Mengukur kemampuan diri terhadap suatu hal sangatlah penting dalam kehidupan. Terutama kasus sosial yang tak pasti kapan ia datang, dan kapan ia pergi dan menghilang. Membahas tentang sebuah kemampuan. Sebenarnya, kekurangan ataupun kelebihan tidak dapat dijadikan sebuah sorotan, supaya pekerjaan kita terasa maksimal. Harus ada keterlibatan dengan orang lain, yang berguna sebagai pembanding. Agar terdapat sebuah power terhadap kekurangan mana yang harus kita benahi. Karena, dari situlah kita dapat memperbaiki IQ kita dengan cara problem solving atau menyelesaikan sebuah permasalahan.
Ketika kita diberi tugas oleh dosen untuk menyelesaikannya, dan berunjung tidak bisa ataupun tidak bisa menyelesaikannya. Bukan berarti hal tersebut menjadikan kita down karena standart kemampuan kita. Jika kemampuan yang menjadi tolak ukur untuk mengerjakan sesuatu, lalu bagaimana ketika terdapat sebuah masalah yang sangat jauh di luar dugaan kita. Bukankah Tuhan memberi cobaan terhadap hambanya sesuai standar kemampuannya?
Nah, jika membandingkan diri dengan orang lain dianggap berbahaya. Lantas, apa yang yang kita pikir pasti akan terpaku pada satu sisi saja, dan kapan kita mau beralih ke sisi berikutnya jika tidak membandingkan diri dengan orang lain. Jika ada seseorang bisa melakukan kegiatan A, sedangkan kita hanya bisa melakukan kegitan B. Kenapa kita tidak mau mencoba kegiatan A atau sebaliknya. Apakah karena kemampuan?
Menanamkan rasa percaya diri itu sangat penting, apalagi sejak dini. Karena, ketika hidup hanya mengikuti arus. Lalu, apa bedanya dengan pasrah terhadap takdir. Namun, jika kita kita melawan arus bukan berarti kita melawan takdir. Melainkan, pembuktian terhadap dunia. Bahwa, apa yang telah ditakdirkan untuk kita. Ternyata, kita masih bisa untuk melakukan hal-hal yang lain.
Semisal, ada seseorang yang mempunyai satu tangan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ia tidak mampu untuk melakukan aktivitas yang semestinya dilakukan oleh dua tangan. Seperti: bersepeda, memakai sarung, dan masih banyak lagi. Tetapi, mengapa kita masih menemui hal-hal tersebut di luar sana?
Jika masih membatasi diri terhadap kemampuan, lalu kapan kita mencoba hal-hal baru yang kita inginkan. Ambil contoh, kita mau mengerjakan aktivitas A. Sedangkan menurut orang lain kita mustahil untuk melakukannya. Sekarang tengok Jendi Panggabean Akmal, atlet renang dengan satu kaki. Ia berhasil mengharumkan Negara Indonesia dengan medali-medalinya. Bukan karena kemampuan yang ia miliki, melainkan kerja keras yang ia lakukan.
Memaksakan diri terhadap sesuatu yang asalnya tak mampu untuk kita kerjakan. Bukan berarti kita tak mampu untuk menjalaninya. Semisal, saat kecil kita dilatih untuk berjalan. Padahal di usia sedini itu apakah mungkin bagi balita untuk berjalan? Toh semua orang akan mengatakan tidak. Tapi, mengapa seiring berjalannya waktu balita tersebut malah terbiasa? Semuanya akan kembali terhadap kebiasaan sekaligus bimbingan.
Pun ketika ada dosen memberikan tugas, bukan berarti ia menginginkan agar kita menyelesaikan dengan hasil cumlaude. Sebenarnya, yang dinginkan oleh dosen ialah seberapa pemahamanmu tentang teori yang telah kamu pelajari. Sehingga, dosen bisa mengetahui celah-celah yang belum kamu pahami. Kok, kita dimarahi atau apapun itu, risiko untuk setiap personal.
Satu sisi lain, yang dihargai orang lain ialah usaha, bukan hasil. Tuhan saja menciptakan langit dan bumi masih membutuhkan waktu tujuh hari, mengapa hambanya tidak? Sekarang begini, saat sekolah, guru menuntut siswa untuk selalu hadir. Tapi, mengapa ketika berada di universitas mahasiswa menuntut dosennya untuk selalu hadir? Mahasiswa bukanlah siswa yang harus dimanja pelajarannya. Melainkan, kemandirian itulah yang harus ditanamkan.
Difabel Bukan Aib
Sebenarnnya, kemampuan tidak memicu terhadap kesanggupan seseorang untuk melakukan hal-hal yang ia mampu. Difabel pun berhak untuk merasakan dan mencoba apa yang dilakukan oleh orang lainnya. Terbukti dengan berbagai macam orang yang kita temui di berbagai daerah, dan lainnya.
Sebagaimana Abdullah bin Masud dengan badannya yang kurus, Abdullah bin Maktum dengan kondisi penglihatan yang tidak berfungsi, juga Amru bin Jamuh dengan kondisi kakinya yang pincang. Namun mereka semua masih diberi kesempatan untuk mengikuti perang bersama Rasul.
Pertama, Abdullah ibn Mas’ud, seorang penggembala yang sangat jujur dengan postur tubuh yang sangat kurus. Hingga Ia menjadi salah satu penafsir ternama di kalangan para sahabat. Dengan keterbatasan fisiknya, beliau tetap berusaha menggapai ridha Allah dengan ikut perang Badar. Meskipun secara syariat beliau sah-sah saja tidak turut serta dalam perang.
Kedua, Abdullah ibn Ummi Maktum yang menyandang tuna netra. Membahas fisik beliau, bagaimana mungkin seorang yang buta ikut berperang? Ibnu Ummi Maktum tak habis akal. Ia mengambil inisiatif menggunakan pakaian hitam-hitam menyelinap ke medan perang sambil mengahambur-hamburkan pasir ke arah musuh. Memang hanya itu kemampuan tempur penyandang tuna netra yang berharap terdaftar sebagai junudullah (tentara Allah).
Terakhir, ada Amr ibn al-Jamuh, salah satu sahabat nabi yang memiliki keterbasan fisik pada kakinya (pincang), namun memiliki keuletan luar biasa dalam berbisnis. Sehingga ia memberikan hartanya untuk agama Allah tanpa pikir panjang sedikitpun. Tapi ia tidak puas dengan amal-amal materialnya. Beliau ingin ikut andil menjadi tentara Allah dalam perang badar.
Lalu ia sowan kepada Nabi dengan kaki yang terseok-seok, supaya memperbolehkannya ikut berperang. Mendadak anak-anak beliau berdatangan meminta agar Rasul tidak mengizinkannya perang. “Ya Rasul, ayah saya ini tidak memenuhi syarat perang. Tolong jangan diizinkan,” kata anaknya. Kala itu Nabi berpandangan melalui kacamata syariat, dan beliau memutuskan tidak memberi kesempatan Amr ibn al-Jamuh berperang.
Berikutnya pada kesempatan perang Uhud, Amr ibn al-Jamuh mendatangi rasul untuk izin perang yang kedua kalinya. Tidak ingin keinginannya ditolak, akhirnya ia memberi pernyataan yang menohok Rasul. “Ya Nabiyallah. Apakah surga tidak boleh diinjak oleh kaki yang pincang begini?” tegasnya. Tiba-tiba anaknya juga datang untuk menghimbau Rasul supaya tidak memperbolehkannya. Namun kali ini Nabi tidak memandang dengan kacamata syariat. Alhasil Amr ibn al-Jamuh diizinkan berperang.
Begitu mendapat izin dari Rasul, seketika itu Amr ibn al-Jamuh berdo’a;
اللهَمَّ لاَتُرْجِعْنِيْ خَسَارَا
“Ya Allah, jangan pulangkan hamba sebagai orang yang merugi”
Sekilas, nampak keinginannya dari doa itu agar ia menjadi syahid. Akan tetapi, sebenarnya ia berharap kemenangan atas apapun yang terjadi padanya. Ketika nanti perang tersebut membawa kemenangan dan ia masih hidup, maka itu adalah amal jariyah baginya. Pun jika nanti ia gugur dalam medan perang ia tetap menang dihadapan Allah. Dan nyatanya Allah memberi kesempatan kepadanya menjadi syahid pada perang itu.
Ditulis oleh Moehammad Nurjani,Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo