Sumber: serambimata.com

Oleh: Luluatul Mabruroh*

Muwâlâh secara etimologi bermakna cinta. Maka siapapun seseorang yang dicintai dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan apapun disebut dengan Muwâlâh. Al-wilâyah (kecintaan) lawan katanya adalah Al-‘adâwah (permusuhan). Ringkasnya, al-muwâlâh atau al-walâ’ (loyalitas) adalah mencintai, menolong serta mengikuti. Lafad tersebut diungkapkan untuk menjelaskan kedekatan seseorang kepada sesuatu.

Sedangkan Mu’âdâh memiliki makna memusuhi dan menjauhi. Makna tersebut identik dengan perasaan yang tersimpan kuat dalam hati untuk membalas dendam ataupun memberikan mudharat kepada orang lain.

Adapun arti muwâlâh dan mu’âdâh secara syar’i, pada dasarnya arti muwâlâh adalah cinta sedangkan mu’âdâh adalah benci. Kemudian dari makna keduanya berkembang amalan-amalan yang bersifat hati maupun anggota tubuh yang masuk dalam hakikat makna muwâlâh dan mu’âdâh, seperti menolong, mengasihi, membela, jihad dan hijrah. Jadi makna muwâlâh adalah mendekati sesuatu dengan cara berucap, berbuat, dan niat. Sedang mu’âdâh memiliki makna sebaliknya.

Dari kedua makna tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa seorang muslim sepantasnya mencintai karna Allah dan benci karena-Nya.  artinya cinta dan loyal terhadap kaum mukminin, dan benci terhadap kaum musyrik dan kafir serta bara’ (berlepas diri) dari mereka. Akan tetapi dalam hal ini terdapat pengklasifikasian secara khusus bagi orang yang mendapat loyalitas secara mutlak dan bagi orang yang mendapat bara’ secara mutlak maupun hanya sebagiannya saja.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat dan beriktikad bahwa muwâlâh dan mu’âdâh  termasuk prinsip yang penting yang memiliki kedudukan yang agung dalam syari’at. Ahlussunnah wal Jama’ah mengklasifikasikan manusia dalam masalah muwâlâh dan mu’âdâh menjadi tiga :

Pertama: orang yang berhak mendapat wala’ (loyalitas) secara mutlak adalah kaum mukminin yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan mendirikan syi’ar-syi’ar agama. Serta ikhlas dalam mengerjakannya.

Kedua: orang yang berhak mendapat wala’ (loyalitas) dari satu segi dan bara’ (kebencian) dari segi yang lain. Diantara  mereka adalah orang muslim yang bermaksiat, melalaikan kewajiban dan mengerjakan hal-hal yang diharamkan namun tidak sampai kepada kekufuran, mereka wajib dinasehati dan mengingkari perbuatan maksiatnya. Dengan demikian orang muslim wajib mengingkarinya dan mencegahnya dengan perbuatan, jika tidak mampu, maka dengan ucapan, dan bila tidak mampu dengan ucapan cukup dengan hati. Namun hal tersebut merupakan paling lemahnya iman.

Ketiga: orang yang berhak mendapat bara’ secara mutlak adalah orang musyrik dan kafir, baik dia Yahudi, Nasrani, Majusi, ataupun penyembah berhala. Hukum ini juga berlaku atas setiap muslim manapun yang melanggar batas syari’at yang mampu mengeluarkan dirinya dari agama Islam.

Sedangkan orang kafir yang tidak wajib diperangi dan tidak melakukan sesuatu yang dapat memberikan pengaruh buruk pada lingkungannya menurut hemat penulis masuk pada kategori orang yang berhak mendapat bara’ dari satu sisi sebab kekufurannya dan ia juga berhak mendapat wala’ dari segi yang lain sebab tidak memerangi ataupun memusuhi kaum muslimin dan tidak berbuat sesuatu yang dapat memberikan dampak buruk bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Wallahu A’lam.


Disarikan dari buku: Intisari Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah karangan ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Hamid al-Atsari.


*Mahasiswi Unhasy dan santri Pesantren Putri Walisongo Cukir