Orang sukses tak pernah luput dari perjuangan, itulah yang dirasakan Muhammad Irkhamni Wildan. Lelaki yang kini menapakkan kakinya di Yaman itu, telah membuktikan bahwa usahanya membangun dan memberikan perubahan pada sang Ayah yang notabenenya berlatar belakang pesantren sukses dan diamini. Jika bagi mayoritas masyarakat pesantren lekat dengan bahasa Arab, hal itu tidak bagi putra kiai di daerah Lamongan ini.
Sedari kecil, Wildan telah menekuni bahasa Asing, sebut saja bahasa Inggris. Alih-alih mau dibanggakan, hobinya itu sempat ditantang oleh sang ayah, karena dianggap tak akan berkontribusi di pesantren yang akan dilanjutkannya. Namun perjuangan Wildan tak sampai di situ.
“Untuk apa belajar bahasa Inggris, gak akan berguna untuk kemajuan pesantren.” Itulah kalimat ayahnya yang sampai kapan pun akan Wildan ingat sebagai pecutan semangat untuk membuktikan bahwa pesantren butuh pembaruan tanpa meninggalkan hal-hal baik sebelumnya.
Wildan percaya bahwa memahami bahasa asing tak akan membuatnya kehilangan identitas kepesantrenan, berbalik dari itu, ia percaya bahwa pesantren akan terus hidup dan bisa mengimbangi perkambangan dan kebutuhan zamannya. Termasuk dalam membuat para santri dekat dan menerima bahasa=-bahasa yang sudah digunakan secara nasional bahkan Internasional.
“Hal ini tentu agar kita tidak mudah ditipu oleh siapapun karena bahasa.” ungkapnya begitu semangat untuk terus membangun komunitas belajar bahasa asing itu.
Beranjaknya waktu, saat ia MTs ia juga menekuni bahasa Arab, untuk membahagiakan orang tuanya, tetapi ia tak meninggalkan hobinya belajar mendalami bahasa Inggris. Keduanya ia lahap dengan imbang, hingga orang tuanya tak lagi melarangnya.
Pembuktian lainnya adalah saat lelaki kelahiran Lamongan tahun 1999 itu, kini berjuang di Yaman, di sanalah dia membangun sebuah komunitas bahasa Asing yang diberi nama MMA (Munadhamatul Muqorrobin) di Universitas Al Ahgaff, yang disambut bahagia oleh mahasiswa di sana.
Perjalanan membangun Komunitas belajar bahasa asing di Yaman tentu tak berjalan mulus. Dalam prosesnya ia menemukan dan mendapatkan banyak kecaman dari sekitar, karena bahasa yang dipelajari adalah bahasa Inggris bertolak dari bahasa yang biasa digunakan di Yaman. Namun berkat gigihnya niat baik dan kontribusi teman-temannya akhirnya komunitas itu tetap berdiri dan berkontribusi hingga saat ini.
Wildan mengaku, kecintaan pada bahasa asing terutama bahasa Inggris adalah kesukaan dia saat melihat film barat. Ia mengaku suka cara dialog atau bahasa mereka saat berbicara. Itulah yang membuatnya belajar bahasa aisng itu secara otodidak melalui film, salah satunya.
“Saya suka gaya bicara orang inggris, menurutku berbicara bahasa inggris membuatku terihat keren pada saat itu.” Naas, sang Ayah tidak begitu suka melihatnya belajar bahasa inggris.
Sebelum ke Yaman, lelaki ini juga sempat mondok di Amsilati Jepara. Ia belajar banyak tentang ilmu kitab, bahasa Arab, dan ilmu agama yang dipelajari di pesantren, namun ia tak lupa tetap belajar bahasa inggris. Hingga beberapa tahun kemudian ia punya teman-teman akrab yang akhirnya mau berdiri di baris yang sama dengannya, menerima bahasa asing dan mau memperlajarinya.
Sewaktu membuat organisasi Bahasa di Yaman, ia dikecam banyak orang karena Bahasa yang digunakan terdapat Bahasa Belanda dan Inggris yang mana masyarakat Yaman kurang menyukainya. Tapi santri alumni Jepara itu tidak menyerah begitu saja, ia mendapat banyak dukungan dari teman karibnya dan kakak kelasnya.
Pencapaiannya ini bukanlah akhir baginya. Ia masih terus berjuang menyadarkan santri-santri yang diasuh ayahnya untuk mampu membuka mata, menerima kenjuan zaman dengan tetap memegang nilai-nilai agama dan pesantren yang baik. Bagi Wildan menerima hal baru tak lantas merusak hal-hal yang sudah lebih dulu ada.
Kini dia berhasil lulus dengan gelar B.A di Yaman. Komunitas yang ia tinggalkan tetap hidup dan terus berkembang. Saat artikel ini ditulis, lelaki itu kini benar-benar telah pulang membantu ayahnya membangun pesantren, dan dia berhasil memasukkan pelajaran bahasa Inggris (asing) diterima di pesantren untuk juga dipelajari oleh para santri tanpa rasa khawatir berlabihan, sebaliknya adalah untuk tetap memegang peran penting pesantren sebagai lembaga tertua yang mampu menerima perubahan zaman (baik).
Pewarta: Izzi / albii