Siapa yang tak kenal dengan kitab “Amtsilatut  Tashrifiyah”, sebuah kitab ilmu shorof yang menjadi pedoman para santri di seluruh Indonesia bahkan dunia. Tidak sedikit orang mengenal dan mempelajari kitab tersebut, akan tetapi masih sedikit tulisan sejarah yang menguak biografi dan rekam jejak hidup pengarang kitab tersebut, yakni KH. Ma’shum Ali, tidak hanya ahli di bidang shorof, ternyata terdapat fakta lain yang menyatakan KH. Ma’shum Ali juga ahli di bidang ilmu falak, astronomi serta astrologi serta rumus-rumus eksakta.

KH. Ma’shum Ali merupakan santri Tebuireng angkatan pertama yang kemudian menjadi menantu KH. Hasyim Asy’ari yang dinikahkan dengan Nyai Choiriyah Hasyim, putri pertama pasangan KH. Hasyim Asy’ari – Nyai Nafiqah. KH Ma’shum Ali merupakan pribadi sederhana yang alim, tenang serta bijak. Beliau yang berpostur tinggi dengan kulit cerah tampak anggun dan penuh wibawa dalam busana yang hampir selalu dalam warna putih.

Beliau seorang pendiam yang hanya bicara kalau perlu, dan itu pun dengan kata-kata yang terbatas. Hari-hari beliau dihabiskan dengan melakukan puasa sunnah dan menyendiri di kamar tidur. Kemungkinan dengan menyendiri dalam kamar beliau menulis kitab yang pada saat semuanya dikerjakan secara manual, yaitu ditulis dengan tangan dengan pena yang setiap kali harus dicelupkan ke dalam tinta di wadahnya.

Sebagai ahli Islam hasil belajar di Makkah, beliau sangat lembut dalam menerapkan ilmunya. Sebagai ahli bidang astrologi beliau tahu banyak tentang kejadian yang akan datang. Namun dalam menanggapi hal-hal yang bersifat tebakan atau ramalan beliau mengatakan bahwa semua itu hanya tanda-tanda, sebagaimana mendung adalah tanda akan turun hujan. Semuanya tidak bertentangan dengan ilmu tauhid yang mengesakan Allah, karena dunia adalah milik Allah dan semua isinya serba mungkin. Beliau sangat peka dalam menerima atau menanggapi sesuatu, misalnya sewaktu beliau hendak makan sebuah hidangan dengan lauk daging ayam, beliau perhatikan daging ayam itu tanpa ucapan, lalu selang beberapa waktu, beliau dawuh : “ini ayamnya sakit”, cetus beliau. 

KH. Ma’shum Ali menunaikan ibadah haji dengan naik kapal laut. Tidak dapat dipastikan berapa lama waktunya untuk melakukan ibadah haji sampai kembali di Seblak pada sekitar tahun 1919-an. Perjalanan berangkat dari Indonesia sampai Arab Saudi pulang pergi ditempuh dalam waktu 7 bulan. Semua orang tahu bahwa beliau menimba ilmu agama di Makkah, tapi tidak seorang pun tahu di mana beliau belajar ilmu perbintangan, baik ilmu falak, ilmu astronomi maupun astrologi, tidak juga diketahui oleh pasangan KH. Mahfudz Anwar – Nyai Abidah Ma’shum, menantu dan putri KH. Ma’shum sendiri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebagian orang berprasangka bahwa di kapal dalam perjalanan pulang pergi haji selama sekian bulan itu KH. Ma’shum Ali belajar ilmu perbintangan. Pada tahun-tahun itu sistem navigasi kapal laut masih sederhana dan lebih mengandalkan posisi bintang di langit. Bagi pribadi dengan kemampuan inteligensi yang tinggi seperti KH. Ma’shum Ali, waktu 7 bulan lebih dari cukup untuk belajar ilmu perbintangan.

Setiba kembali di tanah air, KH. Ma’shum Ali tidak langsung pulang ke Seblak, melainkan dengan menyamar, beliau berkelana di Surabaya, kawasan pelabuhan laut di mana beliau menginjakkan kaki sedatang dari Makkah. Tidak seorang pun tahu siapa lelaki yang menyamar itu sebenarnya. Samarannya dilakukan dalam rangka kegiatan jual beli kuda.

Pada waktu itu kuda merupakan alat transportasi yang bergengsi dan jual beli kuda merupakan bisnis keren yang menjanjikan. Namun nasib bicara lain ketika suatu hari kuda yang beliau beli dan mau dijual lagi adalah kuda curian. KH. Ma’shum Ali termasuk daftar orang yang dicari polisi, dan beliau menjadi target polisi. Penyelesaian beliau ialah beliau melarikan diri dengan kembali ke Seblak yang pada waktu itu jaraknya di luar jangkauan polisi Surabaya. Beliau aman. Cerita ini disampaikan oleh seorang pedagang kuda asli yang secara kebetulan mengenali beliau ketika beliau dicari polisi kepada salah satu keluarga KH. Ma’shum Ali.   

Dalam diri KH. Ma’shum memang ada darah bisnis. Dua orang adik laki-laki beliau menjalankan bisnis dalam hidupnya. Pertama adalah KH. Adlan Ali, di samping sebagai pendiri dan pengasuh pondok yang sekarang dikenal sebagai pesantren Walisongo Cukir, beliau menjalankan toko buku dan toko palen di Cukir Jombang. Sedangkan adik laki yang lain, M. Mahbub Ali adalah pebisnis murni. Sampai sekarang toko buku beliau masih jalan, yaitu Toko Buku AbadiI  Jombang yang sekarang dikelola cucu-cucu beliau. Ketiga lelaki bersaudara ini menjalankan bisnis pertokoan di daerah Jombang. Toko ini dalam pengadaan barang kulakan ke Surabaya dikerjakan secara bergantian antara beliau bertiga.

Pada tahun 1919, KH. Ma’shum memulai kegiatan pondok pesantren Seblak. Pribadi beliau yang mencerminkan ilmuwan yang tinggi serta kearifan dan kebijakan yang dalam, mengundang santri untuk berguru pada beliau. Santri berdatangan untuk menimba ilmu beliau, sehingga terbentuk kelompok pengajian kitab kuning serta ilmu-ilmu khusus yang beliau bidangi khususnya ilmu falak. Pelaksanaan belajar mengajar ilmu falak dilaksanakan dengan metode yang berbeda dari pembelajaran kitab kuning umumnya, yaitu dengan jangka waktu yang jelas, yang berkembang menjadi kelompok belajar dalam kelas dengan jadwal kegiatan dan jangka waktu yang terprogram.

Pada akhirnya menjadi kelompok yang pada masa sekarang kita kenal dengan kelompok belajar klasikal. Dengan demikian Seblak merupakan pesantren dengan pengajian kitab kuning dalam sistem sorogan dan bandongan sebagaimana lazimnya di pondok pesantren salaf, di samping madrasah ilmu falak yang bersistem klasikal. Ilmu falak merupakan bidang ilmu yang dikuasi oleh KH. Ma’sum Ali bahkan sebelum beliau nyantri di Tebuireng, yaitu ketika beliau belajar di pondok pesantren kakek beliau KH Abdul Jabbar di Maskumambang, lalu beliau memperdalam ilmu ini sedemikian rupa sampai beliau berkapasitas menulis dua kitab ilmu falak yaitu durusul falakiyah dan badi’atul mitsal. Namun sejarahnya tidak terlacak.   

Atas kehendak KH. Hasyim Asy’ari kelompok klasikal ini dipindahkan ke Tebuireng untuk melengkapi proses belajar mengajar di Pesantren Tebuireng yang selama ini dalam metode pengajian sorogan atau bandongan. Madrasah ini kemudian berkembang dan makin maju di Tebuireng dan pada akhirnya dikenal sebagai Madrasah Salafiyah Tebuireng dengan jenjang Sifir Awal (2 tahun) dan Sifir Tsani (2 tahun). Madrasah ini kemudian membuahkan lulusan yang menjadi pimpinan nasional yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Jumlah lulusan ini mencerminkan besarnya jumlah santri yang menuntut ilmu pada KH. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng dan keberhasilan dari tangan dingin dan keagungan jiwa KH. Hasyim Asy’ari. Demikian cerita dari Nyai Abidah Ma’shum.

KH. Ma’shum Ali tidak mendirikan wadah pendidikan formal lagi di Seblak. Namun hasil didikan KH. Ma’shum Ali di pesantren Seblak tidak sedikit yang menjadi ulama unggulan, di antaranya al-alim KH. Zubair Salatiga yang membidangi ilmu falak, KH. Muslih Kudus serta al-alim KH Muhammad Sedayu yang kemudian terkenal sebagai penemu ide pesantren untuk santri cilik di Sedayu Gresik. Karena ilmu falak merupakan ciri khas Seblak, maka pesantren Seblak lebih dikenal masyarakat dengan pesantren falak sejak kala itu.

Hasil karya tulis KH. Ma’shum Ali dalam bidang ilmu falak adalah durusul falakiyah dan badi’atul mitsal, yang sampai sekarang digunakan sebagai buku referensi ilmu falak khususnya di pondok pesantren salaf. Buku lain mengenai ukuran dan timbangan adalah fathul qadir.

Sedangkan dalam bidang ilmu bahasa Arab karya beliau yang berjudul amtsilatu attasrifiyah, dicetak perdana di Timur Tengah. Kitab ini di sana mendapat perhatian besar khususnya dari Universtas Al Azhar Kairo – Mesir, sehingga digunakan sebagai buku wajib. Sedangkan di Indonesia buku Amtsilatu Tashrifiyah tetap dipakai sampai sekarang khususnya di pesantren Salaf. Satu buku tulisan KH Ma’shum Ali lainnya yang belum sempat diterbitkan adalah tentang Qiro’ah Sab’ah. KH Mahfudz Anwar mengatakan bahwa beliau pernah membantu menulis naskahnya.

Berikut di atas merupakan kisah perjalanan hidup KH. Mashum Ali, terlebih dalam perjalanan hidup di jenjang pendidikanya yang bisa kita tadabburi bersama kisah perjuanganya dalam bersungguh-sungguh mencari ilmu hingga mengantarkan KH. Mashum Ali menjadi sosok yang karya dan ilmunya menjadi incaran pedoman santri di belahan dunia hingga sekarang.

  • Sumber: Ibu Nyai Hamnah Mahfudz.

Pewarta: Nur Indah Naailatur Rohmah