sumber gambar: https://petramas.co.id

Judul Buku : Bung Hatta

Penulis : Muhammad Muhibbuddin

Penerbit : Araska

Tahun : 2019

Halaman : 280

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

ISBN : 978-623-7145-00-4

Peresensi : Lutfi Nur Fadhilah (Pascasarjana UIN Walisongo)


Nama “Indonesia” semakin berakar kuat dalam kultur politik Indonesia tak lepas dari perjuangan Sang Guru Bangsa kita, Muhammad Hatta. Muhammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi (Fort De Kock), 12 Agustus 1902. Sejak kecil ia seakan berada dalam ketegangan di antara tradisi sufi dari garis Ayahnya dan modernitas dari garis Ibunya.

Nama Hatta sebenarnya adalah Mohammad Attar, nama yang merujuk pada tokoh sufi dan penyair asal Persia Fariduddin Attar. Istilah “Attar” lebih populer dilafalkan menjadi ‘Hatta’ di bahasa Minangkabau. Hatta belajar agama kepada ulama reformis Islam, Syaikh Muhammad Djambek. Hatta yang juga lahir dari keluarga pedagang, namun dirinya tidak mau membangun kerajaan bisnis dan sebaliknya lebih memilih hidup sederhana bahkan asketis sampai akhir hayatnya.

Keluarga Ibu Hatta yang berani menerobos kungkungan adat-istiadat lokal menunjukkan bahwa ia tergolong keluarga yang cukup progresif di zamannya. Progresivitas keluarga Hatta yang cenderung modernis itulah yang nantinya memengaruhi dan menentukan sifat pendidikan Hatta, termasuk juga garis politik yang diambil Hatta. Bahkan, Bung Hatta tentu tahan banting menghadapi kesulitan dan kesengsaraan yang menimpanya (hlm. 196).

Kesadaran Hatta soal kondisi bangsanya yang berada dalam belenggu kolonialisme sebenarnya sudah muncul saat dirinya masih kanak-kanak. Hatta melanjutkan studi ke Rotterdam, Belanda atas beasiswa Yayasan Van Deventer. Sejak menjadi mahasiswa di Rotterdam, kesadaran politik Hatta semakin membumbung tinggi hingga ia pernah harus berurusan dengan pengadilan di Belanda.

Selain belajar di Belanda, Hatta juga terjun ke dunia aktivis. Ia menjadi bendahara di organisasi Indische Vereeniging (1922-1925). Kemudian ia diangkat menjadi ketua sejak diubah namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia. Hatta mengekspresikan ide-idenya melalui tulisannya. Pada awal terbitan awal majalah Hindia Poetra di awal tahun 1923, ia mengkontribusikan tulisannya mengenai penyewaan tanah kepada pihak perkebunan. Tulisannya berjudul “De economische postie van den Indonesichen gronvenhuurder/ kedudukan ekonomi orang Indonesia yang menyewakan tanah”, dan “Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesie/ beberapa catatan tentang ordonasi penyewaan tanah di Indonesia”.

Untuk menulis artikel ini, Hatta butuh waktu 6 bulan termasuk usahanya membaca buku-buku sebagai landasan teoritik. Ia memberikan dukungan terhadap petani Indonesia supaya pihak perkebunan yang menyewa tanah-tanah petani menaikkan harga sewa. Ia tak sekedar memberi dukungan dengan cara propagandis-agitatif. Langkah yang ditempuh Hatta semakin mengundang kemarahan yang besar pemerintah Belanda karena aktivitas politiknya yang semakin radikal.

Hatta pun memperluas jaringan ke negara-negara Eropa luar Belanda sebagai bagian dari perjuangannya untuk mengenalkan nama “Indonesia”. Pada konverensi Demokrasi Internasional di Bierville yang dihadiri Hatta, inilah pertama kalinya nama “Indonesia” mengudara di panggung Internasioanl.

Hatta hidup dalam kesederhanan, walaupun saat mengundurkan diri dari Wakil Presiden, ruang geraknya dibatasi penguasa. Ia tak lantas ciut iman. “Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa”. Inilah jawaban yang jernih, polos, dan apa adanya dari seorang tokoh negarawan yang tidak haus kekuasaan” (hlm. 194).

Saat ia ingin pergi haji pun, uang yang dijadikan naik haji bukan dari fasilitas negara, melainkan dari honor menulisnya. Bahkan ia berwasiat agar saat meninggal ia dimakamkan di pemakaman biasa sebab tak mau berpisah dengan rakyat Indonesia yang dicintainya.