Sebuah ilustrasi (sumber: youtube)

Peletakan pondasi pertama ilmu tajwid adalah Rasulullah, baik dari segi praktik maupun yang lainnya. Karena pada beliaulah, Al-Quran turun. Beliau bertalaqqi dengan malaikat Jibril a.s, demikian juga para sahabat bertalaqqi kepada Nabi Muhammad. Kemudian para tabiin bertalqqi kepada para sahabat. Demikian seterusnya hingga kepada kita melalui guru-guru kita secara mutawatir.

Terdapat beberapa nama yang dikenal sebagai penulis ilmu tajwid pertama kali, antara lain adalah Abu al-Aswad Al- Du’ali (w.69 H/688 M), Abu al-Qasim Ubaid bin al-Salam (w.224 H/833 M). Ada juga yang mengatakan al-Khalil bin Ahmad (w.173 H/789 M). Adapun sejarah ilmu tajwid serta perkembangannya bisa dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Periode Pertama, Nabi Muhammad Saw sampai Abu Bakar r.a.

Nabi Muhammad Saw., dan para sahabatnya sangat mengetahui makna-makna Al-Quran serta ilmu-ilmunya, sebagaimana pengetahuan para ulama sesudahnya. Bahkan, makna ilmu-ilmu tersebut pada masa Rasulullah dan para sahabat belumlah berupa tulisan maupun pembukuan seperti saat ini. Sebab mereka merasa tidak perlu menulis bahkan membukukan makna-makna yang terdapat di dalam al-Quran dalam satu buku maupun kitab.

Baca Juga: Belajar Tajwid Mengasyikkan

Hal itu karena Rasulullah yang langsung menerima wahyu dari Allah SWT. Juga mendpatakan rahmat-Nya yang berupa jaminan dari Allah bahwa kalian pasti akan mampu mengumpulkan wahyu tersebut dalam dadanya, dan Allah melancarkan lisannya ketika membaca wahyu tersebut. Serta mampu untuk menafsirkan isi maksudnya. Allah memberikan jaminan kepadanya tentang makna-makna dan rahasia wahyu al-Quran.

Ketika proses penurunan Al-Quran masih berlangsung, Rasulullah senantiasa membacakan wahyu yang dibawa oleh Malaikat Jibril a.s. kepada para sahabatnya. Setiap ayat yang turun akan dihafal dengan sangat sempurna, baik oleh Rasulullah sendiri maupun oleh para sahabat. Perihal orisinilitas Al-Quran yang telah digaransi oleh Allah tidak perlu diragukan lagi. Sebab yang dijadikan parameter dalam penukilan al-Quran adalah hafalan yang berada dalam memori Rasulullah dan para sahabatnya, bukan didasarkan pada dokumentasi tertulis berupa suhuf maupun mushaf.

Bila diteliti lebih jauh perkembangan ilmu tajwid sudah ada sejak zaman Rasulullah. Rasulullah menerima wahyu dari Jibril a.s., sudah dengan wujud tajwid, hanya pada masa tersebut tidak ditekankan hulumnya dengan perinci dan dibukukan. Ilmuan sejarah pun menyatakan perkembangan ilmu tajwid di zaman Rasulullah sering dengan perkembangan ilmu-ilmu lain. Penulisan ilmu tajwid sejak dulu tidak begitu banyak, puncak utamanya ialah karena pembahasan ilmu itu sendiri tidak begitu meluas dan kandungan babnya tidak banyak.

Rasulullah bercita-cita mewujudkan masyarakat muslim yang berperadaban tinggi dan berwawasan luas. Ia berusaha untuk membudayakan umatnya sebagai insan produktif dengan kapasitas keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, sejak awal turunnya wahyu Rasulullah menunjuk beberapa sahabat yang melek huruf untuk dijadikan sebagai sekretaris wahyu.

Tugas utama mereka adalah mengdokumentasikan setiap ayat al-Quran yang turun. Seluruh catatan wahyu direkam oleh para sekretaris berdasarkan daya kekuatan verbalistik yang sangat kuat. Masing-masing di antara mereka senantiasa melakukan cross check dokumentasi masing-masing dengan catatan milik rekannya. Dengan demikian tidak ada satu ayat pun yang luput dari para sekretaris wahyu tersebut. Di antara sahabat yang ditunjuk sebagai sekretaris tersebut ialah Abu Bakar al-Sihdiq (w23/643), Ustman bin Affan (w. 35/655), Ali bin Abi Thalib (w.40/660), Zaid bin Tsabit (w. 45/665), dan lain sebagainya.

Baca Juga: Hukum Belajar Al Quran dan Tajwid Via Online

Selain para sahabat yang ditunjuk sebagai sekretaris Al-Quran seperti yang telah disebutka diatas, tujuh sahabat yang merupakan mata rantai pertama periwayatan Qira’at al-Quran. Mereka adalag sahabat yang mashyur sebgai guru da ahli Qiraat al-Quran, mereka adalah  Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abu Darda dan Abu Musa Al-Ashari. Tahap periwayatan Qiraat al-Quran sejak diutusnya Rasulullah pada masa ini (sampai tahun 60H/679M) dilakukan secara lisan (tallaqi) dan ditulis pada lembaran-lembaran berserakan.

Nabi Muhammad mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepada para sahabat dengan bacaan yang tartil sebagaimana Nabi menerimanya dari Jibril a.s. Ini menunjukan bahwsanya pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil dari (ijtihad) maupun fatwa Ulama yang berdasarkan dari dalil-dalil Hadist dan al-Quran dan sunnah, tetapi dari sumbernya yang asli yaitu Rasulullah. Para sahabat adalah orang-orang yang amanah dalam menyampaikan dan mewariskan bacaan ini kepada generasi selanjutnya, tanpa mengurangi dan menambahkan sedikit pun.

Setiap Rasulullah selesai menerima wahyu ayat al-Quran, ia menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya. Nabi membacakan dan menyamapaikan kepada para sahabatnya dengan tekun, sehingga mereka dapat membacanya dengan baik. Menghafal lafadz-lafadznya dan mampu serta dapat memahami makna-makna yang tersirat.

Para sahabat pada waktu itu terdiri dari orang-orang Arab, yang memiliki kemapuan menghafal sangat tinggi, otak yang cerdas dan daya tangkap yang tajam. Selain itu, kebanyakan mereka terdiri dari orang-orang yang tidak pandai membaca dan enulis akan tetatpi mereka terdiri dengan orang-orang yang cerdas. Ketika mereka mengalami kesulitan mereka langsung bertanya kepada Rasulullah dan juga waktu itu belum ada alat-alat tulis yang memadai serta adanya larangan Rasulullah dalam menulis segala sesuatu selain ayat al-Quran.

Demikianlah kondisi al-Quran pada zaman Rasulullah semasa hidupnya. Serta ilmu qiraat ataupun ilmu tajwidnya dan ilmu qiraat masih dalam satu kesatuan, dengan nama imu qiraat. Jadi dalam periode ini belum lahir istilah ilmu tajwid.

Periode Kedua Masa ‘Utsman bin Afwan r.a.

Setelah periode pertama berlalu, datanglah pemerintahan khalifah ‘Utsman bin Afwan r.a. Wilayah Islam pun telah bertambah luas, orang-orang Arab murni telah bercampur dengan orang-orang yang tidak kenal dengan bahasa Arab. Percampuran bangsa dan akulturasi kebudayaan ini menimbulkan banyak kekhawatiran. Di samping adanya berbagai kekhawatiran akan luntur dan hilangnya keistimewaan orang Arab murni. Juga adanya perselisihan kaum muslimin tentang Al-Quran. Jika mereka tidak segera membukukan Al-Quran dengan dikumpulkan atau disatukan dalam satu mushaf, mungkin akan timbul bencana dan kerusakan dimuka bumi ini.

Baca Juga: Ramadhan Bulan Tajwid

Karena itu Khalifah ‘Utsman bin Afwan memerintahkan kaum muslimin agar ayat-ayat Al-Quran yang telah dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar ra, dikumpulkan lagi dalam satu mushaf. Mushaf ini kemudian dikenal dengan nama Mushaf Utsmani. Dari Mushaf itu disalin ke beberapa naskah lagi yang dikirimkan ke beberapa negara-negara Islam. Khalifah Utsman juga membakar mushaf-mushaf yang selain mushaf utsmani hal ini bertujuan untuk menjaga kemurnian Al-Quran. Umat Islam juga pada waktu itu dilarang untuk berpendoman kepada mushaf-mushaf selain mushaf utsmani tersebut. Dengan usahanya tersebut, berarti Khalifah Utsman telah melentakan pembukuan Al-Quran untuk pertama kalinya, yang biasa kita sebut dengan Rasm Al-Quran.

Periode ketiga: Masa Ali bin Abi Thalib r.a

Selanjutnya, datanglah pemerintahan Khlifah Ali bin Abi Thalib, ia memperhatikan orang-orang yang suka menodai kemurniaan bahasa Arab. Sebab itu, ia sering mendengarkan sesuatu yang dapat merusak tatanan bahasa Arab. Karena itu ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duali untuk membuat sebuah kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa Arab sebagai bahasa al-Quran dari permainan dan kerusakan orang-orang yang jahil. Abul Aswad menulis pendoman-pendoman serta aturan-aturan dalam bahasa Arab. Dengan demikian, Khalifah Ali bin Abi Thalib telah meletakkan dasar pertama terhadap ilmu, yang saat ini dikenal sebagai ilmu Nahwu dan ilmu I’rab Al-Quran.


Penulis: Dimas Setyawan Saputro
Editor: Rara Zarary