Oleh: Balitbang Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng

Salah satu bentuk jihad hari ini adalah memperjuangkan draft-draft kebijakan negara. Banyak sekali titipan-titipan kepentingan segelintir orang, seperti tembakau dan pertambangan, yang lebih menguntungkan kaum menengah atas daripada bawah. Perjuangan itu bukan hanya menjadi kewajiban para pejabat pemerintah, melainkan juga suara mahasiswa menjadi pertimbangan penting dengan cara yang efektif tentunya.

Demikian pemaparan Ahmad Faozan, Kepala Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, dalam membuka diskusi bedah buku dwiselasaan (06/10) lalu, di Griya Kwaron. Dia menjelaskan lebih lanjut, apa gunanya mempelajari sejarah “Resolusi Jihad” tanpa mengambil nilai-nilai yang terkandung, memahami, dan menerapkan pada sikap kita hari ini?

Pembukaan Kepala UPPT itu seperti yang dilansir juga oleh Abdul Latif Bustomi dalam karya yang dibedah (Resolusi Jihad ‘Perjuangan Ulama dari Menegakkan Agama Hingga Negara’). Dengan mengutip keterangan dari Ibnu Qayyim yang menyatakan, jihad itu ada tiga pembagian: jihad muthlaq,  jihad hujjah, dan  jihad ’amm. Jihad hujjah menurut Ibn Taimiyah disebut ijtihad bil ilm wal Bayan atau jihad bil lisan (Jihad dengan lisan). Jihad ’amm adalah jihad yang mencakup segala aspek kehidupan dengan mengorbankan harta, jiwa, tenaga, waktu, dan ilmu yang dimiliki. Ia terbagi menjadi dua: jihadul akbar (melawan hawa nafsu) dan jihadul asghar (perang secara fisik). (Hal. 167)

*

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Jalannya diskusi kemudian dialihkan kepada fasilitator, Septian Pribadi dan Zainuddin AK. Diawali dengan sejarah Islam masuk ke Indonesia dan berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Perjalanan NU menjadi titik perhatian, yang pada awalnya berlatar belakang keagamaan. Memerangi ideologi transnasional kaum wahabi di Makkah yang berkonsentrasi menghancurkan makam Rasulullah Saw, dan memberlakukan satu madzhab. Kemudian beralih pada urusan kenegaraan.

Memang dalam perjalanan awal kenagaraan NU cenderung akomodatif, tapi kemudian menikung tajam melawan pemerintahan demi kemerdekaan Indonesia. Dengan fatwa resolusi jihad Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, perlawanan menjadi massif melawan para penjajah. Ini yang membingungkan seorang pengamat sekaliber Greg Fealy. (Hal. 144)

Agama (Islam) adalah senjata handal dalam perjuangan. Ia alat penggerak massa yang berbabis agama seperti Indonesia ini. Pergolakan berlandaskan agama itu sudah berjalan lama, jauh sebelum perjuangan mempertahankan kemerdekaan sejak Agustus 1945 itu sendiri. Hanya saja masih bisa diredam walaupun dengan banyak korban.

Oleh karenanya mengapa, Snouck Hurgronje dianggap sukses dalam memecah belah kesatuan dengan berlakunya politik devide et impera, politik belah bambu oleh pemerintahan. Kebijakan itu berdasarkan hasil penelitiannya di Makkah dan Aceh. Yang melatarbelakangi kekokohan orang Indonesia (Aceh) ternyata adalah Islam, dalam pandangan Snouck.

Dari situ kemudian, orientalis yang fasih al-Qur’an itu memberikan tiga solusi praktis dalam menangani pribumi. Pertama, dalam hal keagamaan selagi tidak bersinggungan dengan politik maka dibiarkan berjalan apa adanya.

Dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial membangun lembaga pendidikan berbasis barat. Memproyeksikan lulusannya untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan kolonial, menjembatani antara koloni dengan pribumi. Di lain sisi, untuk mendiskreditkan pendidikan pesantren yang notabenenya pondasi muslim Indonesia, sumber pemberontakan. Maksudnya, untuk menggerus habis generasi pesantren dan tertarik pada lembaga pendidikan kolonial.

Terakhir, muslim harus dibabat habis dalam bidang politik, tidak dikasih ruang. Selama Islam masih menjadi satu dengan politik, maka ia menjadi sumber kekuatan menakutkan. Itu hasil pengamatan Snouck selama berkecimpung mempelajari Islam sebelum menangani proyek kolonial di Indonesia.

Tiga landasan itu tidak lagi diberlakukan dalam pemerintahan Jepang. Bahkan, kesalahan fatal Jepang terjadi ketika menangkap tokoh besar Islam Indonesia, KH. M. Hasyim Asy’ari yang menjadi anutan seluruh Ulama Nusantara.

Hanya dengan waktu singkat, Kiai pemegang sanad hadits ke-24 itu dilepaskan kembali dengan perantara deplomasi KH. Wahab Hasbullah. Tiada lain karena muncul riak-riak pemberontakan yang semakin membesar. Bahkan, menjadi peluang emas bagi kaum muslim Indonesia untuk melegalkan organisasi-organisasi mereka. Ditambah lagi, mendapatkan tempat dalam pemerintahan.

**

Kang Rahmat, Staf Divisi Pustaka yang juga meramaikan diskusi menggarisbawahi perbedaan kebijakan antara Kolonial Belanda dan Jepang. Jepang tidak memberlakukan tiga poin peninggalan Snouck bukan karena ia tidak tahu, melainkan karena perbedaan kondisi sudah berbeda.

Wacana sejarah tidak cukup dalam kajian Indonesia saja, melainkan ada sangkut paut dengan politik internasional ketika itu. Dengan mendoktrinkan tiga A, “Jepang pemimping Asia, Jepang pelindung Asia, dan Jepang cahaya Asia,” Jepang yakin Indonesia akan tetap dalam genggamannya. Ia melatih orang-orang pribumi menjadi militer dengan harapan akan mendapatkan kekuatan tambahan dalam perang dunia. Memberikan ruang politik pada pribumi juga karena kepentingan Jepang, agar Indonesia tidak jatuh pada penjajahan Negara lain.

Sebenarnya, Faozan melengkapi, fenomena itu tidak lepas dari kecerdasan KH. A. Wahid Hasyim, Kiai Ilyas, KH. Yusuf Hasyim dan kiai-kiai lainnya. Yang dikirim untuk belajar militer adalah santri-santri pesantren. Di mana, seorang santri pasti akan bergerak dalam panduan sang kiai, ini yang menarik.

Laskar Hizbullah, yang sudah terlatih perang itu, tidak dikirimkan oleh Kiai Wahid Hasyim untuk membantu Jepang dalam perang dunia. Padahal, tujuan awalnya adalah membantu mereka memenangkan peperangan. Sebaliknya, Laskar ini malah berjuang mempertahankan kemerdekaan setelah Jepang kalah perang.

Pembacaan kondisi oleh para kiai dan pemuda pesantren sangat mengagumkan. Yang sebelumnya Islam (para kiai) bersikap akomodatif kepada pemerintahan, berbalik arah 180 derajat. Bahkan, untuk meninabobokan Jepang, Mbah Wahab memanggil mereka “tuan,” alih-alih pengejawantahan doktrin tiga A. Ini pujian untuk memebunuh gerakan lawan.

Jika ditelaah lebih dalam, sebenarnya gerakan kiai-kiai surau dan pesantren tidak berbalik menikung seperti yang dibingunkan Fealy. Kecerdasan para kiai bagaimana bersikap itulah yang menjadi menarik untuk selalu didalami.

Yayan Musthofa mengutarakan sedikit dari karya KH. Saifuddin Zuhri, “Berangkat Dari Pesantren”, bahwa gerakan pesantren itu lebih halus. Surau-surau tempat mengaji tidak hanya tempat belajar agama semata, melainkan juga mempelajari perpolitikan, pusat informasi, dan penggalangan strategi. Oleh karenanya, komunikasi pergerakan menjadi sangat cepat.

Gerakan arus bawah sudah semakin cepat, sedangkan dalam penampakan luar kepada pemerintahan mereka bersikap manis. Menunggu kesempatan yang tepat untuk menyerang dan menggerakkan arus bawah.

Arus pergolakan menjadi lebih besar lagi karena proyeksi kader Belanda, yang sebetulnya untuk menyaingi pendidikan pesantren, memecah belah kekuatan pribumi, malah bertindak sebaliknya, bersatu dengan pesantren memerangi penjejahan jepang dan sekutu. Bersatu mempertahankan kemerdekaan.

***

Dari diskusi panjang lebar itu, sekiranya dapat ditarik beberapa point. Pertama adalah bagaimana bersikap (menyikapi) sebuah fenomena. Ini terlihat dari perbedaan sikap para kiai kepada pemerintahan penjajah dan masyarakat santri. Kedua, strategi-strategi persiapan dan mempertahankan kemerdekaan. Susunan tahapan itu tersembunyi rapi tanpa terbaca oleh penjajah. Ketiga, pembacaan momen. Kesempatan untuk menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya dalam medan pertempuran, terluapkan dalam resolusi jihad.

Itu menghadapi lawan yang tampak mata, ungkap Zainuddin. Apakah itu hanya menjadi sejarah, ataukah masih ada yang perlu kita perjuangkan? Kesimpulan terakhir kembali pada pembukaan Faozan, jihad belum usai, membela rakyat kecil dalam percaturan politik menentukan kebijakan seperti undang-undang pertambangan, dan lain sebagainya.

*Sebuah resume diskusi buku “Resolusi Jihad ‘Perjuangan Ulama dari Menegakkan Agama Hingga Negara’”  karya Abdul Latif Bustomi UPPT di Griya Kwaron pada Selasa, 06 Oktober 2015 lalu