Tebuireng.online— Dalam rangka memperkaya pemahaman siswa mengenai pentingnya pendidikan seksual berbasis nilai-nilai Islam di pesantren, Majalah Tebuireng edisi 93 dengan tema “Menyingkap Pendidikan Seksual di Pesantren”. Acara ini digelar dalam bentuk workshop bedah majalah di Aula MA Salafiyah Syafi’iyah (MASS) Tebuireng, yang dihadiri oleh 120 siswa kelas 12 pada hari Selasa (19/11/2024).
Pemilihan tema ini berangkat dari fenomena meningkatnya laporan mengenai kekerasan di pesantren yang menandakan perlunya edukasi terkait pendidikan seksual bagi santri.
Drs. KH. Musta’in Syafi’i yang hadir sebagai narasumber pertama mengungkap pentingnya pendidikan seksual menurut pandangan agama. Yai Ta’in ungkap mengenai sejauh mana pentingnya pendidikan seksual menurut Al-Qur’an.
“Penting sekali, karena dalam Al-Qur’an sendiri ada aturan yang membahas masalah seks, baik sebelum maupun sesudah nikah.”
Ketua Dewan Masyaikh Pesantren Tebuireng itu, mengungkapkan bahwa dalam Al-Qur’an terdapat pedoman mengenai hubungan antara lawan jenis. “Akhlak Nabi Musa menjadi contoh bagi kita dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Juga dalam Surah Al-Ahzab, ada pedoman bagi wanita agar berbicara dengan nada yang tidak menggoda atau menarik perhatian,” ujarnya, menegaskan bahwa para ulama sejak zaman dahulu tidak menyetujui perilaku berlebihan seperti biduanita yang berlenggak-lenggok di atas panggung.
Salah satu pembedah Majalah, Munawara, M.I.Kom dalam kesempatan itu mengungkapkan data, “berdasar data sejak 2021 hingga 2024 ini banyak sekali kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi termasuk di kalangan santri atau pesantren, inilah yang menjadi acuan pihak Majalah Tebuireng mengangkat tema ini, untuk kita waspada bersama,” ungkapnya mengawali alasan diangkatnya tema Majalah Tebuireng edisi 93 itu.
Dosen KPI Unhasy itu mengingatkan pentingnya pendidikan seksual yang tidak hanya mengajarkan manfaat fisik, tetapi juga etika dan penghargaan terhadap tubuh. “Kita harus sadar bahwa tubuh kita adalah amanah yang harus dihargai, dan kita harus berani berbicara jika ada kejadian yang tidak pantas di sekitar kita,” ujarnya.
Sebelum mengakhiri, Ia menambahkan bahwa pendidikan seksual seharusnya dimulai dari keluarga. “Pendidikan seksual itu dimulai dari keluarga, mulai dari bagaimana menjaga tubuh dan apa yang harus dijaga, begitu juga ketika sudah dewasa,” jelasnya.
Seorang peserta, Ridwan Sobri, bertanya mengenai fenomena pernikahan dini di Madura. Ia menyatakan bahwa pernikahan dini sering dianggap sebagai solusi untuk menghindari zina, namun seringkali mengabaikan dampak negatif bagi kesehatan reproduksi perempuan.
“Pernikahan dini bisa saya simpulkan sebagai kekerasan seksual dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun mental. Sudah seharusnya pendidikan seksual diberikan sejak dini,” tegasnya.
Peserta lainnya, Rifatul dan Rafiqah dari kelas 12B, mengungkapkan kesan mereka terhadap acara ini.
“Acara ini sangat membekali kami untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang menyeleweng dan bisa menjaga diri. Semoga kami tetap Istiqomah, meski sudah lulus dari pesantren,” ungkap mereka.
Fauzi dari kelas 12F juga menambahkan, “Kami mendapatkan ilmu baru tentang pergaulan, dan bagaimana lebih bisa menghargai perempuan.”
Dengan adanya acara ini, diharapkan para siswa dapat lebih peka terhadap pentingnya pendidikan seksual, tidak hanya sebagai pengetahuan tetapi juga sebagai langkah preventif dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat di pesantren.
Pewarta: Albii