Oleh: Indah Naila & Dimas Setyawan*

Pada Saat bangsa Indonesia Sedang berjuang melawan Belanda yang berupaya menanamkan kembali kekuasaanya di Indonesia, bangsa Indonesia harus menghadapi carut marut di negaranya sendiri, yakni pemberontakan PKI Madiun yang terjadi pada tahun 1948. PKI kali ini membawa misi baru yaitu menyingkirkan agama, berdirinya PKI berawal dari masuknya pengaruh sosialisme terhadap sejumlah masyarakat terutama Lembaga Serikat Islam (LSI) pada tahun 1920 dan kemudian lembaga ini pecah menjadi 2; SI Putih (nonkomunis) SI Merah (Prokomunis).

Aturan disiplin SI adalah mengharuskan SI merah harus keluar dari SI dan kemudian berdirilah PKI yang kemudian berkembang pesat. Pemberontakan ini merupakan kedua kalinya setelah pemberontakan yang dilakukan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 13 November 1926 yang menuai kegagalan. Ajaran PKI yang dibawa ke masyarakat adalah faham-faham atheis (anti agama).

Demi memuluskan tujuanya, PKI membuat organisasi  yang bersifat lokal, untuk mengelabui masyarakat bawah, PKI melakukan pendekatan-pendekatan terhadap masyarakat bawah dengan melakukan pendekatan-pendekatan terhadap masyarakat abangan (kurang memahami agama) dengan menggunakan berbagai media. Mulai dari kesenian, kumpulan pekerja, paguyuban, dan sebagainya.

PKI menyuntikkan faham–faham anti agama dengan iming-iming masa depan yang cerah, pemerataan ekonomi, dan tidak adanya ikatan agama. Dahulu PKI memiliki kesenian yang dinamakan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) dan mereka menggunakanya untuk berkampanye anti agama, hingga pada suatu saat di Kertosono Nganjuk, mereka membuat lakon “Rabine Gusti Allah” (nikahnya tuhan).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Para pemimpin PKI di antaranya Amir Syarifuddin dan Musso. Amir Syarifuddin adalah mantan perdana menteri dan menandatangani perjanjian Renville, ia merasa kecewa karena kabinetnya jatuh, kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada tanggal 28 Juni 1948 dan melakukan pemberontakan di Madiun. Sedangkan Musso adalah tokoh PKI yang pernah gagal melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926.

Setelah gagal, ia melarikan diri ke luar negeri. Selanjutnya, ia pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Amir Syarifuddin untuk mengadakan propaganda-propaganda anti pemerintahan Soekarno-Hatta.

Front Demokrasi Rakyat (FDR) didukung oleh Partai Sosial Indonesia, PKI dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Kelompok ini seringkali melakukan aksi-aksinya antara lain:

  1. Melancarkan propaganda anti pemerintah
  2. Mengadakan pemogokan kerja bagi para buruh di perusahaan
  3. Melakukan pembunuhan seperti dalam bentrokan senjata di Solo pada tanggal 2 Juli 1948. Dan pada tanggal 13 September 1948 tokoh pejuang 1945, Dr. Moewardi diculik dan dibunuh.

Aksi pengacauan di Solo yang dilakukan oleh PKI selanjutnya meluas dan mencapai puncaknya pada tanggal 18 September 1948. PKI berhasil menguasai Madiun dan sekitarnya dan menjadikan Madiun sebagai markas yang akan terus bergerak ke barat Yogyakarta yang mana pada saat itu menjadi Ibukota negara, setelah menguasai Madiun, para pemberontak melakukan penyiksaan dan pembunuhan besar-besaran.

Adapun yang menjadi korban keganasan PKI diantara lain adalah para pejabat, pemerintah, perwira TNI, Polisi, pemimpin partai, Ulama dan tokoh Masyarakat dengan tujuan meruntuhkan pemerintah RI yang akan diganti dengan pemerintah yang berdasar paham komunis.

Dari situlah KH. Choliq melakukan upaya-upaya identifikasi terhadap gerombolan PKI sebelum meletusnya pemberontakan PKI 1948 di Madiun, Kiai Choliq  mengamati segala pergerakan mereka dan kemudian menyamar dan menyusup ke dalam rapat-rapat yang mereka adakan. Dan pada saat pemberontakan PKI meletus di Madiun, tak sedikit korban dari mereka adalah kalangan Ulama yang menjadi korban salah satu diantaranya adalah Kiai Sahal Gontor.

Dengan kondisi tangan diikat ke atas dan rencana akan dibakar pada malam harinya. Melihat keadaan tersebut KH. Choliq membentuk barisan berani mati untuk membebaskan para Kiai tersebut dengan para anak buahnya ke Madiun yang kemudian berhasil membebaskan para kiai tersebut dengan menyusup melalui got (saluran pembuangan air).

Kekejaman yang telah dilakukan oleh PKI menuai banyak keresahan masyarakat dan pemerintah yang kemudian berinisiatif mengangkat Kolonel Gatot Subroto  sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Surakarta dan sekitarnya, lalu penumpasan diserahkan sepenuhnya kepada A.H Nasution (Panglima Markas Besar  Komando Jawa).

Operasi penumpasan PKI mengalami kesulitan karena sebagian besar pasukan TNI menjaga garis demarkasi menghadapi Belanda. Pada hal ini menggunakan 2 Bridge Kesatuan cadangan umum, Divisi III Siliwangi dan Bridge Surachmad dari Jawa Timur  serta kesatuan lainnya yang setia kepada negara Indonesia menjadikan penumpasan PKI dapat ditumpaskan.

Pada tanggal 30 September 1948, seluruh kota Madiun, Rembang, dan daerah sekiatarnya dapat direbut kembali oleh TNI, akhirnya pemberontakan PKI di Madiun dapat dipadamkan meskipun banyak memakan korban dan melemahkan kekuatan pertahanan RI. Setelah PKI Madiun dibubarkan, banyak dari tokoh-tokoh mereka yang melarikan diri ke arah Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.

Karena itulah KH. Choliq terus aktif beroperasi untuk memburu pelarian PKI yang menyebar di berbagai negara dan hal itu dilakukan hingga tahun 1950-1953, walaupun sudah tidak menjabat sebagai mayor di Kemiliteran (mengundurkan diri) KH. Choliq tetap menyisir  terhadap pelarian PKI yang ditemani oleh para sukarelawan. Dan tidak segan-segan membawa anjing (supaya tidak diketahui identitasnya) guna mencari rumah-rumah PKI dan melakukan penangkapan pada malam harinya, dan seusai melakukan penangkapan di daerah Jember (Jawa Timur) dianggap selesai, Kiai Choliq kembali ke Tebuireng dan menjadi pengasuh menggantikan kakaknya KH. Ahmad Baidlowi.

*Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.