Seminar nasional dalam rangka memperingati Haul ke-13 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di Pesantren Tebuireng pada Rabu (21/12). (Foto: Devi/to)

Tebuireng.online— Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Prof. Masdar Hilmy, menjadi salah satu pemateri dalam seminar nasional memperingati haul ke-13 KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) di gedung Yusuf Hasyim Pesantren Tebuireng, Rabu (21/12/2022).

Dalam seminar tersebut, Prof. Masdar Hilmy mengatakan kalau moderasi beragama adalah hal yang baru lahir kemarin, “moderasi beragama itu semacam bid’ah yang baru ditemukan kemarin. Sedangkan Gus Dur itu lebih luas dari sekedar moderasi beragama,” ungkapnya.

Hal itu menurutnya terjadi dalam hal pemikiran, tindakan, dan praktik tentang moderasi beragama itu sudah selesai sekalipun Gus Dur tidak pernah mengatakan kalau itu adalah moderasi beragama.

“Pembicaraan moderasi baru diseriusi ketika era Pak Lukman Saifuddin Zuhri. Dengan ini kita patut bangga bahwa santri-santri yang masuk ke jajaran menteri telah memberikan gagasan dan kebijakan yang turut menjaga keutuhan NKRI,” imbuhnya.

Gagasan pertama adalah gagasan tentang toleransi beragama. Hal ini dibuktikan ketika tahun 80-90an Gus Dur sudah terlibat dalam lintas agama baik kegiatan seminar atau dialog. Bukti lain bahwa Gus Dur peduli kaum minoritas ialah Gus Dur berani pasang badan untuk membela minoritas karena Gus Dur dilahirkan untuk menjadi tumbal sejarah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Beliau tidak butuh pujian dari manusia, dia hanya meminta ridho dari Allah,” tegasnya.

Selain itu, lanjut Prof. Masdar, gagasan kedua tentang moderasi beragama atau agama tanpa kekerasan. Moderasi beragama memiliki 4 indikator, yaitu pertama: toleransi beragama. Kedua, agama nir kekerasan (tanpa kekerasan).

“Gus Dur memiliki gagasan bahwa Islam itu bi makna salamah yakni damai dan misi Islam sebagai rahmatan lil alamin dan ditopang dengan praktik-paktik yang beliau lakukan. Gagasan kontroversialnya ialah membuka diplomasi dengan Israel. Gus Dur mengajarka jika ada banyak jalan menuju kedamaian,” tambahnya.

Lalu, gagasan yang ketiga yaitu wawasan kebangsaan. Hal ini dibuktikan dengan kiprah Gus Dur ketika beliau mengantarkan Khittah NU pada Muktamar Situbondo 1984 menunjukkan kematangan dan paripurna pemikiran Gus Dur.

Kemudian gagasan keempat adalah akomodatif terhadap tradisi atau budaya lokal. “Beliau juga melontarkan gagasan tentang pribuminisasi Islam. Namun di sisi lain masyarakat belum siap. Di saat orang pengen ke arab-arab an Gus Dur mengeluarkan gagasan pribumisasi islam,” imbuhnya.

Selain gagasan-gagasan di atas, menurut Prof. Masdar Hilmy, Gus Dur punya watak progresif tapi tidak terlepas dari identitas kultural sebagai masyarakat pesantren.

Untuk diketahui, acara ini dilaksanakan kolaborasi antara Ikatan Alumnui Pesantren Tebuireng (IKAPETE) dan Ikatan Alumni Universitas Hasyim Asy’ari (IKA UNHASY). Selain Prof. Masdar Hilmy, hadir juga  Dr. Kiai Ngatawi al-Zastrow, dan M. Mas’ud Adnan, yang menjadi narasumber.

Pewarta: Devi Yuliana