ilustrasi: amir/to

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid*

Piala Eropa tahun ini diwarnai oleh banyak hal. Ada yang bersifat teknis, dan juga ada yang bukan. Sangat menarik menelusuri satu dua ‘warna’ dominan dari kompetisi akbar hari ini. Di satu pihak, terasa semakin berkembangnya pola pertahanan kesebelasan-kesebelasan tangguh. Pertahanan yang tidak mudah digedor para penyerang dengan naluri tinggi untuk membuat gol. Belanda punya Ronald Koeman, Andri van Tiggelen, dan Berry van Aerle. Tiga palang pintu tangguh ini masih didukung gelandang berstamina tinggi seperti Ruud Gullit dan Frank Rijkaard. Juga pemain-pemain muda seperti Frank de Boer dan Peter Borg untuk dipasang di belakang, seperti ketika menghadapi team Jerman dalam pertandingan menentukan pada babak penyisihan.

Ketika Guido Buchwald cedera, terasa pentingnya kehadiran pertahanan kukuh digalang semaksimal mungkin dalam tim Jerman. Materi pemain belakang yang tangguh seperti Stefan Kohler dan Andreas Brehme terasa kedodoran. Inggris berantakan karena Mark Wright absen. Pertahanan Inggris lalu seperti tidak ada, walaupun digantikan oleh Carlton Palmer. Sebaliknya, Team Swedia bisa sempurna menyerang karena di belakang ada Jan Eriksson dan Bjorklund. Juga Nielssen.

Kukuhnya pertahanan dikeluhkan sebaga penyebab miskinnya gol bila dibandingkan dengan kompetisi-kompetisi terdahulu. Akan tetapi, justru dari kukuhnya pertahanan benarnya muncul serangan-serangan bermutu, yang pada gilirannya akan melahirkan gol-gol indah lebih banyak di masa depan.

Sebenarnya, pola penyerangan sekarang juga sudah memperlihatkan variasi gaya dan strategi yang sangat beraneka warna. Dari Gary Lineker yang hanya menunggu umpan matang dalam pertandingan melawan Prancis dan Denmark, terjadi perubaha ke Gary Lineker dalam pertandingan melawan Swedia. Ia menjad pengumpan dan pengocek serangan yang efektif.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hal itu terlihat juga pada Ruud Gullit. Ketika melawan Persemakmuran Negara Merdeka dan Skotlandia ia ‘dipakai’ di sisi kanan lapangan Belanda. Ia mandul, ia tidak bisa mengembangkan permainan. Lain halnya ketika ia ‘dibebaskan’ untuk berkeliaran menyusuri seluruh lapangan dalam pertandingan melawan Jerman. Ia lalu berfungsi memimpin team dan mengatur tempo permainan.

Trio Martin Dahlin, Thomas Brolin, dan Kennet Andersson tampak padu dan sangat mengancam. Bahkan juga ketika salab seorang dari mereka digantikan oleh Johny Ekstrom dalam team Swedia.

Ternyata, yang mampu lolos ke semifinal adalah team yang tidak terlalu bergantung pada seorang bintang penyerang saja. seperti halnya Persemakmuran (Dobrovolsky) atau Prancis (Papin). Tim yang lolos dari babak penyisihan adalah yang memiliki barisan penyerang para bintang, dalam arti lebih dari seorang. Belanda punya para bintang: Van Basten, Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Bergkamp. Salah satu dari mereka dapat digantikan oleh Rob Witschge atau Bryan Roy.

Jerman juga punya barisan bintang, seperti Jurgen Klinsman Jan Karl Heinz Riedle. Duel itu akan sangat efektif seandainya Rudi Veller tidak retak tangan kirinya. Jelas bahwa antara baris dan penyerangan harus digalang keserasian melalui barisan gelandang yang tangguh. Nama-nama besar, seperti Schwarz dari Swedia, Buchwald dari Jerman, Roy dan Jan Wouters, serta Witschge dari Belanda menunjukkan kematangan para gelandang saat ini. Terpadunya permainan sangat ditentukan oleh alar serangan yang tidak terputus dari belakang.

Kalau demikian merata kekuatan serangan, pertahanan, dan pemain tengah seperti itu, lalu apakah faktor lain yang merupakan kelebihan komparatif dari tim-tim yang bertahan masuk babak semifinal? Jawabnya sederhana: kemampuan mengembangkan pola paling efektif bagi tim masing-masing.

Manager Tommy Svensson dari Swedia mampu mengefektifkan pola permainan gaya Inggris. Baik pola 4-4-2 maupun 2-5-3 yang diperlihatkan Swedia sama efektifnya dimainkan para tim ‘kuda hitam’ itu. Pelatih Belanda Rinus Michels lain lagi halnya. Dengan menaikkan dan memasukkan tempo permainan sesuai dengan kondisi pemain sendiri dan tim lawan, ia mampu memelihara kualitas ‘menggigit’ dari serangan tim oranye itu. Juga lebih memperkuat pertahanan, kalau diperlukan.

Pelatih Berti Vogts dari Jerman terus-menerus mengubah irama permainan, sambil tetap menekankan semangat meme lihara daya tahan (staying power) Jerman yang termasyhur itu. Efektivitas pola permaianan. Ya, itulah kata kunci kejuaraan Piala Eropa 1992 ini.

*Artikel ini dimuat dalam buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, hal 197-199.

**diketik ulang oleh: Dimas Setyawan