Irene Yasinta, peraih beasiswa Bidikmisi dan pemenang juara dalam bidang kepenulisan di Provinsi Sumatera. (Foto: dokumentasi pribadi)

Oleh: Irene Yasinta*

“Bermimpi itu indah, jika terus berjuang mewujudkan MIMPIMU. Berproseslah sampai titik yang berarti. Menggapai mimpi meraih prestasi dengan tak lupa diri untuk memohon kepada sebaik-baik pemberi.”

Bahagia itu sederhana, selalu mensyukuri apa yang Tuhan berikan. Anugerah terbesarku dari-Nya yakni mempunyai keluarga sederhana dengan kebahagiaan selalu ada. Pedoman hidup dengan diiringi doa, usaha, ikhtiar, dan takwa menjadi kekuatan untuk terus menjalani lika-liku hidup yang kami jalani. Namaku Irene Yasinta, terlahir dari empat bersaudara. Tiga saudara kandungku sudah berkeluarga, mereka  hanya lulusan SLTA/SMA sederajat program sekolah gratis dari gubernur provinsi Sumatera Selatan waktu itu.

Bagi keluarga kami, bantuan sekolah gartis ini sangat berarti. Sejak itulah, tekad ingin berjuang meraih mimpi meneruskan sekolah tidak sebatas di Madrasah Aliyah. Aku ingin menorehkan sejarah baru bagi keluargaku. Inspirasi keuletan seorang ibu yang selalu memberikan semangat untukku begitu luar biasa. Setiap hari, ibu mengantarkanku ke sekolah menggunakan sepeda ontel yang tak lagi layak pakai. Namun masih saja, sepeda itu kami gunakan dengan keterbatasan. Hasil dari keterbatasan ini, justru menjadi keajaiban yang luar biasa.

Aku mendapatkan juara umum setiap semesternya hingga tingkat MA. Saat SD aku mulai memberanikan diri untuk mengikuti lomba cerdas cermat MIPA. Pada saat SMP dan MA ternyata masih berkelanjutan mewakili sekolah lomba Olimpiade Sains tiap tahunnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengakui akan ketidakmampuan materi itulah diriku. Bukan dari keluarga yang memiliki harta melimpah ruah. Bapak hanyalah pekerja buruh tani, penyambung nadi keluargaku setiap harinya. Ibuku dulunya ikut membantu untuk mencukupi kebutuhan dengan berjualan sayuran di pasar. Sayuran-sayuran tersebut dihasilkan dari kebun milik tetangga yang kemudian ibu jualkan.

Keuntungan perhari dari sayuran ini dapat memenuhi makan sehari-hari, terkadang malah rugi. Karena saking banyaknya persediaan sayuran yang sejenis yang dijual di pasar. Namun sekarang  ibu tidak sehebat dulu dan ibu tidak setangguh dulu. Kedua kaki ibu mengalami gangguan penyakit yang belum diketahui sampai sekarang. Berbagai pengobatan telah kami upayakan seadanya uang yang kami miliki. Namun keterbatasan biaya  tidak menjadikan kami untuk bisa melakukan banyak hal, selain berikhtiar kepada Sang Illahi.

Memiliki latar belakang keluarga yang serba kekurangan, tidak membuatku berputus asa atas segala harapan yang lebih indah. Kesempatan yang tidak terduga untuk dapat mencicipi perguruan tinggi negeri itu sebuah mimpi besar. Akhir kelas XII aku pun mengikuti berbagai pendaftaran kampus di pulau Jawa.

Salah satunya, mengikuti PBSB (Penerimaan Beasiswa Santri Berprestasi) di Perguruan Tinggi luar Sumatera. Aku merasa memiliki peluang yang cukup besar dari kesempatan ini. Dari ratusan santri, ada 21 orang yang berhasil lolos seleksi. Namun, kedua orang tua tidak memberikan restu karena kekhawatiran biaya hidup nantinya. Lagi-lagi rencana Allah lebih indah dengan satu persatu jawaban doaku selama ini. Esok harinya  kabar dari pihak Madrasah Aliyah bahwa aku dinyatakan lulus SNMPTN di UIN Raden Fatah Palembang.

Begitu terharunya, saat mimpi itu sedikit demi sedikit rapuh mulai bangkit mengepakkan sayapnya. Uang UKT yang kami gunakan semester pertama dihasilkan bapak dari pinjaman tetangga. Keinginan terbesar dari mereka menguatkanku, membuka mimpi-mimpi yang mampu membahagiakan ibuku yang kini masih terbaring di atas kasur tipis. Ia adalah kekuatan terbesarku untuk terus berjuang menggapai asa, meraih cita-cita.

Ketika melihat matanya, hati ini pun mampu meneteskan air mata. Jiwa yang kering pun mampu mengeluarkan embun sejuk, ketika berada di dekatnya. Kulitnya yang tak lagi sempurna, tetap bercahaya karena kesucian hatinya. Dialah penuntunku ketika bibir, tangan, dan kaki masih begitu mungil untuk beraktivitas. Dialah ibu yang ku panggil dengan sebutan mamak, kini ia tak lagi memijakkan kedua kakinya untuk dapat mengantarkanku, sepertia dulu kala. Dan mata rabun yang dulunya mampu membaca jelas tak lagi kau miliki. Tangan tangguh yang selama ini kau habiskan untuk mengais rezeki terkikis energi yang semakin rapuh dan letih. Itulah bapak yang menjadi lekali terhebatku, sejuta pengorbanan yamg teramat ku banggakan.

Saat itu  kebingungan yang teramat dirasakan dengan  tidak adanya biaya untuk  tempat tinggal. Kekurangan biaya menjadi problematika melangsungkan kehidupan di mana saja. Awal mula aku ikut tinggal di kosan berukuran kecil milik tetangga yang sama-sama menuntut ilmu di Palembang. Mencari-cari tempat tinggal yang murah memang cukup sulit.

Kemudian dari berbagai informasi yang didapatkan ada peluang reguler untuk 10 orang tinggal di asrama. Mimpi untuk bisa meneruskan belajar ngaji kini terpenuhi dengan sekaligus menjadi Mahasantri dan Mahasiswa. Asrama memang tempat tinggal khusus untuk mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi setiap tahunnya. Tujuannya adalah untuk menunjang segala potensi yang dimiliki dari seluruh penerima beasiswa yang dibimbing langsung oleh pengurus. Inilah yang membuat berkontibusi menjadi bagian dari mahasantri penerima BIDIKMISI yang produktif dan berakhlakul karimah. Alhamdulillah, sampai detik ini masih mampu dipercaya untuk tetap tinggal di Ma’had Al-Jami’ah Fikri.

Melakukan apa yang kita cintai memiliki kebahagiaan tersendiri. Menulis adalah suatu pekerjaan yang mampu membuatku tersenyum, menangis dan kembali mengingat apa yang terlewati. Kecintaan inilah yang melahirkan beberapa antologi di dunia literasi. Surat Cinta Untuk Lombok (SCUL) adalah buku yang dikhusukan untuk donasi kepada korban gempa yang ada di Lombok. Sakitnya merindu, Surat Cinta Untuk Rasullullah, Cerita Inspiratif dan Cerita Mini dan beberapa antologi puisi maupun cerpen.

Tepat tahun 2018 kemarin, aku meraih kesempatan dan pengalaman yang luar biasa. Juara 1 lomba Menulis Cerpen pada ajang PEKSIMIDA Sumatera Selatan, dari hasil ini maka dapat kembali mengikuti PEKSIMINAS tingkat nasional di Yogyakarta. Kejutan-kejutan yang ku dapatkan bukan semata perjuangan diriku. Doa-doa dari kedua orangtua yang mampu mengubah segalanya teramat indah. Pesan yang selalu teringat melekat di otak memoriku, ucapan dari seorang ibu yang tetap tegar walau raga tak lagi berdaya, bahwa “Hidup harus diperjuangkan!” seperti lagu lukisan alam, hidup itu tidak selalu indah. Berjuanglah terus untuk memenuhi kebutuhan hidupmu dan jadikan tujuan hidupmu hanya untuk beribadah dan bermanfaat bagi orang lain. Dari satu pintu inilah yang terbentang luas menarik pintu-pintu lainnya.

Beasiswa BIDIKMISI adalah lentera mimpi bagi keluarga besarku yang diamanahkan kepada diriku. Gadis desa yang mempunyai semangat tinggi untuk mengenyam bangku perkuliahan. Dengan harapan mampu mengubah tinta yang kusam tergantikan dengan warna-warni yang mencerahkan indahnya kehidupan. Layaknya pelangi yang hadirnya dinantikan, setelah butiran air hujan dengan berbagai material bercampur yang menyejukkan. Terima kasih untuk “Sang Lentera Mimpi” yang dinantikan seluruh pemimpi di Tanah Air. BIDIKMISI terus menginspirasi untuk Negeri. Salam Literasi. Salam Bidikmisi.

*Irene Yasinta lahir di OKU Timur, 03 September 1999. Alumni dari SDN1 Toto Margo Mulyo, SMP N1 Buay Madang Timur & MA Nurul Huda Sukaraja Kab. OKU Timur. Memiliki hobi membaca dan menulis sejak SD. Kedua orang tuaku sebagai buruh tani, bapak bernama Rofii dan Ibu Marfuah. Alhmdulillah, saat ini sedang menempuh Pendidikan Biologi semester 6 di UIN Raden Fatah Palembang. Aktif dalam kegiatan komunitas milenial sebagai ketua departemen kreatif. Prestasi yang pernah diraih juara 2 lomba LKTI, finalis lomba pidato GEMBIRA 2018 di Bangka Belitung, student Awards, juara 1 lomba menulis cerpen, menjadi narasumber di stasiun TVRI Sumatera Selatan dan lain-lain. Motto hidup “Lakukan kebaikan karena ia akan membawa keberkahan”.