sumber gambar: mursidnizam.blogspot.com

Oleh : Iriyan Ramadhani

Setiap hari mungkin lantunan ayat suci Al Quran memang wajar terdengar dari masjid pondok pesantren. Tapi berbeda dengan sore ini, suara lantunan yang berbeda telah mengoyakkan keingintahuanku tentang pemilik suara itu, sayangnya sekarang aku masih duduk rapi di kantin. Suara itu tidak asing bagi telingaku, sehingga aku pun berinisiatif untuk mencari tahu asal suara tersebut, dan lalu beranjak dari duduk santaiku.

Saat aku sudah sampai pada sumber suara tersebut, aku tiba di masjid yang biasa aku  dan juga semua santri gunakan untuk shalat. Terlebih lagi aku begitu curiga sekali dengan suara itu. Aku pun mencari di tempat imam, aku begitu terkejut dengan apa yang kudengar sekaligus kusaksikan dengan mataku sendiri. Dia adalah Rama, yang sedang fokus dan begitu fashih sekali melafalkan ayat-ayat Al Quran. Aku tak pernah tahu akan bakat yang terpendam dibalik dirinya yang suka menyendiri, tapi sekarang aku dapat menyaksikannya sendiri.

“Sedang apa kau disini Rama?” tanyaku yang disambut kaget Rama.

“Robi? ehm… aku mencoba melantunkan beberapa Surah Al Quran untuk mengisi waktu senggang sebelum akhirnya waktu shalat Maghrib tiba,” wajah Rama begitu terlihat panik.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Nanti, hm… besok siang akan kujelaskan setelah pulang sekolah,” imbuh Rama.

*************

Siang selanjutnya ternyata menjadi awal dari semua kejadian yang tak pernah aku sangka. Dari sebuah kantin yang sepi, aku dan Rama mengobrol di sebuah meja tempat makan seperti biasanya.

“Hei Rama, apa buku yang selalu engkau bawa? Bolehkan jika aku membacanya sebentar?” tanyaku pelan. Rama terlihat terdiam dan tak menjawabnya, wajah itu seakan membuat persaanku menjadi terdiam juga dan akhirnya tak jadi untuk bertanya.

“Kalau tak boleh, tak apa. Aku hanya bertanya, memang buku itu sangat berarti bagimu?” tanyaku menimpali lagi.

“Bukan begitu Robi, suatu saat pasti kamu mengerti sendiri, aku hanya… ya seperti catatan harian. Kau mengertikan Robi, semua orang pasti memiliki rahasia, aku hanya tak mau semua orang tahu,” ujarnya dengan wajah polos.

Aku terdiam dan tak bisa berkata dari bibirku yang tiba-tiba terhenti akan suara jawaban Rama. Tak terasa kami berdua begitu lama sekali mengobrol, sebuah rasa sakit yang amat perih dan sakit sekali, tiba-tiba terasa dari perutku ini. Aku sempat jatuh dari kursi dan meronta kesakitan, wajah Rama masih samar-samar kulihat, terkejut melihatku, Ia mulai panik dan mulai mencari pertolongan beberapa orang yang berada di kantin untuk menolong-ku.

*************

Tak terasa begitu lama, aku dikabarkan dilarikan ke sebuah rumah sakit terdekat dan pingsan selama 3 hari.  Karena terkena magh berat, dan harus mendapatkan perawatan intensif. Entah mengapa ketika aku siuman, tak ada yang dapat kuingat lagi kecuali ustad yang telah menemaniku selama 3 hari berturut-turut. Jujur saja, akhir-akhir ini aku lebih sering mengkonsumsi minuman dan makanan rasa asam. Mungkin itu yang menjadikan lambung ini rawan sekali terkena magh. Setelah lama berada di rumah sakit, Kamis pagi itu, aku dapat kembali pulang ke asrama kamar. Mengingat teman-temanku yang sudah lama mengkhawatirkanku.

Udara terasa berbeda dari biasanya, hal ini membuat hatiku berdebar kencang dan terus berfikir “Apa yang sedang kurasakan ini?” tak ada yang bisa kuingat setelah sampai di pintu asrama kamar.

“Assalamu’alaikum,..” (sambil mengetuk pintu), pintu asrama kamar pun akhirnya terbuka, ternyata teman-teman sudah lama menunggu, hingga ada yang terlihat salah satu temanku berwajah pucat.

“Robi? sudah lama kami tunggu. Bagaimana keadaannya, sudah membaik? Galang melontarkan tanya itu saat tahu akulah yang muncul dari balik pintu asrama.

“Nanti kita cerita di dalam saja ya,” pinta ustad. Setelah lama sekali bercerita tentang keadaanku selama di rumah sakit, aku akhirnya menyisipkan pertanyaan yang teringat setelah melihat kasur Rama yang sudah terkemas rapi.

“Ada yang tahu Rama kemana? aku ingin segera bertemu dengannya,” tanyaku.

“Ehm, jadi begini. Kemarin setelah kau dirawat di rumah sakit, Luthfi, Ibnu, dan aku ikut mengantarkanmu ke rumah sakit bersama dengan Rama dan ustad. Begitu kami datang, tiba-tiba Rama pingsan dan harus dirawat di rumah sakit, dokter mendiagnosa bahwa Rama terkena penyakit leukemia patogenesis yang sudah lama dideritanya semenjak datang di pondok pesantren ini, Rama pun hanya menyisipkan sebuah permintaannya padaku,” ungkapnya dengan detail. Mataku berkaca-kaca, sedih, marah, dan kesal sebab tak sempat bertemu dengannya telah bercampur aduk dalam diriku.

Sejak saat itu Rama tidak lagi hadir mengisi hari-hariku. “Kau benar Rama, hidup ini pasti akan ada perpisahan yang suatu saat pasti akan terjadi, walaupun sebenarnya seharusnya tak kita inginkian untuk terjadi. Tapi tuhan berkata lain. Senja itu seakan mengingatkan kita pertama kali bertemu, senyuman dan suara khas yang keluar dari mulutmu, membuat dirimu selalu satiap saat teringat dan terbayang di bawah arus fajar yang digantikan senja sore. Aku datang kembali ke gedung tua ini sebagai tanda bahwa kita akan selalu bersama walaupun kau sudah di Alam sana Rama,” suaraku merintih. Hanya aku sendirian dalam menung ini.

Akan kusimpan pemberianmu, buku yang selama ini kau bawa kemana-mana. Sebuah untaian kata yang sangat sedih dan pedih akan selalu kuingat dan kusimpan.

Catatan dalam buku Rama

Siang yang menjelang sore yang indah bagiku, sekarang aku mendapatkan teman yang bagus Pa. Ada yang mau menerimaku di sisi lain yang berbeda dari teman-teman Rama, Robi. Itu lah nama yang kuingat setelah sekian lama tak ke luar rumah. Mengenang permintaan papa yang lama untuk tak berlama-lama bermain diluar. Tenang saja pa, papa tak usah khawatirkan Rama, Rama pasti cepat sembuh kok. Selagi masih ada waktu yang tersisa, hidup ini tak akan kusia-siakan sebelum hari itu tiba.

10 Agustus

Siang, aku seharusnya tak menjadi temanmu Robi, karena hanya akan membuatmu menangis saja. Waktu itu, kita masih bersama menjalani hari-hari yang indah. Aku masih mempunyai waktu untuk menikmatinya karena aku bisa bersamamu. Sejak dulu aku sudah ditinggalkan Ayahku dengan penyakit yang sama, penyakit Leukemia Patogenesis. Penyakit ini sudah lama menyerang Ayahku, menyebabkan alirah darah putih dalam tubuhnya semakin memperparah keadaan dan sampai akhirnya menyerang. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja dengan kontak air liur, sampai akhirnya akan memperpendek umur.

15 September

Aku memutuskan untuk berlama-lama di pondok pesantren dan sedikit untuk menimba Ilmu. Sampai akhirnya aku sudah berada di sana bersama Ayah. Ibuku tak tahu menahu soal penyakit ini. Hanya paman dan bibi yang tahu. Aku meminta kepada mereka untuk merahasiakannya, agar ibu tak cemas dan khawatir lagi akan kesehatanku. Sampai-sampai Ia mengeluarkan uang ratusan bahkan jutaan rupiah hanya untuk pengobatanku sendiri. Aku hanya ingin adik-adikku bisa sekolah dengan layak, agar mereka bisa sepertiku, bahkan bisa melampauiku.

09 Oktober

Aku datang ke masjid untuk mengisi waktu luangku setelah pulang sekolah, sebelum esok hari ajal akan menjemputku. Tenang saja Robi, esok… akan kuberitahu mengapa aku menangis pada waktu itu. Kamu pasti mengerti pada suatu hari nanti dan ingat selalu kata-kata ini. “Setiap seseorang pasti mepunyai rahasia, rahasiaku begitu besar dan aku tak ingin seseorang mengatahuinya,” aku tak butuh dikasihani, karena itu membuatku muak dan memutuskan untuk berada di sini sebelum hari itu tiba. Aku sangat bahagia karena dapat menikmati hidup yang sangat berarti ini. Seseorang yang mengisi di lubang kekosongan hati selama ini. Hanya kau Robi dan teman-teman yang sudah sangat berarti mengisi hari-hariku selama di sini.

Akan kuingat selalu namamu, Robi

10 Oktober

Selamat tinggal…

                                                                                                                    Rama.

Rama benar-benar menghilang, aku sekarang benar-benar kesepian dan hampa. Harus dengan siapa lagi aku mengobrol dan bercerita, Rama yang selama ini selalu mengisi hari-hariku. Kini sudah tiada dan siap untuk menerima sebuah kenyataan yang pahit ini. Sekarang aku harus menerimanya dengan tegar. Aku yakin suatu hari nanti akan ada yang sama bahkan melebihi dirimu. Tapi tak ada yang bisa menggantikanmu. Dari sebuah senja sore itu kita awali semua, dan sampai senja sore di kemudian hari kita akhiri semua itu.

Dari sebuah senja sore itu kami awali semua dan sampai senja sore di kemudian hari kami akhiri semua itu, memang benar yang dikatakan Rama.


*Penulis adalah Siswa kelas VIII SMP A Wahid Hasyim Tebuireng Jombang.