Foto Sultanah Safiatuddin

Oleh: Rahmah Raini Jamil

Pendeklarasian mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan seringkali menyebabkan perselisihan karena menimbulkan perbedaan pendapat, apalagi ketika wacana kesetaraan gender dikaitkan dengan agama. Indonesia dengan mayoritas agama Islam, telah menjadikan masyarakatnya seakan-akan seragam dalam hal berinteraksi satu sama lain dengan berpedoman pada syariat-syariat agama. Namun, masih saja sebagian masyarakat memperbincangkan persoalan dalil misoginis (dalil yang cenderung dianggap merugikan perempuan) dan menganggap kesetaraan gender adalah paham yang hadir dari barat bahkan liberal.

Padahal jika ditelusuri secara historis, Rasulullah merupakan tokoh yang sangat memuliakan perempuan dengan cara memerangi diskriminasi dan menyiarkan tonggak keadilan. Perempuan pada zaman Rasulullah telah diberi hak yang sama dengan hak yang dimiliki oleh laki-laki. Hanya saja pada waktu itu tidak menggunakan diksi kesetaraan gender.

Sesuai dengan tingkat kemajuan kebudayaan dan peradaban, sejarah mengenai masuknya Islam ke Indonesia lahir. Sejarah Islam Indonesia senantiasa mendapatkan perhatian para sejarawan dari Timur maupun Barat seperti Arab, India, China hingga Eropa; dari masa klasik sampai kontemporer. Sehingga kini telah hadir beberapa literatur sejarah yang amat berharga, yakni tentang peradaban-peradaban Islam yang terbangun sebagai hasil dari proses Islamisasi Indonesia seperti berdirinya kerajaan Islam Indonesia; Kerajaan Peurelak, Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Demak, Mataram, Banten, Goa-Tallo, Ternate-Tidore, dan yang lainnya.

Berbicara mengenai kesetaraan gender yang seolah tidak ada ujungnya bahkan jika dibahas menurut kacamata agama, maka kutipan yang ditulis oleh Kiai Husein Muhammad dalam bukunya; “Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah” menyatakan bahwa sejarah peradaban Islam telah menjadikan perempuan masuk dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya (didomestifikasi) yang aktivitasnya hanyalah memasak, menunggu dan melayani laki-laki (suaminya). Kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung, dilarang menduduki posisi pengambil kebijakan publik dan politik. Sedangkan dituliskannya kembali bahwa; Al-Qur’an berkali kali menyerukan manusia di mana saja dan kapan saja untuk berbuat, bertindak, dan memutuskan segala urusan kehidupan secara adil. Keadilan memiliki makna proporsionalitas, siapa saja yang memiliki kapasitas dan kualitas memimpin, dialah yang berhak memimpin. Melalui argumen tersebut, reperesentasi kesetaraan gender di Indonesia dapat kita telisik pada kepempimpinan beberapa sultanah di kerajaan Islam Indonesia Abad XVII.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Salah satu kerajaan Islam Indonesia yang berdiri sekitar Abad XVI/XVII yakni kerajaan Islam Aceh Darussalam atau lebih dikenal dengan sebutan Kesultanan Aceh. Kerajaan Aceh Darussalam terletak di pulau Sumatra yang beribu kota Banda Aceh Darussalam. Dalam buku karya Dzulkifli Hadi Imawan yang berjudul “The History of Islam in Indonesia: Kontribusi Ulama Membangun Peradaban dan Pemikiran Islam di Indonesia” menyebutkan bahwa raja pertamanya yakni Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1514-1522.

Kerajaan Aceh Darussalam tidak terlepas dari peran ulama, baik ulama dari Indonesia yang belajar agama di timur tengah maupun ulama dari Timur Tengah yang datang dan menetap di Aceh. Masa kejayaannya yakni pada kepemimpinan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636, terlihat dari keadaan politik, ekonomi, pertahanan, keilmuwan dan keagamaan menjadi semakin kuat dan mengalami kemajuan yang sangat signifikan daripada masa-masa sebelumnya.

Setelah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda berakhir, kedudukan Raja digantikan oleh Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) yang merupakan menantu dari Sultan Iskandar Muda. Namun Sultan Iskandar Tsani hanya dapat memimpin selama lima tahun karena pada tahun 1641 meninggal dunia pada usianya yang ketiga puluh dan tanpa meninggalkan putra mahkota. Oleh sebab itu, para pejabat dan para ulama yang dipimpin oleh Qadli Malikul Adil, Syeikh Nuruddin Ar-Raniry sempat mengalami kebingungan dalam hal menentukan pengganti dari Sultan Iskandar Tsani.

Perempuan Memimpin Kerajaan

Akhirnya dengan musyawarah yang cukup panjang, ditetapkannya untuk memimpin kerajaan adalah istri dari Sultan Iskandar Tsani. Hal tersebut mengalami beberapa pertentangan karena kerajaan akan dipimpin oleh seorang perempuan. Namun dengan beberapa kriteria yang telah dimusyawarahkan seperti dari sisi ilmu agama, akhlak dan pengetahuannya yang luas, sejak tahun 1641 kerajaan Islam Aceh Darussalam berhasil dipimpin oleh seorang perempuan yang diberi gelar Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Syafiyatuddin Johan Berdaulat yang tertulis dalam buku “59 Tahun Aceh Merdeka” karya Hasjmy.

Selanjutnya Sulthanah Syafiyatuddin Syah menjadi pemimpin dalam kurun waktu yang lama, yakni selama 34 tahun (1641-1675). Hal ini mencerminkan bahwa kesetaraan gender telah ada di Indonesia semenjak Abad XVII, dengan berbagai pertimbangan pejabat kerajaan dan para ulama dengan memandang sisi kemanusiaan perempuan dan laki-laki secara adil, maka diputuskan seorang perempuan juga berhak memimpin kerajaan. Hanya saja pada masa itu tidak ada pelabelan kesetaraan gender dalam hal membedakan antara laki-laki dan perempuan menurut kacamata sosial, budaya, politik maupun agama.

Tak hanya itu, setelah Sulthanah Shafiyatuddin Syah menjadi Ratu, maka tiga kali berturut kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh perempuan di antaranya; Sulthanah Nurul Alam Naqiyatuddin Syah selama 4 tahun (1675-1678), Sulthanah Zakiyatuddin Inayah Syah selama 10 tahun (1678-1688), dan terakhir Sulthanah Kamalatuddin Syah selama 11 tahun (1688-1699).

Selama kepemimpinan para sultanat, kerajaan Aceh Darussalam terjaga kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, sebagaimana yang tertulis dalam Bustan as-Salatin dengan mengikuti Ali Hasjmy dalam buku “The History of Islam in Indonesia: Kontribusi Ulama Membangun Peradaban dan Pemikiran Islam di Indonesia” menuliskan; “Bandar Aceh Darussalam masa pemerintahan Ratu Shafiatuddin teralu makmur dan makananpun sangat murah dan segala manusiapun dalam kesentausaan dan mengikut segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil pekerjaannya dan sabar pada segala barang halnya, lagi mengerasi segala yang durhaka. Dan ialah haibah pada segala kelakuannya dan bijaksana pada segala barang perkataannya, dan lagi halim perangainya, dan pengasih akan rakyatnya, dan lagi syafaat akan segala fakir dan miskin. Dan ialah yang mengasihi dan menghormati akan segala ulama dan anak cucu Rasululah saw. yang datang ke Bandar Aceh Darussalam, serta dikarunianya dengan sempurnanya…dan ialah Raja yang tinggi hematnya dan orang sangat murahnya”.


Baca Juga: Prinsip Kesetaraan Gender dalam Islam