Sumber gambar: http://www.wajibbaca.com

Oleh: Yayan Mustofa*

Empat puluh tahun yang lalu, ada seorang pemuda yang sangat muak dengan ajaran Islam. Pasalnya, ia mendengarkan pengajian Kiai Samingan dalam suatu acara hari besar Islam. Beliau menyampaikan bahwa pada Hari Pembalasan kelak, yang dihisab pertama kali adalah shalat. Kalau shalatnya bagus, semua amal perbuatan akan dikategorikan bagus. Begitu juga sebaliknya, apabila shalatnya buruk, semua amal perbuatannya akan dinilai buruk.

Shalat yang bagus itu adalah shalat yang khusyuk, tidak mengingat apapun selain Allah SWT dari awal takbir hingga salam. Begitulah penjabaran Kiai Samingan panjang lebar.

Sesampai di rumah, si pemuda menunaikan shalat. Ia berusaha sekhusyuk mungkin seperti yang dipaparkan oleh sang kiai. Naasnya, walaupun sudah bertakbir dan mengulang berpuluh kali, ia tidak bisa. Masih teringat pekerjaan yang belum tuntas dan kesibukan lainnya. Alhasil, pemuda itu putus asa dan menggagalkan shalat.

Tidak hanya malam selepas pengajian, tapi hari-hari berikutnya pun ia tidak lagi mau shalat. Percuma, tidak khusyuk, tidak diterima. Begitu pun kebiasaan bagus lainnya juga ditinggalkan. Rutinitas sedekah ia tanggalkan karena dianggap sia-sia. Buat apa berbuat baik kalau tho dianggap buruk dan ditolak sebab shalatnya buruk dan tertolak? Komplit, tidak shalat dan meninggalkan semua kebaikan. Sia-sia pikirnya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari situ, si pemuda membuka lembaran baru. Kekayaanya untuk saweran panggung orkes dan bersenang-senang belaka.

Suatu hari, selepas senang-senang di Mojokerto kota, ia pulang menuju arah Pasuruan. Pemuda ini terpaksa berhenti karena ada pengajian umum yang menutup jalan raya. Ntah mengapa tanpa disadari, ia memarkirkan kendaraannya dan mendengarkan pengajian yang sudah lama tidak diikuti.

Hidayah datang. Ternyata dalam pengajian itu, Kiai Sadran bertutur tentang shalat persis seperti Kiai Samingan dulu. Bahwa amal yang dihisab pertama kali adalah shalat, inna awwala ma yuhasabu bihil abdu yaumal qiyamah min amalihi shalatuhu. Bedanya, Kiai Sadran  menjelaskan lebih mendalam diending pengajiaannya.

Kiai Sadran mengilustrasikan status seorang hamba itu seperti anak sekolah. Anak TK yang bisa menuliskan bilangan satu sampai sepuluh, ia akan mendapatkan nilai seratus. Begitu juga anak kelas satu yang bisa membaca, ia akan mendapatkan predikat bagus. Akan tetapi kalau siswa kelas enam kok hanya bisa menuliskan angka tanpa bisa penjumlahan, pengalian, dan pembagian, maka ia akan mendapatkan predikat buruk.

Siswa TK tidak boleh merasa nyaman di kelas TK terus karena alasan nilai seratus. Ia harus berusaha naik ke jenjang berikutnya. Bahkan yang sudah kelas satu pun demikian, harus berjuang naik kelas berikutnya. Kalau tidak, ia hanya akan tetap tinggal di kelas dan terselip oleh kawan-kawan yang lain dari bawahnya.

Begitu pun dengan shalat tergantung seorang hamba itu kelas berapa. Kalau masih awam, bisa takbir saja sudah dapat predikat bagus. Tapi seorang hamba tidak boleh merasa puas dengan takbir di kelas awam. Ia harus berjuang naik kelas yang lebih tinggi menuju khos. Kalau hamba khos kok hanya bisa takbir, jelas shalatnya dapat predikat buruk. Tuntutan kelulusan lebih tinggi dari yang awam.

Dari penjelasan Kiai Sadran ini, si pemuda tersenyum. Dia mendapatkan jawaban atas kegelisahannya, dan akhirnya memulai shalat lantas menjalankan rutinitas kebaikan yang dulu ditinggalkan. Kalaupun terbesit bisikan belum khusyuk, tidak diterima Allah SWT, ia akan menangkisnya dengan jawaban, “Pasti diterima, saya masih awam. Baru segini yang bisa saya amalkan.”

Jawaban pemuda tersebut hampir sama cueknya dengan pemuda Bani Israil yang sudah beribadah selama tujuh puluh tahun. Kata Imam Al-Ghazali, Allah SWT mengutus malaikat untuk mengabarkan kepada hamba Bani Israil itu bahwa ibadahnya tidak diberikan imbalan surga. Pemuda itu kemudian menjawab, “Nggak penting. Kami diciptakan untuk beribadah, maka seharusnya kami menyembahNya”.

Dari jawaban pemuda tersebut kemudian Allah SWT mengumumkan kepada para malaikat sekaligus diminta menjadi saksi bahwa ketika seorang hamba tidak berpaling dari menyembahNya, maka Allah SWT pun tidak akan berpaling kepada hamba itu.


*Penulis adalah alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, saat ini aktif di Pustaka Tebuireng.