(Alm) Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya'kub saat memberikan kuliah umum di depan Mahasantri Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng akhir 2012 silam. Beliau meninggal dunia di Rumah sakit Hermina Jakarta 06.00 Kamis (28/4/2016).
(Alm) Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Ya’kub saat memberikan kuliah umum di depan Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng akhir 2012 silam. Beliau meninggal dunia di Rumah sakit Hermina Jakarta 06.00 Kamis (28/4/2016).

Oleh: Cholidy Ibhar*

 Ustadz Ali Musthofa tinggal di ruangan khusus pengurus “Majlis Tarbiyah wa Ta’lim”. Lembaga yang berfungsi sebagai pengelola pendidikan dan pengajaran “non formal” di pesantren Tebuireng. Institusi ini dihuni santri senior, ustadz dan pemilik keilmuan di atas rata-rata santri kebanyakan. Semuanya, sekaligus “santri khusus” Kiai Idris Kamali, yang terikat regulasinya seperti hafalan alfiyah, sorogan, puasa senin kamis, shalat berjamaah plus wajib di barisan shaf awal dan pulang kampung usai Ramadan tuntas.

Dari ilustrasi ini saja, sangatlah mudah dimengerti jika santri produk tempaan Kiai Idris nyaris tidak ada yang tidak menjadi kiai hebat sepulang ke daerahnya masing masing. Tidak terkecuali, Ustadz Ali Musthofa. Lantaran rutinisme santri khusus Kiai Idris mendaur pada at-tarbiyah, at-ta’lim, riyadhah, khidmat kiai. Tidak kepada yang lain-lain.

Apalagi, Uatadz Ali Musthofa berbilang tahun menjadi santri. Jika digabung dengan berkesampatan sebagai santri di Pesantren Seblak, sebelum berpindah ke Pesantren Tebuireng, total Ustadz Ali Musthofa hampir dua puluh tahun basah kuyub dengan tradisi kesantrian atau belajar di pesantren. Tradisi “berlama-lama” nyantri kian langka ditemukan di berbagai pesantren di nusantara ini karena yang kini bertumbuh subur adalah fenomena santri instan. Filosofinya, yang penting “mambu pesantren dan pernah menjadi santri, ketimbang tidak sama sekali” (semoga penglihatan ini keliru!).

Oleh karena itu, santri seangkatan dan sekualitas Ustadz Ali Musthofa, kalau kemudian meneruskan studi di luar pesantren telah memiliki basis keilmuan yang kokoh. Tidak mudah oleng oleh berbagai turats dan maraji’ yang berwarna-warni madzhabnya, baik yang salaf maupun yang khalaf. Terlebih, kemudian terpelanting ke dalam arus utama geliat diskursus baru yang tengah populer. Yang terakhir, sebagai mana yang mudah dijumpai pada potret santri di berbagai perguruan tinggi domistik. Ramai-ramai khazanah keilmuan pesantrennya ditanggalkan dan beralih berasyik masyuk dengan keilmuan dan tokoh-tokoh yang beraroma kiri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sosok Ustadz Ali Musthofa dan santri seangkatannya tidak mengalami metamorfosis keilmuan itu. Bahkan, telisiklah perkembangan keilmuan mereka. Apa yang pernah didaras di pesantren Tebuireng semakin kokoh dan berkembang bobot horizon keilmuannya. Pertanyaannya adalah, mengapa santri seangkatan Ustadz Ali Musthofa seperti itu gambarannya? Sebutlah, misalnya Abdurrazaq Ma’shum, Syamsul Arifin, Abdul Muhaimin Bari, Jazuli Noer, Jamaluddin, Syamsul Huda, Muhammad Syafi’. Ini sekedar untuk menuturkan sebagiannya saja.

Hal ini tidak lain karena Ustadz Ali Musthofa dan seangkatannya bukan tipologi santri instan. Mereka mencerminkan santri “thul al-zaman”, santri yang begitu lama menghirup udara pesantren, bertahun-tahun mendaras khazanah keilmuan mu’tabarah berlabel ahlussunnah wal jama’ah dan lengket dalam balutan riyadhah ala masyayikh pesantren.

Perih rasanya, dan menjadi bagian musykilat. Mengapa santri santri belakangan tidak betah berlama lama di pesantren? Apakah ini karena serbuan materialisme, pragmatisme, dan hedonisme sehingga santri-santri tidak lagi gegap gempita menyenandungkan syair al-Zarnuji?

 

* Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Tebuireng dan Dekan Fakultas Tarbiyah di IAINU Kebumen