Sumber gambar: es.sims.wikia.com

Oleh: Abede

Alam tersusun dari dua hal yang saling terkait. Misalnya, aku dan Engkau.

Namun cerita ini tidak ingin mengenalkan aku-Engkau, karena itu terlalu tendensius. Masih ada yang lebih penting dari kedua kata itu, seperti dualisme siang-malam, hitam-putih, gelap-terang, tinggi-rendah, atau langit-bumi. Bahkan jika kita mengetahui hal-hal yang tak bisa dipandang oleh mata.

Bila aku menciptakan tokoh yang lahir di bulan Januari, ia pasti seorang penimba air, bukan peminum air atau penimba batu. Pasti susah mencari tokoh seperti itu. Maka, aku ciptakan aku sebagai ‘Sang Penimba Air’ itu.

Sebagaimana manusia pada umumnya, aku tentu pernah merasakan masa-masa sulit, juga hari-hari bahagia. Masa sulit dirundung kesedihan, sedangkan hari bahagia penuh suka cita. Hari sulit yang bahagia ialah saat aku menimba air di belakang rumah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Di mana timbanya?” berkata ia seorang diri.

Aku tidak menjawab. Karena memang aku tak tahu.

Saat aku bertanya, “Di mana timbanya?” ia menuding ke dalam sumur. Aku tengokkan wajahku, dan kulihat di atas permukaan airnya, sebuah timba mengambang. Aku tarik talinya, setelah timba itu terisi penuh dengan air. Pelan-pelan aku tarik, sambil melihat bias wajahku di dasar sumur itu, dikelilingi warna putih langit. Langit memang jauh di atas kepalaku. Namun di sumur itu, langit dan kepalaku tidak ada bedanya.

Timba itu pun sampai di atas bibir sumur.

Ia lalu kembali bertanya, “Di mana airnya?”

Aku tidak menjawab. Karena memang ia sudah tahu.

Saat aku bertanya, “Di mana airnya?” ia memberikan aku pilihan. “Kau mau yang lebih banyak atau yang lebih dekat?”

“Beri tahu aku dua-duanya!”

Tanpa banyak basa-basi, ia melontarkan kata-kata, “Yang lebih banyak ada di sumur itu, yang lebih dekat ada di timba itu. Tinggal kau pilih yang mana?”

“Menurutmu lebih penting yang mana?” aku balik tanya.

Tiba-tiba ia pergi tanpa izin. Padahal aku belum memberikan pertanyaan selanjutnya, “Lebih penting mana timba dan air?”

Sumur ini sudah kelihatan tua. Semennya sudah banyak yang gompal, sehingga kelihatan batu batanya yang merah. Mungkin hampir seumuran dengan kakekku yang telah meninggal. Tetangga-tetangga banyak yang meninggalkan tradisi sumur timba, dan beralih ke sumur bor. Tidak membutuhkan area banyak.

Di musim-musim kemarau, sering berguguran daun-daun kering ke dalam sumur. Ketika masuk ke dalam sumur, aku mendengar daun itu berteriak, dan otomatis teriakannya menggema oleh dinding-dinding sumur. Sementara di musim hujan, kau tahu sendiri, yang berguguran adalah titik-titik air suci dari langit. Dan aku tak mendengar ia berteriak sama sekali, karena ia akan bergabung dengan keluarganya di dasar sumur itu.

Yang masih bikin aku penasaran ialah apa yang ada di bawah permukaan air sumur itu. Apakah ada buayanya?

Aku pun menuangkan timba berisi air itu ke dalam sebuah lubang. Bapak tak pernah cerita lubang itu namanya apa. Begitu pula ibu. Yang kutahu, lubang itu menuju ke bak mandi.

Tiba-tiba ia datang lagi. Memberikan jawaban atas pertanyaanku tadi. Namun sebelum aku ceritakan jawabannya apa, aku ingin menjulukinya sebagai ‘manusia tiba-tiba’ atau ‘sang tiba-tiba’. Itu karena tingkah polahnya yang tiba-tiba pergi, tiba-tiba datang.

“Dua-duanya saling terkait,” katanya.

Aku lumayan bingung dengan kalimat itu. Di 30 hari terakhir, aku telah memberikan sekitar 100 pertanyaan kepadanya. Mungkin 20-an yang sudah ia jawab. “Kali ini kau menjawab yang mana?” tanyaku.

“Yang belum sempat kau tanyakan.”

Barangkali ia mempunyai ilmu pendengaran jarak jauh, atau telinga batin, atau jangan-jangan ia seorang wali yang mendapat bisikan?

“Air membutuhkan timba, dan timba memerlukan air. Apa artinya timba bila tanpa air, dan air tanpa timba bisa apa?”

Aku mencoba menafsiri kalimatnya yang rumit itu. Kesimpulan pertamaku adalah: seseorang bisa mengeluarkan teori tanpa ia melakukan praktik. Bagaimana bisa ia tahu tentang hubungan timba-air, sedangkan yang sering menimba air hanyalah aku?

Tafsiranku selanjutnya ialah: timba dan air sama halnya dengan aku dan sumur. Jika tidak ada salah satunya, tidak mungkin bak mandi akan terisi. Dan bapak pun tak mandi. Begitu pula ibu.

Siang pun tak datang bila malam tak habis. Pendek pun tak ada jika panjang juga tak ada. Putih membutuhkan hitam, hitam membutuhkan putih. Orangtua sedih tak punya anak, anak tak akan lahir tanpa orangtua. Penjual ingin uang, pembeli ingin barang.

Sang Penimba Air, datang di bulan Januari sebagai aku. Maksudnya Aku, bukan sekedar aku. Maka salah bila ‘aku-aku’ di atas ditulis dengan awalan huruf kecil. Namun, tak perlu juga diubah. Karena sebenarnya aku dan Aku saling terkait. Maka, mungkin juga salah jika Aku adalah ‘kamu’ dalam perspektifmu.

Lebih tepatnya di sepuluh hari terakhir bulan Januari, Aku dilahirkan. Itulah kenapa Aku ‘Aku’arius, zodiak kesebelas dari tanda-tanda zodiak astrologi. Aku tak tahu apa makna ‘rius’ dalam Akuarius di saat yang kutahu hanya akua yang berarti air. Simbolnya air mengalir. Garis zig-zag horizontal. Akan tetapi, di dalam bahasa Arabnya disebutkan burj (zodiak) ini ialah dalwu, yang berarti timba. Kenapa tidak maa’ yang artinya air juga? Ah, mungkin kelengkapan antara dua benda yang saling terkait. Timba dan air.

Begitulah sifat alam yang dualistis. Bukan satu, tapi juga bukan terpisah. Aku tanpa Engkau tak akan tercipta, sementara Engkau tanpa aku akan terus tersembunyi.

Kayangan, 21 Januari 2018


*Pegiat sastra Jombang

(Pernah dimuat di Radar Jombang)