Rohana Kudus, foto: wikipedia

Rahmah El-Yunusiah atau yang dikenal dengan Rohana Kudus memiliki keterkaitan erat dengan sejarah pers perempuan di Indonesia. Sebagai seorang jurnalis asal Sumatera Barat, Rohana Kudus memainkan peran kunci dalam memajukan pers dengan perspektif perempuan dan memperjuangkan kesetaraan jauh sebelum Indonesia merdeka pada awal tahun 1900-an.

Karir jurnalisnya dimulai ketika ia menjadi penulis di surat kabar Poetri Hindia sebelum akhirnya surat kabar tersebut dibredel oleh pemerintah Belanda. Poetri Hindia, yang diterbitkan pada 1 Juli 1908, merupakan koran pertama di Indonesia yang khusus diperuntukkan bagi kaum perempuan dan dibuat oleh perintis pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo.

Setelah pembredelan Poetri Hindia, Rohana Kudus tidak menyerah dan mendirikan surat kabar baru bernama Soenting Melajoe, yang menjadi salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Inisiatif ini menandai peran Rohana dalam memperluas ruang bagi perempuan untuk menulis dan berkontribusi dalam dunia pers.

Surat kabar ini terbit pertama kali pada 10 Juli 1912 dan diurus oleh Rohana bersama Ratna Juwita Zubaidah, putri dari Maharadja, seorang wartawan senior. Nama “Soenting Melajoe” dipilih sebagai simbol perempuan dan wilayah mereka, mencakup perempuan di seluruh tanah Melayu.

Soenting Melajoe menjadi wadah bagi perempuan untuk menyampaikan gagasan tentang kesetaraan gender dan mengkritik sistem sosial yang ada, terutama dalam konteks kolonialisme Belanda. Dalam penelitiannya, Lia Anggia Nasution menunjukkan bahwa media massa pada masa itu, termasuk Soenting Melajoe, berperan sebagai alat untuk menyebarkan gagasan kesetaraan gender dan menentang praktik kolonial yang merugikan perempuan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Isi pemberitaan dalam surat kabar ini mencerminkan situasi saat itu, dengan pengaruh Politik Etis Belanda yang berdampak pada perempuan dan membuka akses bagi mereka untuk berhimpun dan bersatu dalam organisasi.

Rohana Kudus tidak hanya menjadi jurnalis, tetapi juga aktif dalam pendidikan perempuan. Dia mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia, sebuah sekolah keterampilan untuk perempuan, sebagai bagian dari upayanya untuk memajukan perempuan.

Pada saat akses perempuan terhadap pendidikan masih dibatasi, Rohana menganggap bahwa perjuangan melalui sekolah saja tidak cukup. Ia ingin memperluas perjuangan melalui kegiatan menulis dan memberikan suara kepada perempuan melalui media massa. Jargon koran yang didirikan oleh Rohana, “Soerat Chabar Perempoean di Alam Minangkabau,” mencerminkan fokusnya pada pemberitaan dan perjuangan untuk perempuan di wilayah tersebut.

Tulisan-tulisan dalam Soenting Melajoe mencakup berbagai topik, mulai dari pandangan dan gagasan Rohana untuk menginspirasi perempuan, terjemahan berita dari bahasa Belanda, karya sastra, sejarah, hingga puisi. Karier jurnalistik Rohana Kudus tidak hanya mencakup periode Soenting Melajoe, tetapi juga melibatkan kerja sama dengan Satiman Parada Harahap dalam memimpin redaksi koran Perempuan Bergerak.

Di tengah perjalanan hidupnya, Rohana pindah ke berbagai tempat, seperti Lubuk Pakam dan Medan di Sumatera Timur, tetapi tetap aktif dalam dunia jurnalistik dan pendidikan.

Pada tahun 1919, Rohana dan suaminya pindah ke Lubuk Pakam, Sumatera Timur. Pada tahun 1920, di Medan, Rohana kembali mengajar dan menjadi akhir peredaran Soenting Melajoe. Meskipun demikian, semangat perjuangan Rohana tidak surut. Dia melanjutkan kiprahnya dengan menjadi redaktur surat kabar Radio dan koran Cahaya Sumatera di Padang, serta mengajar di Vereninging Studiesfonds. Rohana Kudus bukan hanya seorang jurnalis, tetapi juga seorang pendidik dan pejuang hak-hak perempuan.

Ditulis oleh Anis Faikatul Jannah, mahasiswi Universitas Hasyim Asy’ari