ket. kanan: H. Ahmad Zayadi, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementrian Agama Republik Indonesia, mengisi seminar dalam rangka 120 Tahun Pesantren Tebuireng, Jumat (23/8/19) di Pesantren Tebuireng. (Foto: Bagas)

Tebuireng.online– Memperingati Harlah 120 Tahun Pesantren Tebuireng, diagendakan serangkaian kegiatan diantaranya seminar yang membahas soal pendidikan. Seminar berlangsung selama tiga hari yaitu pada tanggal 23-25 Agustus 2019. Dalam Seminar Pendidikan yang pertama ini, terdapat dua sesi. Sesi pertama diisi oleh dua narasumber M. Lutfillah Habibi, Sekretaris Jendral Pengurus Pusat Ikatan Alumni Santri Sidogiri dan Dr. H. Ahmad Zayadi, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementrian Agama Republik Indonesia.

Ahmad Zayadi mengawali pemaparannya dengan pertanyaan, “kenapa kita harus belajar di pesantren? Kenapa tidak di sekolah saja?” menurutnya, tentu berbeda pemaknaan antara belajar di pesantren dan di sekolah. Belajar di sekolah ialah yang dikembangkan hanya sebatas belajar tentang agama, akan tetapi jika belajar di pesantren bukan sekadar belajar tentang agama, namun belajar bagaimana agama, bagaimana kehidupan. Jika terminologinya seperti itu, maka tentu definisi antara guru dan kiai berbeda.

Pesantren sebagai sub kultur tentu menjadi salah satu kekuatan mendasar, pesantren menjadi mediator masyarakat untuk menerapkan praktik pendidikan masyarakat. Ciri khas kitab kuning, bukan sekadar kitab, akan tetapi realitas yang terjadi ialah pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain kekuatan mendasar, terdapat pula kekuatan leadership.

Pesantren bukan sekadar proses akademik saja, akan tetapi proses pendekatan sufistik, spiritual, saintifik, serta ketaatan. “Santri yang saat ini baik di masyarakat, belum tentu dulunya ketika masih di pesantren juga baik,” ungkap Ahmad Zayadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa keberhasilannya berkat khidmat di pesantren.

“Kiai itu selamanya, begitu pula dengan santri, tidak ada mantan santri. Santri mempunyai nilai yang ditonjolkan,” ungkapnya. Aspek terpenting dalam pengajaran, ialah hubungan antara murid dengan guru.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Selanjutnya Ahmad Zayadi bersyukur atas Rancangan Undang-Undang Pesantren yang saat ini sedang proses pengesahan. RUU tentang Pondok Pesantren dan Pendidikan Agama ini diusulkan oleh DPR yang mana bertujuan untuk mengembalikan jati diri atau fungsi pesantren, yaitu fungsi dakwah, fungsi sosial masyarakat, serta fungsi lembaga pendidikan. Seratus persen pesantren saat ini sudah berbadan hukum, bukan lagi berdiri dan dimiliki oleh individu. Maka standarisasi harus dimunculkan oleh pesantren itu sendiri.

Keharusan mengadakan rekonstruksi sejatinya sejalan dengan kaidah Al- Muhafadhatu ‘Ala qadimi As Sholih wa Al- Akhdzu bi Al- Jadidi Al- Ashlah. Kendati harus merubah, menyesuaikan, atau metamorphose, “dunia pesantren harus tetap hadir dengan jati dirinya yang khas-unik,” tegasnya.

Sebetulnya bukan hanya Kemenag yang mempunyai program untuk pesantren, akan tetapi ada tujuh belas kementerian yang mempunyai program juga untuk pesantren. Salah satunya ialah Kementrian Industri yang mana mendekatkan kawasan industri dengan kawasan religi, sehingga industri tersebut akan di backup oleh pesantren. Seperti di daerah Gresik dan Cilegon.

Pesantren harus dinamis, pesantren harus menyesuaikan dengan alam di luar pesantren, pesantren tetaplah pesantren dengan jati diri dan ciri khasnya. “Citra pesantren sudah baik, semoga ke depannya semakin baik lagi,” harapnya.



Pewarta: Rafiqatul Anisah

Publisher: RZ