SANTRI 24 KARAT: Penggalan Memori 1971-1975 Bersama Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’qub (Bagian 1)

 

(Alm) Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya'kub saat memberikan kuliah umum di depan Mahasantri Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng akhir 2012 silam. Beliau meninggal dunia di Rumah sakit Hermina Jakarta 06.00 Kamis (28/4/2016).
(Alm) Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub saat memberikan kuliah umum di depan Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng akhir 2012 silam. Beliau meninggal dunia di Rumah sakit Hermina Jakarta 06.00 Kamis (28/4/2016)

Oleh: Cholidy Ibhar*

“Jam segini, kok sudah tidur, Di?” sergah Ustadz Ali Musthofa. Saya reflek mengambil posisi duduk dan Ustadz Ali Musthofa menginterogasi saya di ruang depan kamar I-1 al Azhar, sementara saat itu masih jam belajar. Maklum, saya tertidur sembari berpeluk erat kitab Ibn ‘Aqil, kelelahan karena sore hari suntuk bermain sepak bola di lapangan PG Tjoekir bersama “grup bal-balan Yai Kak”. Sama sekali tidak menyangka malam itu Ustadz Ali Musthofa tawaf dari kamar ke kamar dan masuk ke komplek saya.

Tentu, saya tak dapat menjawab apa-apa atas pertanyaan Ustadz Ali Musthofa yang faktual tadi. Selain benar belaka, saya kedapatan tidur saat jam belajar, juga Ustadz Ali Musthofa terkenal pendiam dan tak suka mengobral dalam bertutur kata. Pengikut fanatik “al-shumt hukmun”.

“Ayo bangun dan berwudhu sana”, pinta Ustadz Ali Musthofa. Secepat kilat, kendati masih dililit rasa kantuk dan kedua mata masih begitu berat untuk diajak jaga.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Rupanya, karena pernah peroleh teguran itulah, saya kian akrab dengan Ustadz Ali Musthofa. Apalagi, Ustadz Ali Musthofa sepantaran dengan paman saya, Ustadz Abdurrazaq Ma’shum dan Ustadz Husaini Ma’shum yang keduanya secara struktural sama berada di jajaran pengurus “Majlis Tarbiyah Watta’lim” pesantren Tebuireng.

Sosok Ustadz Ali Musthofa berkulit kuning bersih, pendiam, berdialek Jawa Pantura dan memiliki senyuman yang khas. Aura kharismatiknya melekat erat dalam kepribadiannya. Itulah sebabnya, saya yang kenal Ustadz Ali Musthofa selepas dari Pesantren Seblak dan pindah ke Pesantren Tebuireng di paruh awal tahun 1970-an hingga tahun 1975-an, tidak mendapati sedikit pun stigma “gojlogan” yang menempel pada diri Ustadz Ali Musthofa. Ini berbeda dengan yang lainnya, nyaris melekat julukan baik positif maupun negatif pada dirinya.

Era santri tahun 1970-an, mendapat teguran dari ustadznya meski “sekecil soal ketiduran” menjadi “guilty feeling” yang luar biasa. Perasaan bersalah itu selalu bergelanyut dan hadir setiap saat. Tidak nyaman, merasa malu dan tertekan, apalagi bila ketemu dengan Ustadz Ali Musthofa. Sehingga wajar jika melecut agar tidak mengulang kembali kesalahan serupa dan menghunjamlah “taubatan nashuha” ala santri yang begitu dalamnya.

Mungkin istilah ini berlebihan dan terkesan merupakan ego angkatan. Era Ustadz Ali Musthofa di Pesantren Tebuireng merupakan masa Pesantren Tebuireng bertabur kiai dan ustadz berjejuluk “the dream team”. Terlebih lagi, adanya menantu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, KH. Idris Kamali. Ustadz Ali Musthofa, di antara “santri khusus”-nya Mbah Yai Idris tidak terlalu sulit memahami bila kelak bobot keilmuan agamanya demikian tinggi. Karena Ustadz Ali Musthofa dapat sentuhan model pendidikan berkarakter “ala Yai Idris”, yang menurut saya lebih hebat dari paradigma pendidikan Paulo Freire dan Ivan Illich sekali pun.

Siapa santri KH. Idris Kamali yang tidak menjadi kiai hebat? Nyaris sulit menyebutkan atau bahkan memang tidak ditemui santri KH. Idris Kamali yang tidak menjadi kiai.

Jadinya, lumrah, ghalib, dan pantas bila Ustadz Ali Musthofa menjadi ulama yang hebat. Tidak cuma tingkat nasional, melainkan menembus batas ke-Indonesia-an dan menjadi ulama bertaraf internasional. Apalagi, ditambah ghirah keilmuannya yang begitu tinggi dan mereguk ilmu keagamaan bertahun-tahun di berbagai kampus, seperti Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud, Universitas Islam King Saud, dan Universitas Nidzamia Hyderabad. Sehingga di kemudian hari Ustadz Ali Musthofa ditahbiskan sebagai ekspertis hadis.

Namun yang paling melekat di memori saya, arahan Ustadz Ali Musthofa di warung Pak Syahri depan Pesantren Tebuireng, “Kalau saja semua santri menjadi santri 24 karat. Menjadi santri sungguhan, tidak cuma belajar, namun juga riyadhah. Pastilah hidupnya bermanfaat di tengah tengah masyarakat. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya.”

* Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah at IAINU Kebumen