Oleh: Zainuddin Sugendal
Tuan Hasan berdiri di luar kandang macan, dia melempar potongan kambing jantan ke dalam kandang.
Dari lubang-lubang yang berada di dalam kandang, sebelas ekor macan keluar satu-persatu memakan potongan kambing jantan itu.
Musim hujan datang seperti fajar, banyak pasangan suami istri dan bukan suami istri ramai membikin bayi, tapi para lanjut usia mulai menjadi pikun dan diserang berbagai penyakit tua, bahkan mereka banyak yang meninggalkan dunia, “Musim hujan itulah saat dimana kelahiran dan kematian beradu,” kata Tuan Hasan kepada Pardi, orang yang membantunya merawat sebelas ekor macan miliknya.
*****
Malam Jum’at Legi, orang-orang kampung Sebrang bergerombol menghadap Tuan Hasan, mereka datang menyampaikan kabar perihal kematian mendadak yang dialami para penduduk kampung Sebrang, layaknya ayam terkena wabah flu burung, mereka mati tanpa proses sakit lebih dahulu, tiba-tiba geblak dengan kondisi perut kembung, termasuk Pardi, si punakawan Tuan Hasan yang baru kemaren lusa masih bersamanya memberi makan sebelas macan. Ia tadi pagi ditemukan mati dengan perut kembung di dalam kamarnya. Dan beberapa orang lainnya juga ditemukan mati dengan kondisi serupa.
Orang-orang Sebrang yang menghadap Tuan Hasan adalah lima orang laki-laki dan dua orang perempuan, mereka duduk bersimpuh di dalam rumah Tuan Hasan, di beberapa sudut rumah tampak bersinar lampu teplok dengan jelaga kecil, membuat ruangan menjadi terang rabun. Tuan Hasan keluar dari dalam kamar, lalu melihat tamu-tamunya sudah duduk merunduk, mereka lebih terlihat membungkuk. Melihat Tuan Hasan datang mereka berdiri, para tamu lelaki bersalaman dan dua tamu perempuan tadi tersenyum ragu. Tuan Hasan mempersilakan mereka kembali duduk. Lalu mulailah orang-orang kampung Sebrang itu menceritakan dan mengadukan resahnya.
“Saya melihatnya sore tadi di tepi sungai Sengon, saya melihat wanita tua itu sedang memakai kebaya sambil mengalungkan selendang warna hitam,” kata Tumna, melaporkan apa yang dia lihat. Tamu yang lain jantungnya semakin resah, Tuan Hasan diam saja, salah seorang lagi menceritakan pertemuannya dengan nenek Zuja di hutan, saat wanita tua itu berubah wujud menjadi gadis muda yang cantik, “Saya sempat terperangah melihatnya, sebelum saya insaf dan ingat istri saya sedang sakit dan menunggu saya di rumah.” Pengakuan ini semakin membuat deg-degan para anggota majelis. Bagi mereka menceritakan nenek Zuja sama halnya menceritakan sebuah kematian, wujudnya sulit diketahui tapi kemunculanya adalah pertanda akan adanya orang mati dengan perut kembung.
Nenek Zuja terdengar begitu mengerikan di musim hujan tapi dia seperti mitos di musim kemarau. Dia makhluk yang menyihir penduduk di musim hujan tapi seringkali hilang saat datang musim kemarau. Di musim hujan, orang kampung pergi ke sawah untuk menanam padi atau jagung dan saat pulang, sebagian dari mereka bertemu dengan Nenek Zuja di tepi sungai atau di hutan. Sedangkan di musim kemarau, orang kampung lebih suka pergi mencari uang di kota sehingga mereka banyak yang lupa akan sosok Nenek Zuja.
“Kemarin juga, sepulang dari ladang saya melihat Nenek Zuja di tepi sungai Sengon. Dia sempat melihat saya saat membawa rumput untuk pakan kewan, saya sedikit gugup dan lari tunggang-langgang,” ucap Sadiman sambil gemetar ketika nama nenek peot itu dia sebut.
“Bagaimana ini Tuan, kami tidak tahu lagi harus berbuat, Tuan Hasanlah yang bisa kami harapkan.” Pinta salah seorang dari mereka dengan mata nanar dan bibir gemetar.
Meskipun suasana terasa mencekam, Tuan Hasan mencoba menenangkan diri, ia menarik nafas berkali-kali sambil membenarkan posisi duduknya, lalu melihat orang-orang yang sedang duduk di depannya dengan penglihatan bijaksana. Dia melihat mereka satu persatu dan semuanya sedang dilanda ketakutan.
“Janganlah kalian takut berlebihan, bukankah kematian semacam ini sudah sering kita melihatnya. Nenek Zuja tidak bisa kita ketahui pasti dimana dia berada. Itulah pula sebabnya kita menjadi ketakutan seperti ini. Sulit memang,” ucap Tuan Hasan sambil kembali menarik nafas.
“Baiklah! Nanti lewat tengah malam, sebelas macan akan saya lapas dari kandang mencari nenek tua itu, bilapun dia sering muncul di tepi sungai Sengon, maka itulah tempat pertama arah macan-macan itu mencari. Malam ini jangan kalian tidur terlalu sore, usahakan semua orang tetap terjaga, dan kalaupun terpaksa harus tidur, jangan kalian tidur di atas kasur, tidurlah di lantai tanpa alas atau di atas tanah atau pasir sampai waktu subuh tiba, bilapun kedatangan kalian ke tempat ini menimbulkan curiga. Maka waspadalah kalian semua!” Tiba-tiba mereka mendengar auman macan-macan Tuan Hasan dari belakang rumah, sekujur tubuh mereka menjadi merinding.
“Pulanglah kalian semua. Malam ini saya akan pergi ke tepi sungai Sengon.”
Setelah rombongan penduduk itu pulang, Tuan Hasan beranjak menuju kamarnya, ia mematikan lampu teplok supaya kamarnya menjadi gelap, lalu melaksanakan sholat dua rakaat, berdzikir dan berdoa kepada Tuhan.
Hingga tengah malam tiba, ia beranjak pergi menuju kandang macan yang berada di belakang rumahnya, kandang itu begitu luas, kalau malam begitu gelap, dia memiliki sembilan pintu. Tuan Hasan masuk melalui pintu utama yang langsung menghadap ke pintu belakang rumahnya. Dengan membawa senter, ia membuka pintu utama kemudian duduk di sebuah kursi yang berada di dalam kandang, ia menarik nafas sambil mematikan senternya. Ruang menjadi gelap, terjadilah sunyi, meski perlahan suara dengusan macan-macan itu mulai terdengar. Macan-macan itu tahu tuannya telah datang. Mereka yang semula meringkuk di dalam lubang perlahan terjaga lalu bergerak menghampiri Tuan Hasan. Mereka berjalan mendekat dan ketika sampai di hadapan tuannya, mereka berhenti dan meringkuk kembali.
“Hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan,” ucap Tuan Hasan kepada macan-macan itu. Mereka semua diam saja, meski ada dari salah satunya mungusap-ngusapkan kakinya ke kepala dan membasahi kaki itu dengan air ludahnya. Namun sebagian besar hanya diam menatap dan mendengarkan Tuan Hasan.
Setelah macan-macan itu lama menatap Tuan Hasan dan menjadi mengerti apa yang diinginkan tuannya itu, mereka merundukkan kepala sebagai isyarat tunduk, menempelkan dagu-dagu mereka ke atas tanah. Lalu Tuan Hasan berdiri dan keluar dari dalam kandang, sebelas ekor macan itu mengikutinya dari belakang menuju halaman rumah. Di halaman rumah, ia berhenti dan membaca salawat semacam dalailulkhoirat kemudian mengalungkan beberapa jimat di leher macan-macan itu.
“Bismillahirrahmanirrahim. Berburulah kalian malam ini, dan janganlah kalian terpedaya,” perintah Tuan Hasan sambil tangannya menunjuk ke arah tepi sungai Sengon. Maka bergeraklah mereka dan berlari ke arah di mana telunjuk itu mengarah.
Di tepi sungai Sengon, di antara pohon-pohon angsana dan kasia, macan-macan itu berjalan mengendap-ngendap, mengikuti insting binatang dan penciuman mereka, sebelum akhirnya berhenti di tepi sungai Sengon. di sebrang sungai sana, terlihat nenek Zuja dengan pakaian kebaya sedang bersimpuh dan meronggeng sendiri, suaranya lebih terdengar seperti suara rintihan dari pada suara ronggeng “Kagodho mring wewayang, Kang ngreridhu ati, Kawitane, Mung sembrono njur kulino, Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno, Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi, Nandang bronto, Kadung loro.”
Mendengar kemeresek dari arah belakang, nenek Zuja berhenti asik dengan ronggengnya. Dari arah belakang, sebelas macan sudah bersiap menerkam, tapi sebelum mereka betul-betul dekat, wanita tua itu menoleh ke belakang, sebelas macan itu terkejut melihat mukanya hancur dan ludahnya meleleh, matanya gelap dan tidak terlihat dengan jelas, dia tersenyum ke arah sebelas macan itu sambil memperlihatkan mulutnya yang hitam dan tanpa gigi. Lima ekor macan melompat menerkamnya, tapi dia hilang dan bersembunyi di balik pohon bindeng. Enam ekor macan yang lain melihatnya dan mengejar, namun dengan cepat pula wanita tua itu lari ke dalam hutan. Sebelas macan itu mengejar mengikuti bau amisnya. Penciuman macan tidak akan pernah bisa tertipu.
Di dalam hutan, mereka melihat nenek Zuja bersembunyi di balik pohon kasia, bajunya menjadi lusuh warna kelabu, sudah tidak tampak seperti kebaya. Mereka menyebar dan mengepung nenek Zuja yang sedang bersembunyi di balik pohon kasia. Namun ketika mereka bersama-sama menyerangnya, dia melompat ke atas pohon kasia. Tidak satupun dari mereka yang bisa memanjat dan menyerangnya di atas pohon, maka tertawalah wanita tua itu dari ketinggian sana, suara tawanya bahkan terdengar sampai ke kampung Sebrang.
Malam begitu gelap. Dari atas pohon, nenek Zuja menabur kabut beraroma melati, membuat sebelas macan yang menunggunya berjalan kesana kemari, mereka kehilangan penglihatan, penciuman mereka menjadi kabur dan tidak bisa diandalkan. Bahkan setelah kabut beraroma melati itu memenuhi penciuman mereka, tak dapat disangka, nenek Zuja telah berubah menjadi peri hutan yang cantik dan menawan. Wanita tua itu terbang dengan gemulai sambil menunggangi macan-macan Tuan Hasan yang telah berubah menjadi gendeng. Nenek Zuja tertawa cekikikan, suaranya terdengar sampai ke kampung Sebrang. Dia begitu gembira memperdayai binatang-binatang itu.
Saat bulan terlihat dari sela-sela gelap hutan, tiba-tiba salah satu macan melihat bayangan Tuan Hasan, matanya seketika berair, macan itu menangis, dia menangis keras, bahkan air ingusnya deras jatuh ke tanah. Dia mengaum sangat keras membuat macan-macan yang lain berhenti bingung kesana-kemari. Dan seketika itulah kegembiraan nenek Zuja berakhir, hutan menjadi gelap kembali, bau amis begitu menyengat, dan dirinya kembali berubah menjadi wanita tua yang mukanya hancur.
Seperti kilat, macan yang menangis tadi menerkam nenek Zuja yang sedang tertawa menunggangi temennya, wanita tua itu jatuh terpelanting di atas tanah. Dicakarlah muka buruknya oleh si macan, hingga dia tak tampak seperti rupa manusia. Si macan melemparkan tubuh busuknya ke tengah-tengah macan yang lain. Hingga habis dia disana.
Dan pada akhir perburuan itu. Oleh sebelas macan, nenek Zuja dibawa dan dibuang di Sungai Sengon. Meskipun pada kenyataan yang sebenarnya, nenek Zuja tidak bisa mati. []