Tebuireng.online- Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, M.Si. menjadi narasumber dalam acara Seminar Nasional Peringatan Haul Ke-1 KH. Salahuddin Wahid, yang diselenggarakan oleh Tebuireng Initiatives dengan mengangkat tema “Memadukan Keberagaman, Bangsa Termajukan” pada Sabtu, (06/02/21) lewat aplikasi Zoom.

Dalam seminar ini Prof. Haedar mengungkapkan Keprihatinan Gus Solah, dalam menyambung mata rantai pasca Islam dari pendiri Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, disampaikan saat pernah haji bersama. “Saya terakhir menunaikan ibadah haji bersama beliau (Gus Sholah) dan juga Bu Ida, merasakan betul betapa keprihatinan Gus Sholah dalam menyambung mata rantai wasathiyyatul Islam dari para pendiri NU dan Muhammadiyah ini, selalu menghadapi masalah dan tantangan yang tidak sederhana. Tapi selalu ada optimisme bahwa para penerus organisasi besar ini punya ruh, api, dan ghirrah untuk terus mewujudkan cita-cita Islam yang bersifat wasathiyyah,” ucap Prof. Haedar.

Menurutnya, karakter sosiologi masyarakat Indonesia dalam menghadapi fanatisme beragama adalah pemahaman fanatik buta. “Fanatisme beragama merupakan bagian dari keyakinan untuk meyakini Islam atau agama secara mendalam dan luar. Secara otentik sebenarnya sah-sah saja, akan tetapi keyakinan tentang kebenaran agama dipahami secara parsial dengan pemahaman yang serba bayani, dan bayani pun tekstual yang parsial, tidak ada memahami dalam ayat, tidak mencoba mencari hubungan antara ayat, maka yang terjadi adalah pemahaman tentang fanatik buta,” penjabaran Ketua Umum Muhammadiyah periode 2015-2020 ini.

Prof. Haedar mengatakan, bahwa Islam yang diyakini secara benar semestinya ada di dalam perspektif bayani dan irfani yang mendalam, multiperspektif, luas. Maka keyakinan tentang Islam itu tidak menimbulkan fanatik buta atau ekstrem dan yang bertentangan dengan Islam itu sendiri.

Kelompok masyarakat yang terkena konflik, lanjutnya, dalam satu periode tidak akan berakhir, maka akan beranggapan itu adalah musuh. Konflik yang terjadi di masa lalu diproduksi ulang oleh generasi baru. Sering kita terjebak dalam fanatik buta. Pertama, karena pemahaman yang dangkal. Kedua, tidak multytask. Ketiga, faktor traumatik dalam beragama serta faktor politik baik dalam kepentingan, maupun politik dalam ideologi, terakhir ruang sosial lebih besar dalam skala global maupun secara nasional.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Karakter umat Islam secara sosiologis bersifat moderat, Islam Nusantara itu perbedaan kultur bangsa yang cukup tinggi antara suku satu dengan yang lain,” ucapnya.  

Islam datang secara damai, orang Indonesia menjadi sikap tengahan, toleran, gotong-royong. Kemudian muncul gerakan-gerakan adanya Serikat Islam, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama yang memiliki beda visi, misi, dan strategi, akan tetapi semuanya sama-sama memiliki tasamuh tinggi. Menoleh pada dua tokoh ulama besar (KH. Hasyim Asy’ari dan KH. A. Dahlan) yang sama-sama belajar pada satu daerah yang sama.

Prof. Haedar menyampaikan bahwa di era setelah reformasi, muncul pergerakan-pergerakan Islam baru yang sudah meluas dan sulit dikontrol, banyak politik keislaman sehingga menyebabkan kemunculan paradigma baru, dan ekstrem baru yang kemudian memberikan corak Islam keras, maka perlu dihadapi dengan jiwa wasathiyah. “Radikalisme beragama itu tidak perlu dilawan dengan cara radikal,” pungkasnya.

Pewarta: Qona’atun Putri Rahayu