya padamu. Bertanggung jawab atas luka yang telah bertahun-tahun ia tancapkan ke tubuhmu. Membawanya ke hadapanmu, meminta maaf atas air mata yang tak bisa dihitung tetesnya.

Ibu, kalau nanti aku berhasil membawa ayah, berjanjilah padaku ibu akan kembali tersenyum dan tertawa bersama, sebab aku rindu senyum ibu. Jika memang hanya dengan kembalinya sosok laki-laki ini yang akan membuat ibu tertawa dan bahagia, Agam akan melakukannya. Dan sore ini, perjalanan pencarian ini Agam mulai, demi dan untuk ibu.

Tetapi Ibu, jika ternyata Agam tidak berhasil membawanya pulang; izinkan Agam tetap pulang, sebab Agam tak ingin menjadi sepertinya yang meninggalkan ibu dalam waktu sangat lama. Ibu baik-baik lah di rumah, tidak perlu ke mana-mana untuk mencari aku dan ayah. Kami akan segera kembali untuk ibu.

Agam,
Dengan penuh cinta.

Selembar surat itu aku letakkan di samping ibu, saat ibu tertidur pulas. Tengah malam, di saat doa-doa manusia Tuhan kabulkan, di waktu segala mimpi baik ingin menjelma kenyataan. Dan langkahku ini, semoga menjadi sebuah pengabdian untuk ibu, seseorang yang tak akan pernah kutinggalkan sendirian, dengan waktu yang cukup lama. Semoga aku bisa kembali ke pangkuannya.