
Oleh: Rafiqatul Anisah*
Kebanyakan orang mengetahui ulama Islam dari kaum adam. Minim sekali pengetahuan tentang keberadaan ulama wanita. Berbicara mengenai hal itu, perempuan suci dikisahkan tentang cicit dari Nabi Muhammad yang juga seorang ilmuwan terkemuka pada masanya. Pada masa itu pula Imam Syafi’i, salah satu Imam madzhab fiqih yang empat berguru kepadanya. Beliau bernama Sayyidah Nafisah.
Sampai sekarang makamnya di Kairo masih didatangi oleh para peziarah. Sejak kecil, Sayyidah Nafisah sudah hafal 30 juz Al Quran. Setiap selesai membacanya, beliau selalu berodoa agar dimudahkan untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim. “Ya Allah, mudahkanlah aku untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim”. Sayyidah Nafisah memahami bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok monoteisme sejati sekaligus bapak Nabi Muhammad melalui jalur Nabi Ismail sebagai keturunan Nabi Ibrahim, sedangkan Sayyidah sendiri keturunan Nabi Muhammad.
Pada 26 Ramadan 193H Sayyidah Nafisah tiba di Kairo, saat itu beliau berusia 44 tahun. Kabar kedatangannya secara cepat menyebar luas kepada penduduk Kairo, Ia pun disambut hangat. Setiap hari ratusan orang datang untuk meminta doa, belajar, konsultasi, ataupun mendengar nasihat dan ilmu darinya. Saking banyaknya, bahkan ada yang bermalam di luar kediamannya demi bertemu dengan Sayyidah Nafisah.
Lambat laun, Sayyidah Nafisah merasa waktunya tersita hanya untuk melayani umat saja, ia merasa menjadi jauh dari makam Nabi Muhammad SAW kakeknya. Oleh sebab itu, Sayyidah Nafisah memutuskan untuk meninggalkan Kairo dan kembali ke Madinah agar bisa berdekatan dengan makam kakeknya. Namun penduduk Kairo keberatan akan keputusan beliau. Mengetahui hal itu, Gubernur Mesir turun tangan memohon Sayyidah Nafisah untuk tetap tinggal di Kairo.
Gubernur menyediakan tempat yang lebih besar baginya sehingga kediamannya bisa menampung umat lebih banyak. Selain itu, Gubernur juga menyarankan agar ia menerima umat hanya pada hari tertentu saja yaitu pada hari Rabu dan Sabtu sehingga di luar waktu itu, ia bisa kembali berkhalwat beribadah menyendiri. Atas izin Allah, akhirnya Sayyidah Nafisah menyetujui saran Gubernur dan memutuskan tinggal di Kairo sampai ajal menjemputnya.
Sebelum Sayyidah Nafisah tiba di Mesir, Imam Syafi’i sudah lama mendengar tentang tokoh ulama perempuan ini yang banyak didatangi oleh ulama untuk mendengarkan nasehat dan ceramahnya. Lima tahun kemudian setelah Sayyidah Nafisah di Mesir, Imam Syafi’i datang ke kota tersebut. Beberapa waktu kemudian Imam Syafi’i ingin bertemu dengan Sayyidah Nafisah di rumahnya, kedatangan Imam Syafi’i pun disambut hangat dan penuh kebahagiaan. Mereka saling mengagumi antara satu sama lain baik dalam tingkat kesarjanaannya maupun keintelektualitasnya.
Dikabarkan bahwa Imam Syafi’i adalah ulama yang paling sering bersama Sayyidah Nafisah dan mengaji kepadanya dalam status beliau sebagai ulama besar ushul fiqh dan fiqh. Perlu diketahui bahwa fatwa-fatwa Imam Syafi’i di Baghdad disebut Qaul Qadim sedangkan fatwanya di Kairo merupakan Qaul Jadid.
Suatu ketika Imam Syafi’i sakit, ia mengutus sahabat untuk menemui Sayyidah Nafisah agar mendoakan untuk kesembuhannya. Begitu setelah kembali, Sang Imam pun tampak sudah sembuh. Selang beberapa waktu kemudian, Imam Syafi’i sakit parah, ia mengutus sahabat lagi untuk melakukan hal yang sama seperti sebelumnya yaitu memintakan doa untuk kesembuhannya.
Lalu Sayyidah Nafisah hanya mengatakan, “Matta’ahu Allah bi al- Nazhr Ila Wajhih al- Karim (Semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan- Nya).” Mendengar hal itu, Imam Syafi’i segera paham bahwa usianya tidak akan lama lagi. Imam Syafi’i kemudian menyampaikan wasiat kepada murid utamanya, Al- Buwaithi, meminta agar Sayyidah Nafisah mensalatkan jenazahnya kelak ketika wafat.
Sumber : Disarikan dari buku “Ashabul Kahfi Melek 3 Abad” Bagian 3 (Sosok Ilmuwan Besar dari Rahim Al- Qur’an). Karya: Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.L.M., M.A. (Hons), Ph.D. dr. Nurussyariah Hammaddo S.Ked., M.App.Sci., M.Neurosains
*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang.