Sumber gambar: www.google.com
  • Judul: Samudera Kezuhudan Gus Dur, Sang Guru Bangsa, Sang Sufi dalam Kesehariannya
  • Penulis: KH. Husein Muhammad 
  • Penerbit: Diva Press
  • Tahun: 2019
  • Tebal: 300 hlm
  • ISBN: 978-602-391-733-4
  • Peresensi: Muhammad Masnun*

Sudah begitu banyak buku biografi KH. Abdurrahman Wahid, namun baru buku karya KH. Husein Muhammad ini yang membahas tentang kesufian Gus Dur. Buku yang ditulis untuk memperingati 1000 hari wafatnya Gus Dur ini mampu menampakkan sosok Gus Dur lebih dekat melalui para bijak bestari yang pernah dikutip olehnya dalam forum resmi maupun bincang santai. 

Orang bermanfaat ketika masih hidup ataupun ketika sudah wafat akan tetap memberikan dampak positif bagi orang di sekitarnya. Beliau oleh beberapa orang disejajarkan dengan Walisongo. Bahkan bisa lebih dari itu, mengapa? Karena yang menziarahi makamnya bukan hanya umat muslim. Konghuchu, Kristen, Katolik, maupun Budha turut menziarahi makam Gus Dur. Dalam hal ini sudah diramalkan sejak awal buku ini ditulis, Gus Dur akan menjadi sosok yang dimitoskan satu atau dua abad ke depan (hlm. 55). Dan sekarang sudah terbukti, makamnya setiap hari ramai dikunjungi umat manusia. 

Tidak ada kasta dalam proses ziarah makam. Semua setara, tidak dipandang dari agama, ras, suku, warna kulit, ataupun kekayaan. Begitu terasa suasana egaliter di kawasan pemakaman. Makam adalah tempat paling tenang untuk mencurahkan kegundahan hati dari hiruk pikuk dan carut-marut kehidupan dunia (hlm. 244). Tempat paling tenang untuk melakukan kontemplasi. Walaupun beberapa ulama ada yang mengharamkan ziarah, namun berziarah merupakan tempat paling kuat untuk mengingatkan akan kematian. Apa saja bekal yang bisa bisa dibawa ketika seseorang mati.

Predikat Bapak Pluralis yang diberikan kepada Gus Dur tidak berdasarkan banyak bicara tentang pluralis beserta dalilnya, namun beliau jauh lebih banyak mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau pun ditanya dalil, beliau mengutip Al Qur’an surat al-Hujuraat ayat 13. Dalam ayat tersebut, makna li ta’arafu (saling mengenal) tidak hanya sekadar mengenal nama, alamat, nomor telepon, ataupun wajah seseorang. Maknanya lebih mendalam, yakni menjadi arif, bijaksana, dan rendah hati satu sama lain. (hlm. 107)

Begitu banyak orang yang datang ke makam Gus Dur merupakan salah satu tanda bahwa Allah Swt mencintainya, tentu saja karena Gus Dur telah mencintai-Nya dan segala ciptaannya. Kiai Husein sendiri menyebut Gus Dur dengan Sang Sufi Besar atau Sang Zahid (hlm. 64). Sufi adalah orang yang mempraktikkan prinsip tasawuf yang seluruh gerakannya hanya karena Allah Swt. 

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Salah satu tanda kesufiannya adalah setiap Gus Dur menerima amplop, ia tidak pernah membukanya dan tak pernah bertanya jumlah isinya. Ia juga tak pernah menceritakan rezeki yang didapatnya, kecil ataupun besar itu (hlm. 183). Oleh karena itu Gus Dur sering tak punya uang. Dia lebih perhatian terhadap orang yang membutuhkan di sekitarnya.

Gus Dur di hari Sabtu mengaji kitab kuning dengan berbagai varian seperti tata bahas Arab, sastra klasik, tasawuf, ushul fikih, dan kaidah kaidah fikih (al-qawaid al-fiqhiyah). Kitab tasawuf yang dibacakan Gus Dur di bulan Ramadan adalah Al-Hikam al-‘Athaiyyah karya Ibnu Athaillah as-Sakandari dan Al-Insan al-Kamil karya Abdul Karim al-Jili. Selain dua kitab utama itu, ada kitab Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Ar-Risalah al-Qusyairiyah karya Abu al-Qasim al-Qusairi, dan tentunya Ihya’ Ulumuddin karya Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Tulisan yang begitu renyah dari Kiai Husein ini membuat pembaca serasa begitu dekat dengan Gus Dur. Begitu jelas cerita tentang sikap Gus Dur dalam kesehariannya, tidurnya, kebiasaan di rumahnya, maupun ketika sakit. Setiap pagi di rumahnya tak luput dari lantunan ayat suci Al Qur’an. “Gus Dur sendiri yang meminta kaset Al Qur’an itu diputar saban pagi, usai shalat subuh,” kata Bu Shinta.‎ (hlm. 133)

Buku ini terbagi menjadi 14 Bab. Hampir di semua Bab mengandung ayat Al Qur’an, hadis, ataupun syair-syair. Tokoh sufi yang dipakai sebagai pendekatan diantaranya Ibnu Athaillah as Sakandari, Muhyiddin Ibnu Arabi, Maulana Jalaluddin Rumi, Ali bin Abi Thalib, Husein Mansur al-Hallaj, Imam Abu Hamid al-Ghazali, Hafizh asy-Syirazi, Sa’di asy-Syirazi, maupun Fariduddin al-Atthar.

‎‎Pendekatan sufistik oleh Kiai Husein ini sangat bagus untuk menambah khazanah biografi Gus Dur dan memang perlu untuk diungkap. Pengajian kitab sufi yang dilakukan di rumah atau masjidnya merupakan salah satu bukti autentik atas dalamnya ketasawufan Gus Dur. ‎Orang yang memiliki hati yang bersih pastinya tidak akan membiarkan ilmunya tidak teramalkan, Gus Dur selalu menggunakan pendekatan para bijak bestari dalam kehidupan sehari-hari.

ليست العبادة سوى خدمة الناس

ليست بالتسبيح والسجادة وارتدآء الدلق

أبق انت على عرش سلطانتك

بأخلاق طاهرة وكن درويشا

Pengabdian kepada Tuhan adalah pelayanan kepada manusia

Bukan hanya dan semata memutar biji tasbih, menggelar sajadah, dan menyandang kain sorban

Duduklah kau di atas singgasana kekuasaan dengan etika yang bersih

Jadilah kau seorang darwis

-Syekh Sa’di asy-Syirazi-


*Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.