ilustrasi: www.google.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Salat wajib atau sunnah, pada dasarnya merupakan bentuk percakapan (muhadatsah) antara hamba dengan Allah SWT. Suatu percakapan yang dilakukan dengan baik atau dengan teori etis, maka dapat menciptakan kenyamanan, ketersambungan, dan tercipta harmoni. Hal yang demikian itu sangat berpengaruh terhadap kualitas seseorang. Harmoni dalam salat mampu membuat pelakunya berbuat lebih khusyuk.

Melakukan suatu aktivitas apapun jika tidak didasarkan atas rasa ikhlas, maka buntut dari itu hanya membuahkan rasa capek, serta lelah dengan banyaknya energi terkuras yang terbuang. Tentunya, kita tidak menginginkan suatu kesia-siaan, bukan? Bila kita menanam, tentunya kita mengharapkan hasilnya. Jika kita berpergian atau berwisata, tentunya kita berharap mendapatkan tambahan pengalaman dan informasi yang bisa diserap.

Tidak hanya pada aspek itu saja, dalam hal apapun agar kita dapat maksimal dan benar-benar merasa menjadi bagian yang dilakukan oleh kita, yakni harus berbuat atau menjalaninya dengan penuh kesenangan. Akan sangat berbeda sekali kesan yang tampak antara orang yang berbuat atas dasar ikhas dan penuh kesenangan dengan yang berdasar karena terpaksa atau alasan lain yang menunjukkan bukan atas dasar dari hatinya yang paling dalam.

Demikian juga dalam melakukan suatu ibadah. Ibadah apapun yang diharapkan dengan cara semena-mena dan selalu merasa tertekan dalam menjalankannya, pasti tidak akan membuahkan hasil yang baik dan tidak akan bertahan lama. Hal ini bisa kita tarik pada wilayah kepribadian seseorang dan harmoni yang diciptakannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seseorang yang mendalami suatu aktivitas atau amalan tertentu akan terlihat sumringah pada pancaran wajahnya bila ia tidak melibatkan tendensi apapun. Tetapi jika ada hal lain yang dimunculkan, yang hal tersebut bersebrangan dengan teori harmoni, secara otomatis, perlahan dan pasti, maka dapat memunculkan kejenuhan atau kebosanan, yang ujung-ujungnya pun meninggalkannya. Perasaan jengah atau malas pasti akan menguasai emosi dan menggerus kecintaan seseorang pada hal yang dilakukannya, sehingga memaksa dirinya untuk tidak melakukannya lagi.

Begitu juga dengan ibadah, terutama yang menjadi bahasan saat ini adalah ibadah salat. Bisa dirasakan, salat akan terasa “renyah”, nikmat dan nyaman bila kita melakukannya dengan penuh kesenangan. Berdasarkan ini, nilai kekhusyukkan dan nikmatnya bercengkrama dalam salat dengan Allah SWT akan sangat terasa dan lebih bisa dihadirkan. Tumbuhnya kesadaran terhadap pentingnya melakukan perkara-perkara sunnah, sebenarnya memiliki pengaruh terhadap pola kehidupan seseorang.

Oleh karena itu, jika kita mulai membangun kecintaan dan memupuk kecintaan itu, serta menjadikannya sebagai bagian tidak terpisahkan, bukan mustahil bila kita merasakan ketenangan dan kehati-hatian dalam hidup. Tetapi jika atas dasar paksaan, maka semua itu tiada arti atau menjadi kesia-siaan.

Dalam Al-Qur’an Allah Swt. Berfirman :

قل انفقوا طوعا أو كرها لن يتقبل منكم . إنكم كنتم قوما فسقين (53)

“Katakanlah, ‘Nafkahkanlah hartamu, baik dengan sukarela ataupun dengan terpaksa, namun nafkah itu sekali-kali tidak akan diterima dari kamu. Sesungguhnya, kamu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah : 53)

Ayat tersebut memang tidak secara langsung menyinggung tentang ketidakikhlasan seseorang dalam melaksanakan salat. Akan tetapi, ayat itu bisa kita tarik pada ranah yang lebih luas lagi, yang kaitannya dengan keberadaan seseorang yang berada dalam keadaan terpaksa, tidak ikhlas, atau melakukan sesuatu bukan atas dasar rasa senang, atau atas dasar seruan dari hatinya yang terdalam.

Pada intinya ayar tersebut menjelaskan bahwa sesuatu yang dilakukan secara terpaksa, maka tiada bernilai. Demikian halnya dalam melakukan salat, yang hanya membuat kita capek dan buang-buang energi saja jika tidak dikerjakan secara menyenangkan. Allah. Pasti akan mengetahui jika seseorang hamba berbuat suatu amalan bukan atas dasar perasaan ikhas atau senang. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya berikut :

إن تكفروا فإن الله غني عنكم. ولا يرضي لعباده الكفر. وإن نشكروا يرضه لكم، ولا تزر وازرة وزر أخرى. ثم إلى ربكم مرجعكم فينبئكم بما كنتم تعملون. إنه عليم بذات الصدور (7)

“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu. Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya. Dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu. Dan seorang yang berdoa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmu-lah kembalimu, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya, Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada) mu.” (QS. Az-Zumar : 7)

Bila perasaan senang lebih dulu menguasai hati kita, maka sulit bagi kita untuk berpaling. Salat bila dilakukan secara menyenangkan, tentunya menjauhkan kita dari perasaan berat. Dampak baik yang akan dirasakan oleh orang-orang yang melakukan salat secara menyenangkan, hatinya tenang dan rona kebahagiaan terpancar dari auranya. Sebab, salah satu kelebihan dari orang-orang yang rajin dalam salatnya adalah terpancarnya rona tersebut.

Kecintaan dan kesenangan tersebut dengan sendirinya dapat menghadirkan candu. Apabila kita sudah terbiasa melakukan salat setiap hari, secara otomatis apabila suatu waktu kita lupa atau ada faktor lain yang menyebabkan kita tidak melaksanakannya, maka rasanya seolah ada yang kurang atau kurang lengkap. Sungguh, termasuk orang-orang yang beruntung yang bisa memberikan contoh atau teladan kebaikan dalam hal beribadah, baik untuk diri sendiri dan orang-orang sekitar kita.

Sungguh, ibadah menjadi penuntun sekaligus cahaya yang menerangi setiap jalan gelap dalam kehidupan orang-orang yang membangun, serta menjaga kesenangan dan kecintaannya terhadap amalan-amalan baik agar tidak luntur dan terkikis. Merekalah yang akan menjadi pemenang di akhirat kelak melalui ridha-Nya.

*Penulis adalah Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.