KH, Musta’in Syafi’ie (Foto: Bagas).

Pertanyaan

Assalamualaikum warahmatullahi wabarkatuh.

Salam sejahtera kami haturkan semoga panjenengan selalu dalam lindungan Allah SWT, kami ingin bertanya tentang tafsir dari  Ayat Al-khabitsatu  lil khabisiina wal khabitsuna lil khabitsat (QS. An-nur 24:26) apakah ayat tersebut menjelaskan tentang jodoh atau pasangan orang baik dengan orang baik pula, dan orang yang buruk dengan yang buruk pula? Apakah ada makna lain terhadap tafsir ayat ini?

Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih banyak.

Rifqi Rahman – Sukabumi

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 

Jawaban

Ayat 26 al-Nur bertutur tentang pasangan : buruk gandeng buruk (al-khabitsun gandeng al-khabitsat) dan baik gandeng baik (al-thayyibun gandeng al-thayyibat). Ayat ini menjawab tuduhan fitnah yang disebar kaum munafik, bahwa A’isyah R.A., istri Rasulullah SAW selingkuh dengan Shafwan, seorang pemuda ganteng.  Publik terpengaruh dan Tuhan pun sengaja membiarkan, sehingga pasutri mulia itu sempat pisah ranjang. Setelah dirasa cukup, akhirnya Tuhan turun tangan mengklarifikasi. Poin yang bisa diambil, antara lain :

Pertama, yang dimaksud al-khabitsat adalah kata-kata yang buruk dan al-thayyibat adalah kata-kata yang baik. Gandengannya, al-khabitsun (orang yang buruk, baik laki-laki atau perempuan) dan al-tahayyibun (orang yang baik, baik laki-laki atau perempuan). Artinya, kata-kata yang terucap dari mulut seseorang itu mencerminkan kepribadian pengucapnya. Terkait kasus ini, yang dimaksud “al-khabitsat ” adalah fitnah atau tuduhan zina terhadap diri ibunda A’isyah, sedangkan “al-khabitsun” adalah  orang-orang munafik penyebar fitnah. Sebaliknya, al-thayyibat dan al-thayyibun untuk membahasakan prilaku para sahabat mulia dan segala tutur katanya yang santun dan terhormat. Inilah makna paling populer terkait munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya.

Lewat tafsir ayat ini kami menitip pesan buat sedulur santri, bahwa seiring perkembangan dunia, komentar-komentar politik dalam bentuk apa saja, yang lugas, analisis, sentilan, banyolan dan lain-lain di media massa telah menjadi mata pencaharian yang menjanjikan. Sehingga para pelakunya sehari-hari sangat sibuk memikirkan cara nyindir, cara mengkritik, cara mentertawakan orang lain sehebat-hebatnya dan puas sekali bila kritikannya mendapatkan aplus orang banyak. Kritik memang perlu untuk kebaikan, tapi ada etikanya.

Terhadap orang yang dikritik, itu urusan mereka. Tetapi kami kasihan banget kepada pengkritik profesional. Mereka diperbudak oleh keburukan pemikirannya sendiri. Akibatnya, kata-kata yang keluar dari mulutnya amat buruk dan merendahkan. Mereka sibuk mentertawakan orang lain, tanpa sempat mentertawakan diri sendiri. Padahal, orang yang salih dalam kurikulum sufistik adalah orang yang bisa “mentertawakan” diri sendiri.     

Kedua, menunjuk sosok orang atau personil. Artinya, wanita yang baik cocoknya berpasangan dengan pria yang baik, dan sebaliknya. Terkait dengan kasus ini, bahwa A’isyah R.A. itu sungguh wanita bersih, karena terbukti telah menjadi pasangan laki-laki yang bersih, yakni Rasulullah SAW. Pemahaman ini juga sudah bisa menjawab fitnah tersebut. Kini persoalannya, bagaimana jika pasangan tidak serasi ?.

Islam hanya memberi satu garis pokok, yaitu : wajib seiman, sehingga menikah dengan pasangan non islam tidak sah secara mutlak. Sedangkan selain itu, seperti prilaku yang buruk, amoral, asusila hanyalah varian-varian amal. Agama memberi bimbingan terbaik dan menganjurkan orang beriman memilih pasangan yang baik prilaku, karena lebih aman. Sebaliknya, mewanti-wanti agar tidak memilih pasangan yang buruk, karena mengkhawatirkan.  

Itu wejangan dan bukan penghakiman. Sehingga bagi santri yang tangguh, boleh saja menikahi pelacur, artis amoral, penari erotis yang dicintai. Hukumnya sah, meski beresiko. Santri itu dituntut sabar membimbing, aktif mendidik dan mencerahkan sehingga menjadi wanita terpuji dalam pandangan Tuhan. Santri itu mendapat pahala ganda, pahala menjadi suami dan pahala men-shalihah-kan istri.

Hukum alam berpasangan itu serasi, sejalan dan kompak. Jika tidak sejalan, ya tidak jalan. Rombongan burung merpati tidak bisa terbang sejalan dengan burung gagak. Jalan paling sederhana, ya mencari pasangan lain yang diyakini bisa sejalan. Atau ngalah dengan menanggung segala beban. Bila seorang suami membiarkan istrinya melacur, bergoyang ngebor, berjoget erotis di hadapan publik, maka moral suami itu tak jauh beda dengan istrinya. Lelaki baik-baik tidak mungkin mengizinkan istrinya menebar maksiat, apalagi menikmati hasil kerja haram itu.      

Ketiga, terma ayat itu mendahulukan kata “al-khabitsat” dan “al-khabitsiun” dari pada kata “al-thayyibat” dan al-thayyibun”.

Pertama, urutan tersebut sesuai dengan pokok persoalan, yakni tentang fitnah yang disebar oleh orang-orang munafik. Orang-orang buruk dengan ucapan buruk inilah yag diklarifikasi. Sedangkan orang-orang baik dan ucapannya baik seperti para sahabat mulia yang tidak terlibat fitnah tersebut justru berusaha meredam fitnah sebisanya dan dengan caranya sendiri.

Kedua, hal-hal yang buruk, seperti ucapan, prilaku harus mendapatkan perhatian lebih. Karena berkata-kata buruk itu sering kali melegakan. Orang yang buruk moral lega sekali bila berhasil memaki-maki dan merendahkan orang lain. Sedangkan membentuk ucapan yang baik dan tutur kata yang santun dibutuhkan kesiapan mental dan kejernihan hati. Makanya, Tuhan memberi ampunan dan rejeki mulia, ” lahum maghfirah wa rizq karim”.

*Dijawab oleh KH. Musta’in Syafi’ie (Mudir Madrasatul Qur’an (MQ) Tebuireng.