Sebagai penganut Mazhab Syafi’i tentu kita tidak asing dengan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Keduanya merupakan rumusan Imam Syafi’i dalam satu permasalahan tetapi hukumnya berbeda. Dari perbedaan hukum tersebut banyak yang menuduh Imam Syafi’i tidak konsisten dalam menetapkan hukum.
Benarkah Imam Syafii tidak konsisten sedangkan beliau merupakan salah satu pemimpin mazhab? Oleh karena itu, perlu rasanya kita mengetahui asal usul munculnya dua qaul di atas. Akan tetapi, alangkah baiknya kita mengetahui dahulu definisi dua qaul di atas sebelum beranjak ke pembahasan inti.
Pengertian Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Dalam pendefinisian dua qaul di atas antar ulama terdapat perbedaan. Di dalam kitab Najmu al-Wahhaj Ibnu Musa ad-Damiri menjelaskan, Qaul Qadim adalah rumusan hukum Imam Syafii ketika di Baghdad dan disebarkan oleh Abu Tsaur, Imam Hambal serta murid-murid beliau terdahulu. Sedangkan Qaul Jadid adalah hukum yang beliau cetuskan saat di Mesir dan disebarkan oleh murid-murid anyar beliau semisal Imam Muzani dan Imam Buwaithi.
Namun, dari definisi tersebut muncul pertanyaan, disebut apa rumusan hukum Imam Syafi’i saat masa perpindahan dari Baghdad ke Mesir? Maka dari itu beberapa ulama memberikan definisi berbeda.
Defini berbeda disampaikan Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Tuhfatu al-Muhtaj, Imam Ramli dalam Nihayatu al-Muhtaj dan Imam Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj. Ketiganya, dan diikuti beberapa ulama mutaakhirin mendefinisikan Qaul Qadim sebagai fatwa-fatwa Imam Syafii sebelum beliau memasuki mesir.
Sedangkan Qaul Jadid didefinisikan sebaliknya. Definisi di atas mencakup fatwa-fatwa Imam Syafi’i tatkala beliau berada di antara Baghdad dan Mesir selama masa perpindahan beliau.
Penyebab Munculnya Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Setelah mengetahui definisi dua qaul, sekarang saatnya kita membahas asal usul munculnya dua qaul di atas. Dalam karya susunan Muhammad bin Umar bin Ahmad Al-Kaf yang berjudul “al-Mu’tamad ‘Inda asy-Syafiiyah” disebutkan, ada tiga faktor utama munculnya dua Qaul.
Pertama, perpindahan daerah. Perpindahan Imam Syafi’i dari Baghdad ke Mesir yang kondisi geografisnya berbeda memunculkan hukum permasalahan yang berbeda pula.
Kedua, penyusunan ulang hasil ijtihad. Ketika Imam Syafi’i rampung membukukan rumusan hukum, beliau akan membukukan ulang ijtihad beliau setelah merevisi ijtihad beliau yang pertama. Pada masa ini lah muncul rumusan hukum berbeda yang dikeluarkan oleh Imam Syafi’i.
Ketiga, murid terdahulu tidak ikut pindah. Saat Imam Syafii hengkang dari Baghdad, murid-murid beliau memilih untuk tetap di Baghdad dan menyebarkan ilmu di sana. Ketika berada di Mesir Imam Syafi’i mendapatkan murid baru dan memfatwakan hukum baru hasil ijtihad beliau, kemudian disebarkan oleh mereka.
Hal itu lahyang memicu munculnya dua golongan di Mazhab Syafii, ‘Iraqiyun (ulama Irak) dan Misriyun (ulama Mesir). Akhirnya dua qaul muncul karena antar dua golongan tersebut saling meriwayatkan rumusan yang berbeda dan cenderung kontradiktif.
Apakah Qaul Qadim Diakui dalam Mazhab Syafii?
Ulama Syafiiyah, pengikut Imam Syafi’i, bersepakat bahwa Qaul Qadim tidak diakui sebagai mazhab Syafi’i serta tidak boleh kepada Imam Syafii, karena pendapat tersebut sudah dicabut.
Imam Nawawi memberikan statement mengenai hal tersebut dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab:
كُلُّ مَسْأَلَةٍ فِيهَا قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَدِيمٌ وَجَدِيدٌ فَالْجَدِيدُ هُوَ الصَّحِيحُ وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ لِأَنَّ الْقَدِيمَ مَرْجُوعٌ عَنْهُ
“Setiap masalah yang mengandung qaul qadim dan Qaul Jadid, maka Qaul Jadid yang benar dan wajib diamalkan, karena Qaul Qadim sudah dicabut.”
Meskipun demikian, ulama mengecualikan beberapa permasalahan mengenai hal ini. Sekitar 20 permasalahan atau lebih dalam Qaul Qadim yang tetap bisa diamalkan. Hal ini dikemukakan Imam Nawawi setelah menyebutkan redaksi di atas:
وَاسْتَثْنَى جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا نَحْوَ عِشْرِينَ مَسْأَلَةً أَوْ أَكْثَرَ
“Beberapa Ulama mengecualikan 20 permasalahan dari pertentangan Qaul Qadim dan Qaul Jadid.”
Dari penjelasan yang sudah ada, hukum fikih yang dirumuskan oleh para ulama zaman dahulu sangat memungkinkan untuk berubah. Bisa jadi disebabkan perbedaan kondisi lingkungan dan budaya antar daerah, perbedaan proses pemikiran dalam menanggapi sebuah permasalahan, dan yang lainnya.
Munculnya dua qaul bukan bukti bahwa Imam Syafi’i inkonsisten dalam merumuskan hukum, melainkan bukti bahwa Imam Syafi’i senantiasa meningkatkan keilmuannya.
Sumber: Kitab al-Mu’tamad ‘Inda asy-Syafiiyah
Ditulis oleh Muhammad Abror S, Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo