ilustrasi: tebuirengonline

Oleh: Dimas Setyawan Saputra*

Gerakan-gerakan pesantren, kiai dan santri terus berlanjut pada periode-periode selanjutnya. Pada masa awal abad 20 tercatat nama seperti KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri yang tampil dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Mereka bergerak dalam satuan kemiliteran bernama “Laskar Sabilillah” yang terlahir dari rahim Laskar Hizbullah. Puncaknya, dalam gerakan kebangsaan yang dilakukan oleh pesantren, kiai dan santri ialah dengan seruan Resolusi Jihad yang difatwakan oleh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari 22 Oktober 1945.

Setelah Jepang menyerah pada sekutu, Belanda berpikir bahwa Hindia Belanda harus kembali ke tangannya. Pada akhir September 1945 tentara Belanda kembali ke Indonesia untuk memulihkan kekuasaan. Mereka ndompleng di dalam tentara Sekutu sebagai pihak yang mengalahkan Jepang karena Belanda adalah bagian dari Sekutu. Mereka berlindung di balik NICA (Nitherlands Indie Civil Administration).

Langkah Belanda itu tidak luput dari perhatian para ulama yang bergabung dalam wadah Nahdlatul Ulama (NU). Berdasarkan pengamatan itu, para ulama NU merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu yang diperlukan dalam upaya membela Negara Republik Indonesia, khususnya TNI yang baru berdiri. Musyawarah tersebut mengeluarkan sebuah fatwa yang dinamakan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945”.

Resolusi itu memberi fatwa untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Yang mana ditunjukkan kepada seluruh laki-laki Islam yang sudah dewasa dan bertempat tinggal dalam radius 94km dari Kota Surabaya untuk berjihad membantu TNI bertempur melawan Belanda. Mereka yang gugur dalam pertempuran itu akan menjadi syuhada (mati syahid) yang ganjarannya adalah surga.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hal ini juga yang secara tidak langsung menyulut semangat para santri dari segenap pondok pesantren khususnya daerah Jawa Timur. Mendadak pesantren-pesantren menjadi basecamp tempat berkumpul baik dari kalangan santri maupun masyarakat awam, yang saling bahu membahu untuk berperang memperebutkan kembali kemerdekaan Indonesia.

Dengan semangat berjihad, ribuan muslimin tanpa kenal takut bertempur melawan tentara Belanda dan Inggris di Surabaya pada 10 November 1945. Tanggal itu lalu ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran melawan Belanda dan Inggris itulah satu-satunya jihad fisik (berperang) yang pernah difatwakan oleh jumhur ulama Indonesia.

Jauh dari fatwa resolusi jihad, sebenarnya KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari terlebih dahulu telah memberikan semangat jihad kepada santri-santrinya melalui pendekatan Hadis Nabi Muhammad SAW. Menurut Dr. Muhammad Anang Firdaus, dalam artikel yang ia tulis di media Alif.id bahwasanya Hadis yang digunakan oleh KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari untuk menanamkan semangat jihad kepada para santrinya, berbunyi;

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

Artinya: “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat, puncaknya yang tertinggi adalah jihad.” (HR. Tirmidzi no. 2616. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini Hasan Shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari mencoba untuk menjelaskan kepada santrinya betapa pentingnya arti jihad di dalam menegakkan dan mempertahankan agama Islam. Hadis ini menjadi salah satu landasan mengapa kaum santri diharuskan jihad untuk meraih kemerdekaan Indonesia. Konsep perjuangan yang diajarkan KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari tidak pernah tercabut dari akar keislaman yang kokoh. Spirit yang diusung adalah spirit yang berorientasi nubuwah.

KH. Hasyim Asy’ari membangun fondasi perjuangan secara doktrin dengan menjadikan perjuangan Nabi Muhammad menjadi role modelnya. KH. Muhammad. Hasyim Asy’ari memberikan pemahaman kepada para santri-santrinya bahwa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari bentuk meneladani perjuangan Nabi Muhammad saat ingin menaklukkan kota Makkah.

*Santri Tebuireng.