Nama Buku : Resolusi Jihad, “Perjuangan Ulama dari Menegakkan Agama Hingga Negara”
Penulis : Abdul Latif Bustami dan Tim Sejarah Tebuireng
Penerbit : Pustaka Tebuireng
ISBN : 978-602-8805-36-0
Halaman : XX + 236
Cetakan : I, 2015
Resensor : Siti Mureni*
Sejarah hadir tidak berada dalam ruang hampa melainkan berada dalam jejaring kuasa kata. Melalui kuasa kata itu, sejarah mampu meligitimasi dan mendekonstruksi struktur atau agen secara bersamaan dan bergantian. Secara wajib diperjuangkan oleh mereka yang merasa perannya terabaikan secara sengaja atau kecelakaan sejarah. Setiap orang mempunyai sejarahnya sendiri dan berjalan dengan nalar sejarahnya sendiri.
Nadhlatul Ulama (NU) menorehkan sejarah tersendiri bagi perjuangan bangsa Indonesia. Jauh sebelum gaung upaya mempertahankan NKRI didengungkan, para ulama telah bergerak terlebih dahulu. Dalam wadah NU, inilah langkah nyata para kiai, santri, warga nahdliyin memberikan kontribusi nyata dalam mengawal perjuangan kemerdekaan, mempertahankan dan mengisinya dengan spirit yang tak kenal lelah dan pamrih.
Puncak perjuangan yang dipelopori oleh ulama muncul setelah adanya fatwa jihad yang dikumandangkan Hadharatusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan lebih dikenal dengan “Resolusi Jihad” tanggal 22 Oktober 1945, sebelum pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Resolusi itu sebagai legitimasi bagi pemerintah sekaligus kritik terhadap sikap politik yang pasif dengan agresi militer Sekutu.
Resousi jihad merupakan pernyataan tertulis yang disepakati oleh wakil-wakil masyarakat yang memuat tuntutan untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia sesuai dengan landasan ajaran Islam dan sejatinya meminta ketegasan pemerintah Indonesia untuk segera mendeklarasikan Perang suci atau Perang jihad.
Resolusi jihad tidak dapat dipisahkan dari serangkaian peristiwa sebelumnya. Setelah kemenangan sekutu atas Jepang yang ditandai menyerahnya Jepang tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945, maka Indonesia memproklamirkan kemerdekaan secara de facto tanggal 17 Agustus.
Bagi NU, Belanda dan Jepang bukan lagi pemegang kekusaan yang sah. Kedatangan Belanda yang membonceng kekuatan sekutu dipandang sebagai agresi yang menentang kekuasaan muslim yang sah, yaitu pemerintahan Republik Indonesia. Maka tidak ada pilihan lain bagi NU selain berada di belakang Republik dan mengusir tentara sekutu, apapun taruhannya.
KH. M. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa dengan substansi penolakan kembalinya kekuasaan kolonial dan mengakui kekuasaan Republik Indonesia yang baru merdeka sesuai hukum Islam.
Ringkasan fatwa KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai berikut :
- Hoekoemnja memerangi orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhoe ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam jang moengkin meskipoen bagi orang kafir.
- Hoekoemnja bagi jang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplot2nja adalah mati sjahid.
- Hoekoemnja orang jang memetjahkan persatoean kita sekarang ini wadjib diboenoeh.
Dengan lahirnya Resolusi Jihad semangat umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan semakin terbakar. Peristiwa heroik 10 November 1945 yang diperingati sebagai hari Pahlawan tidak terlepas dari semangat resolusi jihad yang dicetuskan di markas NU, Bubutan Surabaya. Kiranya kegigihan perjuangan Kiai Hasyim sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dalam Keppres nomor 249 tahun 1945.
Resolusi jihad NU itu secara realitas memberikan konstribusi nyata demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyatakan NKRI sebagai konsep final tetapi kemana materi itu dalam sejarah nasional Indonesia? Kita sebagai santri sekaligus generasi muda NU perlu menelusuri lebih jauh tentang sejarah perjuangan para kyai-santri pendahulu kita yang selama ini “dilenyapkan” agar kita dan generasi kita pun dapat mengetahui sejarah yang benar dari bangsa dan negaranya.
Buku ini secara jelas meruntutkan sejarah perjuangan kaum sarungan. Bahkan sebelum masuk pada dekade kemerdekaan, Abdul Latief Bustami dkk, menjelaskan secara kronologis awal mula berkembangnya Islam di Indonesia. Data-data yang tercatat di dalam buku ini sangat rijit, dan diperkuat dengan referensi-referensi pustaka yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan copian teks asli beberapa dokumen bersejarah dilampirkan secara khusus.
Pembaca diajak merasakan dan meresapi perjuangan para pahlawan mempertahankan kemerdekaan. Kalau tanggal 22 Oktober uforia Hari Santri Nasional diperdengungkan di muka publik sebagai kebanggaan atas perjuangan para ulama, santri, dan pahlawan, tanpa mengetahui hakekat, sejarah, dan esensi Resolusi Jihad, perayaan demi perayaan menjadi melompong tidak berisi sama sekali. Peringatan Resolusi Jihad, tidak membaca buku-buku sejarah tentangnya, seperti buku ini, maka dikatakan dia belum khatam mengkaji sudah jungkar balik sorak-sorai tanpa tahu maksudnya. Selamat Hari Resolusi Jihad. Buku ini sangat pas bagi siapa yang haus pengetahuan sejarah Resolusi JIhad. Selamat Membaca!
*Alumni Universitas Hasyim Asy’ari