sumber foto: thisisgender.com

Setiap orang yang berjuang melawan penjajah adalah pahlawan, namun masih banyak pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak dikenal oleh penduduk kita, yaitu mereka yang melawan penjajah dengan sembunyi-sembunyi. Begitu pun dengan pahlawan perempuan sebagian besar orang mengenal pahlawan perempuan adalah R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, Fatmawati. Mereka merupakan pahlawan perempuan yang namanya pun sudah mendunia.

Rahmah El Yunusiyah atau yang sering disebut dengan Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah adalah seorang pahlawan perempuan yang mengorbankan jasanya untuk pendidikan, Rahma El Yunusiyyah adalah seorang perempuan pertama yang mendirikan diniyah putri. Rahma lahir di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, 29 Desember 1900 dari pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafia, Ia lima bersaudara Zainuddin Labay, Mariah, Muhammad Rasyad, Rihanah, dan  Rahmah merupakan anak terakhir. Kudi Urai yang memiliki keahlian sebagai bidan yang membantu proses dilahirkannya rahmah.

Yunus ayahnya meninggalkannya pada usia enam tahun dikarenakan meninggal dunia, keluarga Yunus dikenal dengan keluarga yang taat beragama, ayahnya Yunus merupakan ulama yang mengahabiskan waktu selama 4 tahun di Makkah untuk belajar, dan ibunya Rafia merupakan keturunan ulama yang masih berhubungan darah dengan haji Miskin seorang pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19. Ketika ayahnya meninggal keluarga Rahma memilih salah satu murid Yunus untuk menjadi guru mengaji Rahmah, sedang kakanya yang bersekolah di sekolah dasar mnegajarkan Rahmah baca tulis arab dan latin.

Rahmah El Yunusiyyah memiliki watak yang keras dan berkemauan kuat, kemampuan membaca yang dimiliki oleh Rahmah dimanfaatkan untuk membaca buku yang dimilki kakanya maupun yang ditulis oleh kakaknya  Zainuddin Labay. Begitu pun pada usianya yang masih belia kurang lebih sepuluh taun ia sudah sering kali mendengarkan ceramah-ceramah di beberpa surau, ia mengambil perbandingan dari ceramah yang ia dengarkan dan berpindah dari satu surau ke suaru lain di Padang Panjang.

Ia tumbuh menjadi gadis yang pemalu, meninggalnya Yunus membuat Rahmah memikirkan hal dan menyelesaikannya sendiri, sehingga ia tidak banyak bergaul dengan teman sebayanya. Rahmah dinikahkan pada usia 16 tahun, dengan seorang ulama dari Sumpur, Bahauddin Lathif yang berlangsung pada 15 Mei 1916 dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Rahmah bersekolah di Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya Zainuddin Labay El Yunusy, ia diterima di bangku kelas tiga yang saat ini setara dengan tsanawiyah. Pendidikan tradisional yang berbasis surau pun mulai mengalami kemajuan, disebabkan banyaknya ulama yang belajar di Timur Tengah yang membawa pembaharuan pada awal abad ke-20. Sekolah yang didirikan oleh Zainuddin Labay El Yunusy adalah sekolah agama Islam Diniyah School yang berbasis Modern, Zainuddin Labay El Yunusy juga memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum sekolah, menggunakan alat peragga dan memiliki perpustakaan, terdapat hal baru yang dilakukan oleh Zainuddin Labay El Yunusy pada sekolahnya, di dalam kelas terdapat perempuan dan laki-laki.

Satu kelas dengan laki-laki nampaknya tidak nyaman bagi Rahmah, baginya sekelas dengan laki-laki membut perempuan terbatas mengutarakan haknya, seperti halnya masalah perempuan dalam sudut pandang fikih tidak dijelaskan secara rinci oleh gurunya yang merupakan seorang laki-laki, begitu pun dengan siswa perempuan yang enggan untuk bertanya. Sehingga Rahmah memimpin kegitan belajar bersama di luar kelas pada sore hari, tanpa meninggalkan kegitan sekolahnya pada pagi hari. Rahmah mempelajari fikih secara mendalam kepada Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi bersama dua rekannya Sitti Nansiah dan Djawana Basyir.

Mereka tercatat sebagai murid perempuan pertama yang ikut belajar di surau jembatan besi.

Selain aktif dalam kegiatan belajar ia juga aktif organisasi, ia ikut bergabung dengan Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS).

Rahmah mengusulkan gagasan untuk mendirikan sekolah perempuan sendiri ketika ia sudah menduduki kelas enam diniyah. Ia menginginkan pendidikan yang fitrah untuk perempuan dan dapat diamalkan dalam kehidupan keseharian. Keinginannya untuk mendirikan diniyah putri disampaikan kepada kakaknya Zainuddin Labay El Yunusy.

“Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya. Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa.” Ujar rahmah.

Rahmah belajar banyak hal dalam hal kebidanan ia belajar dari mak tuonya, ia juga pernah mengikuti kursus kebidanan di beberapa rumah sakit dan kepada beberapa orang dokter. Ia juga mempelajari olahraga dan senam kepada seorang guru asal Belanda yang mengajar di Guguk Melintang.

Rahmah yang menjadi pemimpin sekolah bertemu dengan beberapa guru yang mengajar di Padang Panjang di antaranya Djusair, Rosminanturi Gaban, dan Sitti Akmar  yang membawanya untuk mendalami ilmu tentang memasak, pelajaran-pelajaran tentang kewanitaan, menjahit, dan berenang.

Selain itu, ia belajar bertenun tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin yang pada masa itu banyak dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Pengalamannya bertenun ia dapatkan dari pusat pertenunan rakyat seperti Pandai Sikek dan Silungkang. Berbagai ilmu lainnya seperti ilmu hayat dan ilmu alam ia pelajari sendiri dari buku. Penguasaan Rahmah dalam berbagai ilmu ini kelak memengaruhi metode pendidikan yang ia terapkan di Diniyah Putri.

Rahmah adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi. Ia memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang, menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata mereka sewaktu Revolusi Nasional Indonesia.

Tepat 1 November 1923, Madrasah Diniyah Li al-Banat dibuka oleh Rahmah sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri. Rahmah mengatur kegiatan belajar mengajar di masjid yang terletak berseberangan dengan rumah kediamannya di jalan Lubuk Mata Kucing (sekarang Jalan Abdul Hamid Hakim), Pasar Usang, Padang Panjang. Dua teman Rahmah, Sitti Nansiah dan Djawana Basyir termasuk guru terawal, sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Terdapat  71 murid yang mengawali kegitan belajar yang terdiri dari ibu-ibu muda.

Kegitan belajar hanya berlangsung selam 2,5 jam yang mendalami pelajaran dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Madrasah Diniyah Li al-Banat terus mengalami kemajuan sehingga sekolah yang di dirikan kakanya Zainuddin Labay El Yunusy peralahan yang daftar hanya laki-laki. Metode yang digunakan dalam belajar adalah murid mengelilingi guru, guru membacakan buku berbahasa arab menerangkan dengan bahasa Indonesia. Zainuddin meninggal secara mendadak pada 10 Juli 1924.

Kiprah Rahmah kepada pendidikan tidak segan-segan ia lakukan, ia membeli rumah tingkat di pasar usung untuk kegiatan belajar ia memenuhi kebutuhan seperti meja, bangku, papan tulis dengan usahanya sendiri. Terdapat 60 murid yang pertama kali tinggal di asrama. Rahmah juga membuka program-program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal yang diikuti oleh 125 orang ibu-ibu. Seiring banyaknya murid diniyah putrid, Rahmah mulai mengatur waktu belajar pelajar remaja perempuan pada sore hari, ibu-ibu rumah tangga pada malam hari.

Pada awal tahun 1926 murid semakin banyak sehingga gedung yang ditempatinya tidak mencukupi, dan membangun gedung baru dengan gotong royong, namun pada 28 Juni 1962 terjadi gempa bumi berkekuatan 7,6 skala richter mengguncang Padang Panjang, merobohkan gedung lama dan beserta pondasi gedung baru yang dibangun.

Nanisah merupakan salah seorang guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan. Akibat kejadian itu juga kota itu ditinggalkan. Setelah kejadan gempa bumi di Padang Panjang semua kegiatan belajar terpaksa dihentikan, semua gedung hancur bersama separuh penduduk padang Panjang. 40 hari setelah kejadian Rahmah dengan guru-guru yang tersisa mendirikan kelas darurat dibantu  murid-murid Thawalib dengan cara gotong-royong yang bertempat di sebidang tanah wakaf dari ibunya terbuat dari bambu dengan atap daun rumabi berlantaikan tanah.

Bersamaan dengan mengajar di kelas darurat, Rahmah bersama guru dan wali kelas membentuk komite mencari dana pembangunan gedung pembelajaran Diniyah Putri. Rahmah berperan sebagai pemimpin penggalangan dana di dalam maupun di luar Minangkabau. Pada Desember 1927 bermula pembangunan gedung secara permanen hasil dari penggalangan dana yang telah dilakukan Rahmah dan guru-guru, ditempati pada Oktober 1928 sampai saat ini.

Pada tahu  1982 terdapat 200 murid, tahun 1933 menjadi 300, dan 400 pada tahun 1935. Diniyah putri yang didirikan oleh Rahmah merupakan Diniyah Putri sangat terkungkung dan diawasi secara ketat, mempersiapkan murid-murid perempuan menjadi perempuan, dengan mengajarkan menenun, ilmu kerumahtanggan, dan membuat murid-murid mengetahui segala sesuatu dan memiliki rasa tanggung jawab. Diniyah putri membuka cabang di Jakarta pada tahun 1935 dengan membina tiga sekolah beberapa pedagang asal Minangkabau dan lulusan lembaga pendidikan agama di Padang Panjang.

Pada 1 Februari 1937, Rahmah membuka Kulliyyatul Mualimat el Islamiyyah (KMI) digunakan sebagai sekolah guru untuk putri dengan tempuh waktu tiga tahun.  Pada 1941 diniyah putri memiliki murid 500 murid, namun setelah penduduk Jepang mengusai bangsa Padang Panjang digunakan sebagai tempat perawatan korban kecelekaan, sedangkan cabang di Jakarta ditutup.

Pada 1947, dalam rangka menyesuaikan pembagian jenjang pendidikan yang ada di Indonesia, Diniyah Putri dibagi ke dalam diniyah rendah dan diniyah menengah pertama. Diniyah rendah setara SD dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan diniyah menengah pertama setara SLTP dengan lama pendidikan berdasarkan peruntukkannya. DMP-B dengan lama pendidikan empat tahun diperuntukkan bagi lulusan SD. Lulusannya disetarakan dengan SLTP dan dipersiapkan untuk melanjutkan ke KMI atau perguruan lanjutan lainnya.  Adapaun DMP-C dengan lama pendidikan dua tahun diperuntukkan bagi tamatan SLTP yang tidak sempat mendalami agama dan bahasa Arab pada jenjang pendidikan sebelumnya. Lulusan DMP-C dapat melanjutkan pendidikan ke KMI sebagaimana lulusan DMP-B


sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Rahmah_El_Yunusiyah