Oleh: Cholidy Ibhar*
Tentu tidak terhitung dan demikian banyaknya yang telah membaca tulisan bernas dan provokatif dari Prof Dr KH Ali Musthofa Ya’kub, utamanya yang berjudul “Haji Pengabdi Setan”. Tulisan yang dimuat di majalah Gatra 16 Januari tahun 2006. Kalau mau ditambah lagi, “Titik Temu NU dan Wahabi” yang dimuat Republika 14 Februari 2015, pastilah, yang membaca terbelalak dan menyimpan penilaian tersendiri. Di antaranya, tentu sulit menolak kesan demikian kerasnya sikap dan pendapat Prof Dr KH Ali Musthofa Ya’kub.
Bagi kalangan santri tidak sulit menangkap dan memahami model pemikiran seperti itu, yang muncul dari tipologi ilmuwan hadis. Karena memanglah secara faktual–jika menelusuri dalam teks hadis–tidak ditemui perintah dan anjuran perihal berkali kali haji. Meski, pilihan terminologi sarkastis seperti “pengabdi setan” memiliki muatan makna soal tersendiri. Namun di sini hendak memperkokoh kesimpulan bahwa Prof Dt KH Ali Musthofa Ya’kub merupakan sosok skripturalistis dalam memahami teks ajaran Islam.
Kesan keras, formalistik atau lebih tepatnya tegas dalam pandangan keagamaan dan memberikan elaborasi terhadap Al-Qur’an dan Hadis jika merunutnya sangat dibentuk oleh faktor bawaan kepakarannya di bidang hadis. Walau juga, sedikit banyak disulut pula oleh kepribadiannya yang tergolong pendiam, tidak suka basa basi dan “santri super kalem”.
Daur kehidupan Ustadz Ali Musthofa saat bersematkan sebagai santri pesantren Tebuireng berputar dan hilir mudik dari seputaran masjid, ndalem Kiai Idris, makam Hadhratussyaikh, komplek Y, kamar Majlis Tarbiyah Watta’lim, pasar, madrasah. Aktivitas yaumiyah-nya bergerak dari mendaras, sorogan, jamaah, musyawarah, puasa, qiyamul lail, qiraatul qur’an, “ngliwet” dan kala tertentu aktif di Organisasi Daerah (Orda).
Tidak pernah saya menjumpai dan memergoki Ustadz Ali Musthofa main sepakbola atau olahraga lainnya, jalan jalan di pinggiran pematang sawah belakang pondok, nongkrong nongkrong di sepanjang jembatan kali depan pondok yang merupakan hobi banyak santri, apalagi nonton bioskop di gedung Basuki Jombang dan “apel” di Pesantren Walisongo Tjoekir atau pondok Seblak dengan dalih kegiatan Orda dan lainnya yang lazim dilakukan santri putra saat hari libur.
Pendek kata, Ustadz Ali Musthofa semasa nyantri di pesantren Tebuiteng sangat kondang haliyahnya “tidak macem macem”, istikamah dengan ta’limnya, efisien bertutur dan bahkan “super kalem”. Sehingga dengan raut wajahnya yang serius, hadir dan begitu kuat pula kesannya sebagai santri serius. Berderet deret listing mengenai siapa dan bagaimana Ustadz Ali Musthofa merupakan investasi yang kelak mengantarkannya sebagai figur yang alim, kharismatik dan berintegritas. Dus, yang diraihnya bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Melainkan, dilaluinya melewati proses yang panjang dan berbalut kesungguhan-keseriusan yang tinggi.
* Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen