Oleh: Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Saya tak tahu persis tahun berapa. Padahal pendidikan yang kita kenal sekarang, seperti SD, SMP, SMA, dan universitas dimulai oleh Belanda tahun 1840-an. Universitas 1900 sekian, awal 1900-an. Kenapa Belanda menyekolahkan? Apa untuk mencerdaskan bangsa Indonesia? Tidak, jadi mereka bikin sekolah untuk dikirim ke mereka sendiri. Mengajarkan kepada yang nantinya bekerja kepada Belanda, di perusahaan Belanda atau pemerintah.
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua mengajarkan agama saja. Mendidik anak-anak untuk masuk menjadi orang Islam dan menyampaikan agama Islam ke semua tempat di seluruh indonesia. Pesantren mulainya di Sumatera, Sumatera Utara, dan menyebar di Jawa. Jadi pesantren juga memberi pengaruh besar kepada orang Islam. Mendidik dan juga menanamkan semangat untuk melawan penjajah.
Donald W. Smith dalam Religius Religion Politics, menyatakan bahwa ulama memberikan peran penting mendidik terhadap imperialisme Barat yang berupaya mengembangkan agama Katolik. Ini tidak ada di Indonesia. Akibat imperialisme dan agama itu, maka bermuncullah perlawanan Islam nusantara sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Pak Yai Diponegoro adalah santri dan guru thoriqoh. Kiblat ratusan kiai. Tuanku Imam Bonjol itu juga, walau kemudian memerangi kaum adat yang dianggap menyimpang. Ya memang menyimpang, tetapi beda dengan Islam yang di sini.
Jadi ketika mulai ada anak-anak muda Indonesia pergi ke Makkah belajar, itu kemudian diinternalisasi. Mereka saling mengenal. Begitu juga yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari ketika tinggal atau belajar di Makkah. Beliau bersama-sama anak-anak itu menumbuhkan untuk suatu saat berjuang memerdekakan Hindia Belanda, yang waktu itu Indonesia belum ada. Itu yang kita namakan Resolusi jihad.
Kita harus tahu bahwa beliaulah yang memimpin dan menyatukan pikiran tentang perlunya Indonesia. Bukan dari kalangan non-Islam,tetapi orang-orang yang dididik oleh beliau. Mulai bertemu berpikir tentang Indonesia. Berpikir tentang bangsa Indonesia. Bagaimana menyatukan wilayah-wilayahnya yang meliputi bekas daerah Hindia Belanda? Umat Islam atau kalangan pesantrenlah yang ada di dalam pergerakan kemerdekaan itu melalui kiai.
Kemudian kalau pesantren, terutama, sudah melihat (film) Sang Kiai? Di situ kan ada bagaimana kita membentuk Laskar Hisbullah. Jepang mungkin melatih anak-anak pesantren untuk dikirim perang dengan lawannya. Pak Wahid Hasyim mengatakan “Kalau dibikin gitu aja nggak ada gunanya. Pasti kalah dan menjadi beban.” Ribuan orang dilantik dan belum sempat dikirim ke negara lain. Negara lain itu ya, mungkin Muangthai, Vietnam, Malaysia. Kemudian terbentuk Laskar Hisbullah.
Barisan Keamanan Rakyat (BKR), terdiri dari mantan tentara Belanda (mantan KNI), kedua PETA (Pembela Tanah Air), ketiga Laskar Hisbullah. Itulah yang membentuk Tentara Republik Indonesia. Begitu Belanda belum masuk kemari, kita sudah mengambil alih sekolah-sekolah Belanda. Yang saya tahu sekolah saya SMP Negeri 1, SMA Negeri 1 dulunya Belanda. Dan diambil alih semuanya.
Banyak anak-anak kiai yang belajar ilmu hukum, ilmu non-agama. Sebetulnya di Tebuireng dimulai di tahun 1930-an. Waktu itu Pak Wahid Hasyim mengusulkan kepada Mbah Hasyim dan ditolak. Tetapi setelah Pak Wahid Hasyim bisa meyakinkan Mbah Hasyim. usulan bisa diterima. Kemudian diikuti di berbagai tempat.
Setelah kita merdeka, yang muncul adalah SD (SR), SMP, dan SMA. Pesantren jalan terus, tetapi masih seperti dulu. Kecuali sedikit sekali pesantren yang berbeda, seperti Gontor. Gontor tahun 1930-an sudah memberikan mata pelajaran non-agama. Timbul dualisme, satu pendidikan pesantren dan satu lagi pendidikan sekolah.
Madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah belum ada. Tahun 1950, Menteri Agama Pak Wahid Hasyim membuat kesepakatan dengan menteri pendidikan, untuk memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan juga mendirikan kementrian agama pendidikan madrasah ibtidaiyah, MTs, MA, yang kita kenal. Waktu itu pelajaran agamanya lebih banyak dan sekarang pelajaran agamanya lebih sedikit. Oleh karena itu, di Tebuireng ditambah punya diniyah.
Selain itu pak Wahid Hasyim juga mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Yang kemudian berkembang menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), berkembang juga menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dan juga Universitas Islam Negeri (UIN). Ini luar biasa sekali, di negara lain tidak ada.
Anda bisa baca di sini, saya tulis “Mengenal Dekat Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari”. Di sini dijelaskan bagaimana perjuangan Mbah Hasyim. Jadi memadukan Indonesia dan Islam itu bukan masalah yang mudah. Itu baru bisa berjalan setelah puluhan tahun, 40-50 tahun baru bisa. Waktu itu masyarakat luar masih tidak menganggap pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mampu menjawab tantangan. Pesantren dianggap masa lalu, dianggap tidak berjalan-jalan. Zaman Bung Karno seperti itu.
Saat zaman Orde Baru, Bung Karno pidato tanpa teks mengkritik pesantren dengan menunjuknya sebagai gudang besar yang tidak punya pintu dan jendela sehingga terasa pengap, terasa apek. Jadi begitu negatifnya pesantren dianggap tertinggal. Mungkin pada batas-batas tertentu, tertinggal. Tetapi pesantren juga mengalami perkembangan. Ketika zaman Orde Baru, Menteri Agama tahun 1971 menganggap pesantren itu berkembang dengan pendidikan sekolah kejuruan. Alhasil tahun 1980 mencapai 500. Lima ratus itu kecil dibanding jumlah pesantren. Tahun 1970-an, hanya sekedar 4 ribu atau 5 ribu.
Kemudian zaman Orde Baru, tantangan pesantren mulai masuk ke IAIN. Itu didirikan tahun 1961 sehingga baru mulai mulus 1969 atau awal 1970. Baru dikirim ke luar negeri tahun 1980 ke berbagai perguruan tinggi di berbagai negara. Tetapi tetap ilmu keagamaan. Mereka mulai kembali di akhir 1980 atau awal 1990 dan semakin besar dan banyak tahun 2000-an.
Kemudian mulai timbul kesadaran untuk tidak mempertentangkan ilmu umum dengan ilmu agama. Mbah Wahid Hasyim tahun 1934 sudah berpikir seperti itu. Memang hal semacam itu bertentangan. Jadi kalau ada yang mengatakan ilmu matematik itu ilmu dunia, salah besar. Ada yang tahu bapak matematika Islam ribuan tahun yang lalu? Al Khawarizmi. Yang kita kenal kan Ibnu Sina, kemudian Ibnu Rusyd, kemudian Ibnu Khaldun, kemudian Umar Hayam. Umar Hayam tidak hanya budayawan, dia juga ahli ilmu pengetahuan.
Dan ini kita baru menyadari itu tahun 1977-an atau menginjak 1980-an. Pak Habibie mencoba mempertemukan itu. Dua ilmu itu dengan mendirikan Madrasah Aliyah Insan Cindekia. Jadi ini proses yang baru dimulai 23 tahun yang lalu. Mungkin hasilnya baru diketahui 50 atau 60 tahun yang akan datang.
Pada era Reformasi tahun 1990-an, akhir 1990-an, jumlah pesantren antara 9-10 ribu. Setelah Reformasi, ini meningkat cepat sekali sehingga sekarang ini jumlahnya 28-29 ribu. Tetapi kebanyakan pesantren kecil-kecil. Ini gejala apa? Ini menunjukkan bahwa pesantren yang tadinya dilihat dengan sebelah mata, sekarang sudah menjadi pilihan, sudah menjadi alternatif bagi banyak masyarakat kota. Dan ini juga tidak lepas dari sentuhan orang tua. Umumnya mereka lahir tahun 1960 atau 1970-an, kebanyakan dari mereka termasuk kalangan pesantren.
Jumlah sekarang, sebagian besar 80 persen ada di Jawa. Penduduk Jawa 80 persen, mestinya pesantren 80 persen, yang 20 persen ada di luar Jawa. Ini menjadi tugas kita untuk ikut mendorong munculnya pesantren di luar Jawa. Namun tantangannya banyak. Oleh karena itu, Tebuireng mempunyai kebijakan mengirim tamatan Mahad ‘Aly untuk membantu pesantren di luar Jawa. Mahad ‘Aly ini pendidikan tinggi yang tidak masuk Kementrian Dikti. Mahad ‘Aly di bawah Kementrian Agama dan larinya oleh pendidikan di pesantren. Ini menjadi eksperimen yang luar biasa dan mudah-mudahan bisa muncul memberikan manfaat bagi kita semua.
Kemudian sejumlah pesantren mendirikan perguruan tinggi, termasuk Tebuireng. Dulu mendirikan Unhasy, tapi hanya keilmuan agama. Tahun 1980 akhir, sesuai dengan aturan yang diatur, namanya diubah menjadi Institut Keagamaan Hasyim Asy’ari. Pada 2011 saya diminta menjadi rektor. Pada 2013 kita menjadi Unhasy, yang tidak hanya ilmu agama tetapi juga ilmu nonagama. Sebelumnya sudah ada yang sudah mendirikan universitas yaitu Universitas Islam sains dan Al Quran di Wonosobo. Sekarang ini sudah berkembang di beberapa pesantren, termasuk Undar dan Unipdu. Kemarin Pak Jokowi meresmikan gedung baru Universitas Darussalam. Menurut saya, memang pesantren yang besar perlu punya universitas, supaya proses pemaduan ilmu agama dan non agama berjalan.
Semua ilmu sebenarnya ukhrawi. Yang membuat ilmu duniawi atau ukhrawi itu niat kita mempelajari ilmu. Jadi kalau mempelajari ilmu agama supaya bisa mencari duit, terkenal, punya jabatan, maka itu adalah ilmu duniawi menurut saya. Tapi bila kita mempelajari ilmu nonagama, katakan ilmu kedokteran, niatnya untuk membantu orang dan setelah saya pelajari ajaran ilmu tafsir antara lain: pertama, santri yang baik adalah santri yang keluar dari pesantren bisa menerapkan bisa menjalankan ilmunya di jalan kehidupan. Berarti akhlak kita harus baik. Yang kedua, berhasil menerapkan. Jangan belajar ilmu agama untuk cari uang, mencari jabatan dan mengejar popularitas. Ini pesan Mbah Hasyim yang harus kita tinggalkan. Ini pun saya baca ketika saya menelusuri makalah. Jadi pengertian saya seperti itu.
*Tulisan ini adalah transkip ceramah Gus Sholah dalam acara diklat II di Gedung Lembaga Diklat Pesantren Tebuireng, Jombang.