Santri Tebuireng saat Apel HSN.

Oleh: Dimas Setyawan Saputra*

Melalui Keppres nomor 22 Tahun 2015, Presiden Jokowi menetapkan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015. Penetapan Hari Santri Nasional tersebut tidak luput dari kritikan berbagai pihak. Pasalnya, penetapan hari santri, berlangsung di tengah serbuan kabut asap yang tak kunjung reda. Sehingga beberapa pengamat beranggapan, penetapan hari santri tidak benar-benar diperlukan di situasi saat itu.

Selain itu, terdapat golongan yang tidak setuju dengan penetapan hari santri yang dengan mempertimbangkan akan memunculkan cemburu sosial antar kelompok, yang mana hal itu disampaikan oleh organisasi keislaman Muhammadiyah.

Prof. Haidar Nashir, Ketua Umum Muhammadiyah melalui surat keputusan PP. Muhammadiyah No. 482/1.0/8/2015 menegaskan bahwasanya, Muhammadiyah secara resmi berkeberatan dengan hari santri. Menurutnya, Muhammadiyah tidak ingin umat Islam makin ter polarisasi dalam kategorisasi santri dan non santri. Hari santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa. Padahal, selama ini, baik santri-non santri makin mencair dan mengarah konvergensi. Ungkapnya sebagaimana dikutip oleh Republika.

Bahkan ia juga menambahkan penetapan hari santri nasional hanya di tunjukan oleh satu golongan saja, yakni Nahdlatul Ulama NU. Sehingga seakan-akan pemerintah hanya mengatasnamakan NU saja, dan mengabaikan ormas lainnya yang telah memberikan kontribusi terhadap Negara Indonesia

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Terlepas atas kritikan yang silih berganti datang dalam mengomentari hari santri pada 22 Oktober, alangkah baiknya kita melihat dari sisi positif mengapa di tetapkannya hari santri tersebut. Penulis memiliki lima pendapat atas nilai positif tersebut yakni;

Pertama, Hari santri nasional sebagai pemaknaan sejarah Indonesia yang genuine dan authentic yang tidak terpisahkan dari episteme bangsa. Bahwasanya bangsa Indonesia tidak hanya dibangun dengan senjata, darah, dan air mata, tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri religius yang berdarah merah putih. Seperti para tokoh nasional dari kalangan santri yakni, KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama), KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), KH. A. Hassan (Persis), Ahmad Soorkati (Al-Irsyad) dan lainnya.

Kedua, nilai yang terkandung dari penetapan hari santri adalah, terkait sosio politik yang mana menginformasi kekuatan relasi Islam dan negara. Indonesia dapat menjadi model dunia tentang hubungan Islam dan negara.

Ketiga, meneguhkan persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan bersejarah dalam ormas Islam dan parpol yang berbeda, perbedaan melebur dalam kesantrian yang sama.

Keempat, menegaskan distingsi Indonesia yang religius yang demokratis di tengah kontestasi pengaruh ideologi agama global yang cenderung ekstrem radikal.

Kelima, menjadikan santri sebagai sosok yang memiliki nilai nasionalisme dalam mencintai tanah air.

Dari kelima poin tersebut diharapkan penetapan hari santri, membentuk sinergi antara santri, kiai, dan pesantren dengan pemerintah dan mendorong komunitas santri ke poros peradaban Indonesia.

*Almunus Mahad Aly Haysim Asy’ari.