ilustrasi: bahu anak pertama (magdalene.co)

Oleh: Uzair Assyaakir*

Mencintai itu insan, rasa luka itu insan. Namun, masih mencintai di kala terluka adalah ‘Malaikat’. Begitu kira-kira tulis Jalaluddin Rumi. Tak tahu, sudah berapa kali aku menyakiti hati orang tua. Tapi, Mak Bapak tetap teguh dalam menyayangiku, mungkin mereka termasuk ‘Malaikat’ yang dimaksud oleh Rumi.

Pernahkah kamu membayangkan bahwa suatu saat kamu akan ditinggalkan oleh Ibu dan Bapakmu? Apakah kamu akan memasuki bab kesedihan yang tak berkesudahan?

Hingga suatu malam, aku menerima kabar bahwa Ibu dari temanku meninggal dunia. Aku terkejut mendengar kabar itu. Sekilas terbayang wajah temanku dipenuhi dengan air mata tersebab satu ‘malaikat’ terdekatnya pergi.

Aku tidak mengirimkan pesan “Turut berdukacita” atau semacamnya kepadanya. Kupikir mungkin temanku laki-laki ini perlu waktu untuk menuntaskan tangisnya. Alangkah lebih baik jika beberapa hari setelah proses pemakaman, aku langsung mengunjunginya, pikirku.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hingga hari itu tiba. Aku bertandang ke rumah temanku. Aku tidak menyebut nama lengkapnya di sini, tapi nama panjangnya diakhiri dengan kata “Digdaya”, dan dalam KBBI “Digdaya” memiliki makna “Tidak Terkalahkan”. YA TUHAN, namanya sesuai dengan dirinya, pikirku.

Dalam beberapa riwayat Nabi saw. Seringkali mengganti nama yang jelek dengan nama yang bagus. Salah satunya adalah beliau pernah mengganti nama anak perempuan sahabat Umar ra.

Dari Ibnu Umar diriwayatkan bahwa salah seorang anak perempuan Umar dahulu bernama Ashiyyah (yang durhaka). Rasulullah pun mengganti namanya dengan Jamilah (perempuan yang cantik).” (Muttafaq alaih)

Sebagaimana dalam islam, nama bukan sekadar penanda. Dia adalah doa bagi diri dan kehidupannya. Barangkali nama yang diberikan kepada temanku ini adalah doa yang telah dikabulkan. Aku Amiinn-in.

Bertepatan dengan empat harinya Almarhumah ibu dari temanku, aku datang dengan membawa satu hati berisi “Kelapangan”, kupikir saat temanku bersedih dan butuh kelapangan hati, maka aku bisa menuangkan “kelapangan hati” yang kupunya melalui memeluknya.

Tapi tidak, temanku benar-benar tegar. Aku tahu aku tidak bisa mengetahui bagaimana hatinya, tapi tegar maupun pura-pura tegar tetap saja membutuhkan ketegaran.

Aku duduk, temanku yang berusia 20 tahun ini bercerita. Baru sampai pada kalimat pertama, Asumsiku sudah salah. Kukira bapak dari temanku ini akan memberikan ketenangan untuk anak-anaknya, kukira bapak dari temanku ini akan pontang panting kesana kemari demi memulyakan peristirahatan terakhir istrinya. Kukira bapak dari temanku ini yang akan mengatakan “Sudah, Ibu di sana sudah tenang dan sudah tidak sakit lagi” kepada anak-anaknya.

Ternyata tidak. Temanku yang juga anak sulung inilah yang berperan sebagai si Tangguh yang pontang panting mengurus administrasi rumah sakit dan memulyakan peristirahatan terakhir sang Ibu ketika Bapaknya tengah terduduk lemas meratapi kepergian istrinya tercinta.

Aku tidak menyalahkan siapapun di sini, tapi kepergian seseorang yang sangat kita cintai bukan merupakan hal yang sepele, menurutku. Aku hanya ingin mengangkat ketabahan temanku menghadapi kepergian sang Ibu.

Di rumah sakit, saat jenazah ibu tengah dimandikan, aku bisa saja menangis meraung-raung, tapi malu… aku ini laki-laki, pun aku tidak sendirian, di rumah sakit ramai orang. Aku juga bisa saja pingsan tersebab masih belum menerima kenyataan, tapi saat itu aku sadar, adikku perempuan masih SMP, sedangkan bapak terduduk lemas, jika bukan aku yang tegar, lantas siapa?

Kurang lebih begitu lah yang aku tangkap dari temanku.

Mungkin benar bahwa menangis itu tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin, apakah kau laki-laki atau perempuan, kau berhak menangis. Tapi juga harus tahu kondisi, dan mungkin aku harus belajar untuk memperkuat bahuku seperti halnya temanku.

Semoga ‘Malaikat’ yang sering kau sebut dengan panggilan ‘Ibuk’ di ampuni segala dosanya, dan diberikan tempat yang terbaik disisi-Nya.

Al Fatihah…