sumber foto: thisisgender.com

Menolak Tawaran Integrasi Pendidikan untuk Diniyah Putrinya

Rahmah El Yunusiyah, pahlawan perempuan yang berhasil mendirikan diniyah putri pertama kali di Indonesia, memang tidak banyak dikenal seperti halnya pahlawan perempuan lainnya. Namun sejarah tidak dapat berbohong bahwa Rahmah berhasil menorehkan tinta emas dalam dunia kependidikan. Ia juga mendapatkan gelar Syaikhah pada tahun 1957. Yang kali pertama dilakukan Universitas al Azhar Mesir berkat jasa-jasanya dalam bidang pendidikan terlebih bidang pendidikan perempuan.

Kiprahnya pada pendidikan membawa namanya banyak dikenal oleh berbagai kalangan. Rupannya Rahmah sering kali mendapatakan tawaran mengenai pendidikan yang ia dirikan, seperti halnya yang dilakukan oleh perwakilan Muhammadiyah mendatangi Rahmah dengan maksud agar pengelolaan diniyah putri diserahkan kepada Muhammadiyah. Namun Rahmah dengan tegas menolak dengan mengatakan, “tetap percaya kepada kekuatan yang diberikan Allah kepada dirinya sendiri,” ujar Rahmah.

Tawaran juga datang dari pemerintahan Hindia Belanda melalui Van Straten, sekretaris atau controleur Padangpanjang yang menawarkan kepada Rahmah agar Diniyah Putri didaftarkan sebagai lembaga pendidikan terdaftar agar dapat menerima subsidi dari pemerintah. Rahmah menolak, mengungkapkan bahwa Diniyah Putri adalah sekolah kepunyaan umat, dibiayai oleh umat, dan tidak memerlukan perlindungan selain perlindungan Allah. Menurutnya, subsidi dari pemerintah akan mengakibatkan keleluasaan pemerintah dalam memengaruhi pengelolaan Diniyah Putri.

Mahmud Yunus, salah seorang alumni Universitas Cairo melihat modernisasi sekolah agama terus berkembang, tetapi tidak ada keseragaman program atau buku standar yang digunakan. Kemudian ia membawa gagasannya untuk mengangkut seluruh organisasi Islam dan perguruan kedalam satu wadah tunggal yakni Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang pada saat itu memiliki kekuatan besar. gagasan tersebut disampaikan oleh Muchtar Lutfhi perwakilan Permi pada tahun 1931.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Masih sama dengan sebelumnya tekat bulat Rahmah tidak dapat digoyahkan. Ia menolak. Menurut Rahmah lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda, Jika terjadi sesuatu dengan wadah tersebut, tidak perlu pula seluruh sekolah yang dinaunginya bubar. Ketika Permi membentuk Dewan Pengajar untuk menyatukan sekolah Islam, Raham juga membuat wadah sendiri bagi pengajar diniyah putri yang bernamakan Perserikatan Guru-Guru Agama Putri Islam (PGAPI) pada 1933.

Membela Hak-hak Perempuan

Nama Rahmah yang kian meluas rupanya mendapatkan perhatian pemerintahan Hindia Belanda, sehingga para kolonial Belanda merencanakan memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar, yang berpengaruh pada sekolah yang tak memiliki izin akan ditutup. Hal tersebut ditolak, panitia penolakan di Padangpanjang tersebut dipimpin oleh Rahmah pada tahun 1933. Namun, sewaktu memimpin Rapat Umum Kaum Ibu Padangpanjang, ia dituduh membicarakan politik sehingga mengakibatkannya didenda 100 Golden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Putri. Tiga orang guru Diniyah Putri: Kanin RAS, Chasjiah AR, dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar.

Pada kongres perempuan Indonesia di Batavia pada tahun 1935, Rahmah menjadi perwakilan Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS). Dalam kongres ini, ia memperjuangkan hak penggunaan ciri khas budaya Islam dalam kebudayaan Indonesia seperti berjilbab dan berbusana perempuan. Ia juga menghadiri rapat umum Bukittinggi untuk menentang ordonansi kawin bercatatan pada tahun 1938. Pada tahun 1940, tercatat Rahmah mengakhiri undangan Kongres Persatuan Ulama seluruh Aceh di Kotaraja. Ulama Aceh memandangnya sebagai ulama perempuan terkemuka di Sumatra.

Ikut Berjuang Melawan Pejajajah

Tidak sekedar berkiprah dalam dunia pendidikan, Rahmah El Yunusiyah juga ikut adil dalam perjuangan melawan penjajah. Pada maret 1942 kedatangan tentara Jepang di Minangkabau merubah kehidupan rakyat, sehingga Rahmah memilih untuk ikut kegiatan Anggota Daerah Ibu (ADI) yang bergerak di bidang sosial dengan mengumpulkan bantuan makanan. Ia juga memberikan nasehat kepada penduduk untuk menyisakan segengam beras untuk diberikan kepada kalangan yang kekurangan. Begitu pula  dalam hal pakian, ia menginstruksikan kepada murid muridnya bahwa seluru taplak meja, kain pintu yang ada pada diniyah putri dijadikan untuk pakian penduduk. Rahmah bersama anggota ADI menuntut pemerintah Jepang untuk menutup rumah bordil dan menentang pengarahan perempuan Indonesia sebagai penghibur, tuntutan ini dipenuhi oleh pemerintah jepang dan tempat prostitusi di kota-kota di Sumatera Barat berhasil ditutup

Organisasi yang diikuti Rahmah kian membentang. Ia menjadi ketua Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perjuangan perwira yang terhimpun dalam Giyugun. Rahmah membawa sekitar 100 murid untuk diungsikan mengingat keadaan Padangpandang yang kian memanas karena serangan dari tentara Jepang. Selama pengungsian, ia menanggung sendiri keperluan pengungsian anak didiknya. Pada 23 Desember 1944 dan 11 Maret 1945 di Padangpanjang terjadi kecelakaan kereta api, rahmah menyediakan tempat perawatan korban di bangunan sekolah diniyah putri yang didirikannya. Dengan segenap peran itu, pada akhir kependudukan Jepang, sekolah diniyah putri mendapatkan penghargaan dari pemerintahan Jepang. Terlihat rahmah menjadi anggota Cuo Sangi In yang pada saat itu diketuai oleh Muhammad Sjafei  yang dibentuk oleh Jepang menjelang akhir kependudukannya.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Rahmah tercatat sebagai perempuan pertama yang mengibarkan bendera merah putih di halaman perguruan diniyah putri di Sumatra Barat setelah ia mendapatkan kabar dari Muhammad Sjafei. Kabar bahwa bendera merah putih telah dikibarkan di sekolahnya menjalar keseluruh plosok kota dan daerah Batipuh. Pada 5 Oktober 1945, Soekarno mengeluarkan dekret pembentukan Tentara Keamanan Rakyat. Pada 12 Oktober 1945, Rahmah menjadi pelopor berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk Padangpanjang dan sekitarnya.

Pernah Ditahan Belanda

Belanda melancarkan Agresi Militer yang kedua dan menangkap aparat pemuka Indonesia di Padangpanjang. Rahmah memutuskan untuk meninggalkan kota dengan bersembunyi di lereng Gunung Singgalang. Namun, berhasil tertangkap pada 7 Januari 1949 dan ditahan di Tahanan Wanita Padangpanjang. Kemudian ia dipindahkan di satu ruangan bekas SPG Negeri Putri Padangpanjang selama 3 bulan menjadi tahanan rumah (huis arrest), sebelum diringankan sebagai tahanan kota (stad arrest) selama lima bulan berikutnya.

Rahmah menghadiri Kongres Pendidikan II Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada Oktober 1949 dan Kongres Muslimin Indonesia yang diselenggarakan pada pada 20–25 Desember 1949. Kemudian Rahmah kembali pulang setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada Januari 1950, untuk memimpin Diniyah Putri setelah tiga belas bulan ditinggalnya. Kemudian ia bergabung dengan Partai Islam Masyumi. Dari Masyumi ini, ia terpilih menjadi anggota DPR mewakili Sumatra Barat. Ia banyak menyampaikan aspirasinya mengenai pendidikan dan pelajaran Islam, terutama bagi perempuan.

Dianugerahi Gelar “Syaikhah” oleh al Azhar Mesir

Imam Besar al Azhar, Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Indonesia. Dalam kesempatan itu, atas ajakan Muhammad Natsir, Syaikh Abdurrahman Taj melihat Diniyah Putri pada tahun 1955. Dalam kunjungannnya ia menyampaikan kekagumannya pada Rahmah atas pendirian perguruan Diniyah Putri, sementara al Azhar sendiri saat itu belum memiliki bagian khusus perempuan. Dua tahun setelah kunjungan dari Syaikh Abdurrahman Taj, ia berangkat ke Timur Tengah pada 1957. Usai menunaikan ibadah haji. Ia mengunjngi Mesir untuk memenuhi undungan Imam Besar al Azhar.

Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dari Universitas al Azhar. Pengeluaran gelar itu, merupakan kali pertama al Azhar memberikan gelar kehormatan “Syaikh” pada perempuan. Diniyah putri yang didirikan oleh Rahmah membawa pengaruh kepada pimpinan Universitas al Azhar untuk mengkhusukan bagian Universitas al Azhar putri pada tahun 1962. Selain mengunjungi Mesir, ia juga mengunjungi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Irak.

Setelah kembali dari kunjungan Timur Tengahnya, Rahmah memilih untuk kembali ke Padangpanjang untuk mengurus sekolah diniyah. Rahmah merasa bahwa Soekarno kini telah membawa arus kuat PKI. Menurutnya memimpin perguruannya akan lebih bermanfaat daripada duduk di kursi parlemen sebagai anggota DPR yang sudah dikuasai komunis. Setelah melewati masa-masa perpindahan yang dilakukan oleh Rahmah guna penggolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pada tahun 1961, dan kembali memimpin perguruannya setelah tiga tahun ditinggalkannya sejak pecahnya pergolakan PRRI.

Menjelang Akhir Hayat

Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pierngadi, Medan Pada 1964. Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju Kelantan menemui murid-murid Diniyah Putri yang ada di Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang menurun.

Pada usia 71 tahun Rahmah meninggal secara mendadak dalam keadaan berwudu hendak menunaikan shalat Maghrib  pada 26 Pebruari 1969. Sebelum wafat, Rahmah berpesan kapada Gubernur Sumatra Barat Harun Zain. Dalam pertemuan sehari sebelum meninggalnya, ia berpesan, “Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan diperhatikan Sekolah Diniyah Putri”.

Setelah Rahmah wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Dalam bukunya Islam dan Adat Minangkabau, Hamka menyinggung kiprah Rahmah di dunia pendidikan dan pembaru Islam di Minangkabau. Dalam sejarah Universitas al Azhar, baru Rahmah seoranglah menjadi perempuan yang diberi gelar Syaikhah oleh Universitas al Azhar. Wallahu ‘alam bi shoab


*Disarikan dari berbagai sumber oleh Nazhatuz Zamani